Kajian Bioetika Rekayasa Genetika Tanaman

(pic via: irishnewsreview)

Ilmu pengetahuan dalam bidang rekayasa genetika tumbuhan mengalami perkembangan yang luar biasa. Perkembangannya diharapkan bisa memperlihatkan solusi atas banyak sekali permasalahan baik dari segi sandang, pangan, dan papan yang secara konvensional tidak bisa memperlihatkan konstribusi yang maksimal. Adanya produk hasil rekayasa tumbuhan mempunyai tujuan untuk mengatasi kelaparan, defisiensi nutrisi, peningkatan produktivitas tanaman, ketahanan terhadap cekaman lingkungan yang ekstrem, dan lain-lain (Amin et al., 2011a). Perkembangan dari rekayasa genetika tersebut diikuti dengan banyak sekali macam warta permasalahan menyerupai sosial, ekonomi, lingkungan, kesehatan, politik, agama, sopan santun dan legalitas suatu produk rekayasa genetika. Permasalahan-permasalahan tersebut terangkum dalam sebuah kajian yang dinamakan bioetika (Pottage, 2007; Evans&Michael, 2008). Perma-salahan bioetika rekayasa genetika selalu dikaitkan oleh banyak sekali macam kekhawatiran perihal produk hasil rekayasa genetika. Kekhawatiran tersebut mendorong munculnya banyak sekali macam kontroversial di kalangan masyarakat. Dari hal inilah muncul banyak sekali macam pro dan kontra mengenai produk rekayasa genetika. Adanya banyak sekali polemik tersebut mendasari terbentuknya banyak sekali macam peraturan atau protokol yang mengatur banyak sekali macam acara di bidang rekayasa genetika (Dano, 2007). 

Pemanfaatan Rekayasa Genetika Tanaman
Tanaman transgenik mempunyai potensi yang bisa mengubah dunia agrikultural. Hal ini dikarenakan tumbuhan transgenik bisa meningkatkan hasil produktivitas serta bisa menekan biaya dann mengurangi ketergantungan materi kimia yang bisa mencemari lingkungan (Bhumiratana & Kongsawat, 2008). Pemanfaatan tumbuhan transgenik bisa meningkatkan produksi tumbuhan di lebih dari 15 negara serta hampir 80 juta hektar pada tahun 2004 dalam skala global digunakan untuk memproduksi tumbuhan transgenik menyerupai kedelai, jagung, kanola dan kapas (Watanabe, 2005). Pada tahun 2009, terjadi peningkatan menjadi 29 negara yang memakai tumbuhan transgenik. Hal ini dikarenakan tumbuhan transgenik bisa meningkatkan hasil produksi serta bisa memperlihatkan income skala global, bisa mereduksi emisi karbon, serta bisa meminimalisir penggunaan pestisida (Adams, 2011). 

Tanaman transgenik yang telah diaplikasikan mempunyai sejumlah potensi antara lain menghasilkan tumbuhan yang toleran terhadap herbisida, serangga/hama, kekeringan, banjir, panas, dan kadar garam. Tanaman-tanaman tersebut telah dimodifikasi secara genetik untuk bisa mentoleransi kondisi lingkungannya. Sebagai pola tumbuhan kapas yang bisa menghasilkan toksin serangga yang telah disisipi gen dari Bacillus thuringensis (Bt). Di india, tamanan kapas transgenik tersebut secara ekonomi bisa meningkatkan hasil produksi sebesar 39% serta meningkatkan profit sebesar 71% per hektar dan dampak kasatmata terhadap lingkungan yaitu bisa mengurangi penggunaan pestisida sebesar 33% pada tahun 2007. Sementara di China bisa menghasilkan tumbuhan padi transgenik yang juga disisipi gen penghasil toksin serangga dari Bt dan sebagai akibatnya negara tersebut bisa mereduksi penggunaan 17 kg pestisida per hektar. Dan dalam skala global, penggunaan pestisida mengalami penurunan sebesar 389 juta kg sejak tahun 1996 (Adams, 2011; Velkov et al., 2005). 

