Negara Aturan Dan Kepastian Hukum

SUDUT HUKUM | Dalam rangka perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka dalam Perubahan Keempat pada tahun 2002, konsepsi Negara Hukum atau “Rechtsstaat” yang sebelumnya hanya tercantum dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, dirumuskan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan, “Negara Indonesia ialah Negara Hukum.” Dalam konsep Negara Hukum itu, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan ialah hukum, bukan politik ataupun ekonomi. Karena itu, jargon yang biasa dipakai dalam bahasa Inggris untuk menyebut prinsip Negara Hukum ialah „the rule of law, not of man‟. Yang disebut pemerintahan pada pokoknya ialah aturan sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya bertindak sebagai „wayang‟ dari skenario sistem yang mengaturnya.

Gagasan Negara Hukum itu dibangun dengan membuatkan perangkat aturan itu sendiri sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan menata supra struktur dan infra struktur kelembagaan politik, ekonomi dan sosial yang tertib dan teratur, serta dibina dengan membangun budaya dan kesadaran aturan yang rasional dan impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk itu, sistem aturan itu perlu dibangun (law making) dan ditegakkan (law enforcing) sebagaimana mestinya, dimulai dengan konstitusi sebagai aturan yang paling tinggi kedudukannya. Untuk menjamin tegaknya konstitusi itu sebagai aturan dasar yang berkedudukan tertinggi (the supreme law of the land), dibuat pula sebuah Mahkamah Konstitusi yang berfungsi sebagai „the guardian‟ dan sekaligus „the ultimate interpreter of the constitution‟.

Gagasan, cita, atau ide Negara Hukum, selain terkait dengan konsep „rechtsstaat‟ dan „the rule of law‟, juga berkaitan dengan konsep „nomocracy‟ yang berasal dari perkataan „nomos‟ dan „cratos‟. Perkataan nomokrasi itu sanggup dibandingkan dengan „demos‟ dan „cratos‟ atau „kratien‟ dalam demokrasi. „Nomos‟ berarti norma, sedangkan „cratos‟ ialah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan ialah norma atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan akrab dengan ide kedaulatan aturan atau prinsip aturan sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggeris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu sanggup dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “the Rule of Law, and not of Man”. Yang sebetulnya dianggap sebagai pemimpin ialah aturan itu sendiri, bukan orang. Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris dengan judul “The Laws”, terperinci tergambar bagaimana ide nomokrasi itu sebetulnya telah semenjak usang dikembangkan dari zaman Yunani Kuno.

Utrecht membedakan ntara Negara Hukum Formil atau Negara Hukum Klasik, dan Negara Hukum Materiel atau Negara Hukum Modern. Negara Hukum Formil menyangkut pengertian aturan yang bersifat formil dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan yang kedua, yaitu Negara Hukum Materiel yang lebih mutakhir meliputi pula pengertian keadilan di dalamnya. Karena itu, Wolfgang Friedman dalam bukunya „Law in a Changing Society‟ membedakan antara „rule of law‟ dalam arti formil yaitu dalam arti „organized public power‟, dan „rule of law‟ dalam arti materiel yaitu „the rule of just law‟.

Pembedaan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa dalam konsepsi negara aturan itu, keadilan tidak serta-merta akan terwujud secara substantif, terutama sebab pengertian orang mengenai aturan itu sendiri sanggup dipengaruhi oleh fatwa pengertian aturan formil dan sanggup pula dipengaruhi oleh fatwa pikiran aturan materiel. Jika aturan dipahami secara kaku dan sempit dalam arti peraturan perundang-undangan semata, pasti pengertian negara aturan yang dikembangkan juga bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu menjamin keadilan substantive. Karena itu, di samping istilah „the rule of law‟ oleh Friedman juga dikembangikan istilah „the rule of just law‟ untuk memastikan bahwa dalam pengertian kita wacana „the rule of law‟ tercakup pengertian keadilan yang lebih esensiel daripada sekedar memfungsikan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit. Kalaupun istilah yang dipakai tetap „the rule of law‟, pengertian yang bersifat luas itulah yang diperlukan dicakup dalam istilah „the rule of law‟ yang dipakai untuk menyebut konsepsi wacana Negara Hukum di zaman sekarang.

Menurut Arief Sidharta, Scheltema, merumuskan pandangannya wacana unsur-unsur dan asas-asas Negara Hukum itu secara baru, yaitu meliputi 5 (lima) hal sebagai berikut:
  • Pengakuan, penghormatan, dan dukungan Hak Asasi Manusia yang berakar dalam penghormatan atas martabat insan (human dignity).
  • Berlakunya asas kepastian hukum. Negara Hukum untuk bertujuan menjamin bahwa kepastian aturan terwujud dalam masyarakat. Hukum bertujuan untuk mewujudkan kepastian aturan dan prediktabilitas yang tinggi, sehingga dinamika kehidupan bersama dalam masyarakat bersifat „predictable‟. Asas-asas yang terkandung dalam atau terkait dengan asas kepastian aturan itu adalah:

  1. Asas legalitas, konstitusionalitas, dan supremasi hukum;
  2. Asas undang-undang menetapkan banyak sekali perangkat peraturan wacana cara pemerintah dan para pejabatnya melaksanakan tindakan pemerintahan;
  3. Asas non-retroaktif perundang-undangan, sebelum mengikat undang-undang harus lebih dulu diundangkan dan diumumkan secara layak;
  4. Asas peradilan bebas, independent, imparial, dan objektif, rasional, adil dan manusiawi;
  5. Asas non-liquet, hakim dihentikan menolak kasus sebab alasan undang-undangnya tidak ada atau tidak jelas;
  6. Hak asasi insan harus dirumuskan dan dijamin perlindungannya dalam undang-undang atau UUD.

