Prinsip Dan Metode Isolasi Dna Plasmid


 plasmid isolation alkaline lysis method Prinsip dan Metode Isolasi DNA Plasmid
Plasmid ialah DNA ekstrakromosomal yang umum dijumpai pada mikrobia atau beberapa yeast (Madigan et al., 2012). Plasmid mempunyai struktur dobel heliks sirkular dengan ukuran yang relatif lebih kecil dibandingkan ukuran DNA kromosomal, ukuran plasmid berkisar antara 2 sampai 200 kb (Turner et al., 2007). Sebagai materi genetik ektrakromosomal, plasmid tidak mengandung gen-gen yang esensial bagi pertumbuhan dan perkembangan sel sebagaimana kromosom, namun plasmid mengandung gen-gen yang diharapkan sel untuk bertahan hidup pada suatu kondisi tertentu (Dawson et al., 1996). Plasmid mempunyai tempat awal replikasi (OriC) sehingga plasmid sanggup bereplikasi secara independen dan tidak bergantung pada kromosom (Hardy, 1987). Plasmid sanggup ditransfer dari satu sel ke sel yang lain. Kemampuan plasmid untuk ditransfer dari satu sel ke sel lain mengindikasikan gen-gen yang terdapat pada plasmid sanggup diekspresikan pada sel lain (Campbell & Farrell, 2009).

Isolasi dna plasmid ialah proses memisahkan DNA plasmid dari sel basil atau yeast. Manfaat isolasi plasmid pada umumnya dipakai sebagai vektor dalam aneka macam teknik rekayasa genetika menyerupai kloning gen atau transformasi (Nicholl, 2008). Plasmid mempunyai beberapa karakteristik sehingga sanggup dipakai sebagai vektor, di antaranya mempunyai ukuran yang relatif kecil, hal ini sangat penting untuk efisiensi transformasi dan penanganan (Dawson et al., 1996). Selain ukuran yang relatif kecil, plasmid mempunyai restriction site yang unik sehingga sanggup dipotong oleh enzim endonuklease restriksi yang spesifik dan sanggup diinsersikan gen atau segmen DNA pada plasmid tersebut (Campbell & Farrell, 2009). Plasmid mempunyai gen pengkode resistensi terhadap antibiotik tertentu sehingga sanggup dipakai sebagai marker seleksi untuk mendeteksi transforman (Turner et al., 1997). 

Dalam proses isolasi DNA plasmid basil maupun yeast, terdapat dua metode yang umum dipakai dalam isolasi DNA plasmid, yaitu metode boiling dan metode alkaline lysis (Sambrook & Russell, 2001). Secara umum, prinsip isolasi DNA plasmid pada kedua metode tersebut ialah sama, yaitu pelisisan sel, ekstraksi DNA plasmid, serta presipitasi dan purifikasi DNA plasmid.


Metode Isolasi Plasmid

1. Metode Boiling
Isolasi DNA plasmid dengan metode boiling memakai prinsip bahwa suhu tinggi sesudah proses pelisisan sel akan mendenaturasi protein dan DNA, namun tidak sanggup memisahkan kedua untai DNA pada struktur dobel heliks sirkular plasmid (Sambrook & Russell, 2001). Teknik isolasi plasmid tersebut disebabkan DNA sirkular plasmid mempunyai topologi dua untai polinukleotida sirkular yang saling berkaitan. Pada ketika suhu diturunkan, plasmid akan mengalami renaturasi, sedangkan DNA kromosomal yang menjadi linear sesudah proses pelisisan sel dan tetap terikat pada membran sel tidak sanggup mengalami renaturasi akan mengendap dan terpisahkan dari DNA plasmid sesudah disentrifugasi (Boyer, 2000). 

2. Metode Alkaline Lisis 
Pada metode isalasi DNA plasmid ini, kondisi alkali yang disebabkan perlakuan dengan adonan SDS dan NaOH menimbulkan DNA kromosomal dan plasmid mengalami denaturasi sesudah sel mengalami lisis (Turner et al., 1997). Penambahan natrium astetat sesudah perlakuan alkali sanggup menetralkan pH dan menimbulkan DNA mengalami renaturasi (Reece, 2004). Pada kondisi tersebut, DNA plasmid sanggup mengalami renaturasi dengan segera, namun DNA kromosomal membentuk agregat yang diakibatkan adanya asosiasi interstrand dan menimbulkan DNA kromosomal terendapkan bersama komponen protein sesudah disentrifugasi (Ausubelet al., 2003).