Pengertian Bioetika 
Etika yaitu kajian yang membahas mengenai sudut pandang moral yang mengatur suatu sikap yang sesuai dengan keadaan bagi perorangan maupun kelompok. Secara sederhana, sopan santun sanggup didefinisikan sebagai suatu keadaan perilaku, norma, atau perspektif yang membedakan antara baik dan jelek yang sanggup diterima oleh suatu kelompok sosial. Sementara pengertian bioetika sendiri merupakan kajian sopan santun yang berada pada level kajian biologi dan medis. Dalam pertanian, Bioetika dipandang sebagai penerapan yang lebih luas mengenai bioetika yang meliputi suatu penialaian sopan santun terhadap semua tindakan yang bisa membantu atau membahayakan suatu organisme. (Fossey, 2007). 

Dalam membahas bioetika, terdapat empat prinsip mendasar yang dirintis oleh Maulana Jalaluddin Rumi pada kurun 13 yang meliputi: 
  1. Beneficence, yakni memperlihatkan prioritas yang bermanfaat bagi kesejahteraan insan serta mengacu pada sikap yang baik.
  2. Non-maleficence, menghindari sikap yang sanggup merugikan orang lain.
  3. Autonomy, menghormati hak-hak langsung orang lain 
  4. Justice, memperlihatkan sikap yang adil serta kesetaraan bagi manusia. (Aksoy&Tenik, 2002; Fossey, 2007). 

Kebijakan Regulasi Tanaman Transgenik 
Kebijakan publik pada pengembangan dan penggunaan organisme yang dimodifikasi secara genetik (Genetically Modified Organism–GMO) selalu berkaitan dengan administrasi risiko yang akan ditimbulkan. Sehingga diharapkan suatu regulasi yang mengatur suatu produk transgenik. Regulasi yang dikaji berupa Regulation and Risk Assessment, yang merupakan peraturan mengenai peluncuran, pengembangan, dan produksi komersial dari GMO yang berkaitan dengan risiko lingkungan dan kesehatan; dan ‘‘The Natural’’ and Crossing Species Borders, yang merupakan pengaturan mengenai klaim “tidak alami” akhir penyebaran GMO yang dikhawatirkan akan mengganngu biodiversitas (Myskja, 2006). 

Adapun regulasi skala global telah yang disepakati yaitu Cartagena Protocol on Biosafety yang didasarkan pada asas precationary yang terdiri dari 40 artikel dan 3 annex (Cartagena Protocol, 2000). Protokol tersebut mempunyai tujuan untuk memperlihatkan konstribusi dan memastikan keamanan di lingkungan serta menangani dan memperlihatkan sarana bagi organisme transgenik supaya tidak merugikan keanekaragaman hayati dengan mempertimbangkan juga pula resikonya terhadap kesehatan manusia. Protokol tersebut juga berlaku bagi perpindahan lintas batas, persinggahan, penanganan dan penggunaan semua organisme hasil modifikasi yang mungkin mempunyai imbas jelek pada konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati, dengan mempertimbangkan pula risiko terhadap kesehatan manusia. 

Selain protokol Cartagena, regulasi regional juga diberlakukan menyerupai yang dilakukan di negara Denmark pada tahun 2004 yang mengatur beberapa regulasi, yakni: sistem perizinan dalam menumbuhkan tumbuhan transgenik; isolasi jarak yang secara saintifik telah dievaluasi dan disetujui; dan tanggung jawab terhadap kerusakan yang mungkin muncul akhir hibridisasi/ pencampuran tumbuhan transgenik dengan non-transgenik. 

Dalam skala nasional, sudah dibuat undang-undang yang berkaitan dengan transgenik yang tertuang dalam UU No. 18/2002 Tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan IPTEK (RPP Peneltian Berisiko Tinggi). Disebutkan pada pasal 22 yang berbunyi: 

1) Pemerintah menjamin kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara serta keseimbangan tata kehidupan insan dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup. 2) Untuk melakukan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah mengatur perizinan bagi pelaksanaan kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berisiko tinggi dan berbahaya dengan memperhatikan standar nasional dan ketentuan yang berlaku secara internasional. 