  • Berlakunya Persamaan (Similia Similius atau Equality before the Law) Dalam Negara Hukum, Pemerintah dihentikan mengistimewakan orang atau kelompok orang tertentu, atau memdiskriminasikan orang atau kelompok orang tertentu. Di dalam prinsip ini, terkandung (a) adanya jaminan persamaan bagi semua orang di hadapan aturan dan pemerintahan, dan (b) tersedianya prosedur untuk menuntut perlakuan yang sama bagi semua warga Negara.
  • Asas demokrasi dimana setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan atau untuk mensugesti tindakan-tindakan pemerintahan. Untuk itu asas demokrasi itu diwujudkan melalui beberapa prinsip, yaitu:

  1. Adanya prosedur pemilihan pejabat-pejabat publik tertentu yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil yang diselenggarakan secara berkala;
  2. Pemerintah bertanggungjawab dan sanggup dimintai pertanggungjawaban oleh tubuh perwakilan rakyat;
  3. Semua warga Negara mempunyai kemungkinan dan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan politik dan mengontrol pemerintah;
  4. Semua tindakan pemerintahan terbuka bagi kritik dan kajian rasional oleh semua pihak;
  5. Kebebasan berpendapat/berkeyakinan dan menyatakan pendapat;
  6. Kebebasan pers dan kemudian lintas informasi;
  7. Rancangan undang-undang harus dipublikasikan untuk memungkinkan partisipasi rakyat secara efektif.
  • Pemerintah dan Pejabat mengemban amanat sebagai pelayan masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan bernegara yang bersangkutan. Dalam asas ini terkandung hal-hal sebagai berikut:

  1. Asas-asas umum peerintahan yang layak;
  2. Syarat-syarat mendasar bagi keberadaan insan yang bermartabat manusiawi dijamin dan dirumuskan dalam aturan perundang-undangan, khususnya dalam konstitusi;
  3. Pemerintah harus secara rasional menata tiap tindakannya, mempunyai tujuan yangn terperinci dan berhasil guna (doelmatig). Artinya, pemerintahan itu harus diselenggarakan secara efektif dan efisien.

Muhammad Tahir Azhary, dengan mengambil pandangan gres dari sistem aturan Islam, mengajukan pandangan bahwa ciri-ciri nomokrasi atau Negara Hukum yang baik itu mengandung 9 (sembilan) prinsip, yaitu:
  • Prinsip kekuasaan sebagai amanah;
  • Prinsip musyawarah;
  • Prinsip keadilan;
  • Prinsip persamaan;
  • Prinsip ratifikasi dan dukungan terhadap hak-hak asasi manusia;
  • Prinsip peradilan yang bebas;
  • Prinsip perdamaian;
  • Prinsip kesejahteraan;
  • Prinsip ketaatan rakyat.

Brian Tamanaha, menyerupai dikutip oleh Marjanne Termoshuizen-Artz dalam Jurnal Hukum Jentera,55 membagi konsep „rule of law‟ dalam dua kategori, “formal and substantive”. Setiap kategori, yaitu “rule of law” dalam arti formal dan “rule of law” dalam arti substantif, masing-masing mempunyai tiga bentuk, sehingga konsep Negara Hukum atau “Rule of Law” itu sendiri menurutnya mempunyai 6 bentuk sebagai berikut:
  • Rule by Law (bukan rule of law), dimana aturan hanya difungsikan sebagai “instrument of government action”. Hukum hanya dipahami dan difungsikan sebagai alat kekuasaan belaka, tetapi derajat kepastian dan prediktabilitasnya sangat tinggi, serta sangat disukai oleh para penguasa sendiri, baik yang menguasai modal maupun yang menguasai proses-proses pengambilan keputusan politik.
  • Formal Legality, yang meliputi ciri-ciri yang bersifat (i) prinsip prospektivitas (rule written in advance) dan dihentikan bersifat retroaktif, (ii) bersifat umum dalam arti berlaku untuk semua orang, (iii) terperinci (clear), (iv) public, dan (v) relative stabil. Artinya, dalam bentuk yang „formal legality‟ itu, diidealkan bahwa prediktabilitas aturan sangat diutamakan.
  • Democracy and Legality. Demokrasi yang dinamis diimbangi oleh aturan yang menjamin kepastian. Tetapi, berdasarkan Brian Tamanaha, sebagai “a procedural mode of legitimation” demokrasi juga mengandung keterbatasan-keterbatasan yang serupa dengan “formal legality”.56 Seperti dalam “formal legality”, rezim demokrasi juga sanggup menghasilkan aturan yang jelek dan tidak adil. Karena itu, dalam suatu sistem demokrasi yang berdasar atas aturan dalam arti formal atau rule of law dalam arti formal sekali pun, tetap sanggup juga timbul ketidakpastian hukum. Jika nilai kepastian dan prediktabilitas itulah yang diutamakan, maka praktek demokrasi itu sanggup saja dianggap menjadi lebih jelek daripada rezmi adikara yang lebih menjamin stabilitas dan kepastian.
  • “Substantive Views” yang menjamin “Individual Rights”.
  • Rights of Dignity and/or Justice
  • Social Welfare, substantive equality, welfare, preservation of community.