Tahapan Isolasi Plasmid

1. Pelisisan Sel
Penghancuran sel merupakan tahapan awal isolasi DNA plasmid yang bertujuan untuk mengeluarkan isi sel (Holme, 1998). Penghancuran sel pada isolasi DNA plasmid sanggup dilakukan dengan memakai detergen atau secara enzimatik (Jones & Sutton, 1997). Detergen yang umum dipakai untuk melisiskan sel ialah SDS sodium dodecyl sulphate (SDS), detergen sanggup melarutkan lipid yang terdapat pada membran sel sehingga sanggup mendestabilisasi membran sel (Surzycki, 2000). Pada isolasiDNA plasmid dengan metode alkaline lysis, detergen SDS dicampur dengan NaOH dengan tujuan untuk membuat kondisi alkali sehingga DNA terdenaturasi (Turner et al., 1997).

2. Ekstraksi DNA Plasmid
Ekstraksi DNA plasmid bertujuan untuk memisahkan DNA plasmid dari komponen lain menyerupai protein dan DNA kromosomal (Nair, 2008). Penambahan natrium asetat sanggup menetralkan pH alkali, hal ini menimbulkan DNA plasmid sirkular mengalami renaturasi dengan segera sedangkan DNA kromosomal tidak sanggup mengalami renaturasi dengan tepat diakibatkan adanya asosiasi intrastrand sebagaimana disebutkan sebelumnya, sehingga terendapkan bersama komponen protein sesudah disentrifugasi (Ausubel et al., 2003). Saat proses ekstraksi DNA, seringkali dipakai chelating agent menyerupai ethylenediamine tetraacetic acid (EDTA) yang berperan menginaktivasi enzim DNase yang sanggup mendenaturasi DNA yang diisolasi, EDTA menginaktivasi enzim nuklease dengan cara mengikat ion magnesium yang diharapkan sebagai kofaktor enzim nuklease (Walker & Ralph, 2008).

3. Presipitasi dan Purifikasi DNA
Pada tahap ekstraksi, DNA plasmid akan berada pada fase aqueous sesudah penambahan natrium asetat dan disentrifugasi (Howe, 2007). DNA plasmid yang berada pada fase aqueous tersebut sanggup dipresipitasi dengan memakai isopropanol atau ethanol (Reamet al., 2003). Kedua kemikalia tersebut akan mempresipitasi DNA pada fase aqueous sehingga DNA menggumpal membentuk struktur fiber dan terbentuk pellet sesudah sentrifugasi dilakukan (Switzer, 1999). Pada tahap presipitasi ini, DNA yang terpresipitasi akan terpisah dari residu-residu RNA dan protein yang masih tersisa, residu tersebut juga mengalami koagulasi, namun tidak membentuk struktur fiber dan berada dalam bentuk presipitat granular, ketika ethanol atau isopropanol dibuang dan pellet dikeringanginkan dalam tabung, maka pellet yang tersisa dalam tabung ialah DNA pekat, presipitasi kembali dengan ethanol atau isopropanol sebelum pellet dikeringanginkan akan meningkatkan derajat kemurnian DNA yang didapat (Bettelheim & Landesberg, 2007). 

Protokol Metode Alkaline Lisis 

 plasmid isolation alkaline lysis method Prinsip dan Metode Isolasi DNA Plasmid


Isolasi DNA plasmid dengan prinsip alkalyne lysis yakni langkah pertama yang dilakukan ini ialah resuspensi pellet sel basil dengan larutan I. Larutan I adalah adonan glukosa, Tris-HCl, dan Na-EDTA. Komponen glukosa pada larutan I sanggup berperan sebagai buffer untuk mempertahankan pH semoga tetap pada kisaran 12, hal ini sangat penting lantaran tahap pelisisan sel memakai SDS-NaOH membutuhkan kondisi pH basa (Birnboim & Doly, 1979; Ausubel et al., 2003). Fungsi Tris-HCl dalam larutan I sebagai buffer sesudah sel mengalami pelisisan, sebagaimana disebutkan Surzycki (2000), kondisi pH sesudah pelisisan sel sanggup dipertahankan pada kisaran 7,6-9 yang merupakan kisaran pH fisiologis internal sel, sehingga DNA tidak mengalami kerusakan. Na-EDTA pada larutan I berperan sebagai chelating agent yang sanggup menginaktivasi enzim DNase dengan cara mengikat ion magnesium yang diharapkan sebagai kofaktor enzim nuklease sehingga sanggup mencegah DNA terdenaturasi oleh acara DNase (Bettelheim & Landesberg, 2007; Walker & Ralph, 2008).