Kajian Dampak Sosial - Ekonomi Transgenik 
Menurut Dano (2007), kajian mengenai dampak sosial-ekonomi transgenik mempunyai keterkaitan dengan sejumlah alasan/nilai-nilai penting, antara lain tanggung jawab sosial: para ilmuwan yang membuatkan transgenik harus memperkenalkan ke masyarakat serta diperhatikan pula tanggung jawab moral dan sopan santun akan dampak-dampak yang ditimbulkan dari produk transgenik, termasuk potensi dampak sosial-ekonominya; tanggung jawab antar generasi: tujuan dari adanya teknologi harus mempunyai sifat pembangunan berkelanjutan. Oleh alasannya yaitu itu, tujuan ini terkait dengan tanggung jawab antar generasi dari para pengembang teknologi tersebut dan para pembuatan kebijakan pemerintah. Mengkaji dampak sosial-ekonomi transgenik tidak hanya akan menjamin bahwa dampak akan tersebut bisa dihilangkan atau setidaknya dampaknya diminimalkan, tetapi tetap sanggup melindungi kepentingan dan kebutuhan generasi masa kini dan masa depan alasannya yaitu dampak sosial-ekonomi teknologi akan dirasakan dari generasi ke generasi; penerimaan masyarakat: dengan memperlihatkan pertimbangan yang serius akan potensi dampak sosial-ekonomi transgenik, para pengembang dan pembuat kebijakan akan mempunyai kepekaan lebih baik atas penerimaan masyarakat akan teknologi dan produk-produknya; mengurangi biaya jangka panjang: keprihatinan utama dalam pengkajian sosial-ekonomi transgenik yaitu biaya yang terkait proses-proses dari luasnya partisipasi para pihak, pelaku, serta kurun waktu yang diharapkan untuk melalui proses-proses tersebut. Hal ini mungkin bisa menjadi keprihatinan yang benar dalam jangka pendek, namun mengabaikan kemungkinan biaya jangka panjang dari sebuah teknologi terhadap masyarakat yang muncul dari dampak merusak yang potensial. Oleh alasannya yaitu itu, dengan memasukkan pertimbangan sosial-ekonomi dalam pembuatan keputusan perihal transgenik, maka biaya sosial, ekonomi, dan budaya yang tidak sanggup ditarik kembali kemungkinan sanggup dihapus atau diminimalkan dampaknya. Kajian dampak sosial-ekonomi tersebut juga sangat bergantung kepada kondisi suatu negara perkembangan negara. 

Pertimbangan Etika dan Agama 
Berbagai pertimbangan sopan santun yang menyangkut agama dalam konteks sains sering menjadi topik yang sering dibahas. Menurut Evans & Michael (2008), studi perihal korelasi antara agama dan sains secara tradisional diasumsikan bahwa setiap konflik yang terjadi semat-mata didasarkan pada epistemologi dari esensi agama itu sendiri. Oleh alasannya yaitu itu, pertimbangan setiap agama terhadap tumbuhan transgenik mempunyai kebijakan sendiri. Namun hal tersebut juga dipengaruhi oleh kebijkan suatu negara serta pola pikir suatu masyarakat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Amin et al (2011b) di Malaysia dengan responden banyak sekali agama serta ras, mereka bisa mendapatkan dan mengiterpretasikan antara agama dengan tumbuhan transgenik berupa yang padi yang telah disisipi gen penghasil vitamin C. Tentu saja masih banyak kajian yang perlu dilakukan untuk membahas korelasi sopan santun dan agama dengan tumbuhan transgenik yang lain. 

Sementara itu, pertimbangan sopan santun dan agama sanggup dikaji menjadi dua, yakni intrinsic objections yang mengkaji dampak transgenik terhadap lingkungan dan kesehatan manusia, dikhawatirkan akan merugikan petani kecil, adanya warta bahwa tumbuhan transgenik akan dijadikan ladang bisnis ilmu pengetahuan, dan tumbuhan transgenik sanggup mengancam biodiversitas. Kajian berikutnya yaitu extrinsic objections yang mengkaji bahwa tumbuhan transgenik bersifat "unnatural" dikarenakan adanya campur tangan alam atau permainan Tuhan, bisa mengubah dunia melalui tekhnologi baru, membatasi persilangan spesies secara alami, adanya reproduksi nonseksual, sanggup mengganggu integritas, kecantikan, dan keseimbangan alam, serta sanggup mengganggu ketenangan makhluk.