Larutan II yang merupakan adonan SDS dan NaOH ditambahkan pada suspensi sel basil dalam larutan I. Penggunaan SDS dalam larutan II bertujuan untuk melisiskan membran sel, O'sullivan dan Klaenhammer (1993) menyebutkan bahwa SDS merupakan detergen anionik yang sanggup melisiskan membran sel. Selain melisiskan sel, SDS sanggup mereduksi acara enzim nuklease dengan kemampuannya mendenaturasi komponen protein selular (Switzer, 1999). Komponen NaOH pada larutan II sanggup memperlihatkan kondisi basa yang menimbulkan DNA mengalami denaturasi (Ausubel et al., 2003; Reece, 2004). Hal tersebut mengindikasikan bahwa penambahan larutan II merupakan tahap pelisisan sel dalam proses isolasi DNA plasmid.

Penambahan larutan III (Natrium asetat) pada adonan pellet sel bakteri, larutan I, dan larutan II bertujuan untuk memisahkan antara DNA plasmid dengan komponen selular lain menyerupai protein, DNA kromosomal, dan debris sel, sesudah sel dilisiskan. Dale & von Schantz (2007) menyebutkan bahwa penambahan natrium asetat sanggup menurunkan pH dan menimbulkan DNA plasmid yang berukuran lebih kecil dari DNA kromosomal sanggup segera mengalami renaturasi sedangkan DNA kromosomal tidak sanggup eksklusif segera mengalami renaturasi. Inkubasi pada es selama 10 menit yang dilakukan sesudah penambahan larutan III sanggup memaksimalkan renaturasi DNA plasmid (Wilson & Walker, 2010). Sentrifugasi sesudah penambahan natrium asetat sanggup menimbulkan DNA kromosomal, protein, dan RNA dengan berat molekul yang relatif besar mengalami presipitasi (Reece, 2004). Hal tersebut menunjukan bahwa pellet yang terbentuk sesudah sentrifugasi yang dilakukan sesudah penambahan larutan III ialah presipitat DNA kromosomal, protein, dan RNA dengan berat molekul relatif besar, sedangkan DNA plasmid berada pada supernatan.

DNA plasmid yang terdapat supernatan sanggup dipekatkan dan dipisahkan dari kontaminan terlarut melalui proses presipitasi, sebagaimana disebutkan Davis et al. (1994) bahwa komponen DNA yang terdapat pada supernatan masih tercampur dengan garam-garam terlarut komponen buffer dan DNA sanggup dipisahkan dari kontaminan terlarut melalui presipitasi DNA. Presipitasi DNA plasmid dalam supernatan dilakukan dengan menambahkan isopropanol. DNA sanggup terpresipitasi sesudah penambahan isopropanol disebabkan DNA tidak terlarut dalam isopropanol (Dolphin, 1998). Hasil presipitasi DNA plasmid dengan penambahan isopropanol pada umunya nampak sebagai pellet berwarna putih. 

Pellet DNA yang terbentuk sesudah presipitasi dengan memakai isopropanol sanggup dipurifikasi untuk meningkatkan kemurnian DNA yang didapat. Proses purifikasi DNA dilakukan dengan pembersihan memakai ethanol 70%. Pencucian dengan ethanol 70% sanggup menghilangkan residu-residu garam yang masih tersisa sesudah presipitasi, sehingga DNA yang didapatkan lebih murni (Keller & Mark, 1989; Zyskind & Sanford, 1992).

Setelah pembersihan dengan ethanol 70%, ethanol kemudian dibuang dan pellet dikeringanginkan, kemudian ditambahkan buffer TE dan disimpan di freezer. Pelt-Verkuilet al. (2008) menyatakan bahwa buffer TE dan penyimpanan suhu pada -20 °C memungkinkan DNA sampel yang telah diekstraksi sanggup disimpan sampai waktu berminggu-minggu. Keller & Mark (1989) menyebutkan bahwa pelarutan kembali dengan buffer TE sanggup memisahkan antara RNA yang mempunyai berat molekul lebih rendah dibandingkan DNA sehingga DNA yang didaptkan tidak tercemar oleh RNA dan DNA sangat stabil ketika disimpan dalam keadaan terpresipitasi pada suhu -20 °C.

Jika DNA plasmid yang didapatkan belum memperlihatkan isu mengenai derajat kemurnian ataupun ukuran molekulnya, maka perlu dilakukan pengujian lebih lanjut untuk menguji keberhasilan proses isolasi DNA plasmid. Analisis spektrofotometri sanggup dipakai untuk mengukur konsentrasi dan kemurnian DNA (Zyskind & Sanford, 1992; Dolphin, 2008), sedangkan ukuran DNA plasmid yang didapat sanggup diperiksa melalui analisis elektroforesis (Holme & Hazel, 1998).