hukum
Peradilan Manajemen Negara (Ptun) Dan Pinjaman Aturan Bagi Masyarakat Di Indonesia
SUDUT HUKUM | Tujuan pembentukan dan kedudukan suatu peradilan manajemen negara (PTUN) dalam suatu negara, terkait dengan falsafah negara yang dianutnya. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, oleh akibatnya hak dan kepentingan perseorangan dijunjung tinggi disamping juga hak masyarakatnya. Kepentingan perseorangan adalah seimbang dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum. Karena itu, berdasarkan S.F Marbun43 secara filosofis tujuan pembentukan peradilan manajemen negara (PTUN) yaitu untuk menunjukkan proteksi terhadap hak-hak perseorangan dan hak-hak masyarakat, sehingga tercapai keserasian, keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum.
Selain itu, berdasarkan Prajudi Atmosudirdjo, tujuan dibentuknya peradilan manajemen negara (PTUN) yaitu untuk berbagi dan memelihara manajemen negara yang sempurna berdasarkan hukum (rechtmatig) atau sempurna berdasarkan undang-undang (wetmatig) atau sempurna secara fungsional (efektif) atau berfungsi secara efisien. Sedangkan Sjachran Basah45 secara gamblang mengemukakan bahwa tujuan pengadilan manajemen negara (PTUN) ialah menunjukkan pengayoman aturan dan kepastian hukum, tidak hanya untuk rakyat semata-mata melainkan juga bagi manajemen negara dalam arti menjaga dan memelihara keseimbangan kepentingan masyarakat dengan kepentingan individu. Untuk administasi negara akan terjaga ketertiban, ketentraman dan keamanan dalam melaksanakan tugas-tugasnya demi terwujudnya pemerintahan yang berpengaruh higienis dan berwibawa dalam negara aturan berdasarkan Pancasila.
Dengan demikian forum pengadilan manajemen negara (PTUN) yaitu sebagai salah satu tubuh peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, merupakan kekuasaan yang merdeka yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam rangka menyelenggarakan peradilan guna menegakkan aturan dan keadilan. Penegakan aturan dan keadilan ini merupakan serpihan dari proteksi aturan bagi rakyat atas perbuatan aturan publik oleh pejabat manajemen negara yang melanggar hukum.
Berdasarkan hal tersebut, maka peradilan manajemen negara (PTUN) diadakan dalam rangka menunjukkan proteksi (berdasarkan keadilan, kebenaran dan ketertiban dan kepastian hukum) kepada rakyat pencari keadilan (justiciabelen) yang merasa dirinya dirugikan akhir suatu perbuatan aturan publik oleh pejabat manajemen negara, melalui pemeriksaan, pemutusan dan penyelesaian sengketa dalam bidang manajemen negara. Dengan demikian, sanggup dikatakan bahwa meskipun segala bentuk tindakan pejabat manajemen negara telah diatur dalam norma-norma aturan manajemen negara akan tetapi bila tidak ada forum penegak aturan dari aturan manajemen negara itu sendiri, maka norma-norma tersebut tidak memiliki arti apa-apa. Oleh alasannya yaitu itu eksistensi pengadilan manajemen negara (PTUN) sesuatu yang wajib, dengan maksud selain sebagai sarana kontrol yuridis terhadap pelaksana manajemen negara juga sebagai suatu bentuk atau wadah proteksi aturan bagi masyarakat lantaran dari segi kedudukan hukumnya berada pada posisi yang lemah.
Berkenaan dengan konsep proteksi aturan bagi masyarakat di Indonesia, bergotong-royong beranjak dari makna Pancasila yang berarti kekeluargaan atau gotong royong, berdasarkan Philipus M. Hadjon asas berdasarkan jiwa kekeluargaan ini sanggup disebut pula sebagai asas kerukunan. Asas kerukunan tersebut melandasi hubungan antara pemerintah dengan rakyat, serta antara organ kekuasaan negara yang satu dengan lainnya yang melahirkan relasi fungsional proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara.
Atas dasar keserasian relasi berdasarkan asas kerukunan, maka sedapat mungkin penyelesaian sengketa dilakukan melalui cara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir. Hal itu lantaran musyawarah sebagai cerminan proteksi aturan preventif berupa santunan kesempatan kepada rakyat untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum pemerintah menunjukkan keputusan yang definitif. Musyawarah sangat besar artinya ditinjau dari perbuatan pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak lantaran pemerintah akan terdorong untuk mengambil perilaku hati-hati, sehingga sengketa yang kemungkinan sanggup terjadi sanggup dicegah.
Sengketa yang dimaksud yaitu berdasarkan Pasal 1 butir 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, yang menyebutkan bahwa:
Sengketa tata perjuangan negara (sengketa manajemen negara) yaitu sengketa yang timbul dalam bidang tata perjuangan negara (administrasi negara) antara orang atau tubuh aturan perdata dengan tubuh atau pejabat tata perjuangan negara (pejabat manajemen negara) baik di pusat maupun di daerah, sebagai akhir dikeluarkannya keputusan tata perjuangan negara (keputusan manajemen negara), termasuk kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Pada kenyataannya, sengketa manajemen negara muncul jikalau seseorang atau tubuh aturan perdata merasa dirugikan, sebagai akhir dikeluarkannya suatu keputusan. Sebagaimana diketahui bahwa, pejabat manajemen negara dalam fungsi menyelenggarakan kepentingan umum tidak terlepas dari tindakan mengeluarkan keputusan, sehingga tidak menutup kemungkinan pula keputusan tadi menimbulkan kerugian.
Kewenangan itu berupa peranan hakim pengadilan manajemen negara (PTUN) memutuskan besarnya ganti rugi dan pelaksanaan upaya paksa (termasuk dwangsoom) terhadap pejabat manajemen negara yang dinyatakan bersalah dan melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik yang merugikan masyarakat dan negara, serta penyelesaian sengketa manajemen negara yang berupa tindakan materiil pejabat manajemen negara (onrechmatige overheidsdaad) pun menjadi kompetensi adikara pengadilan manajemen negara (PTUN). Dalam kaitan dengan pengadilan manajemen negara sebagai salah satu tubuh peradilan yang menjalankan “kekuasaan kehakiman yang bebas” sederajat dengan pengadilan-pengadilan lainnya dan berfungsi menunjukkan pengayoman aturan akan bermanfaat sebagai:
- Tindakan pembaharuan bagi perbaikan pemerintah untuk kepentingan rakyat;
- Stabilisator aturan dalam pembangunan;
- Pemelihara dan peningkat keadilan dalam masyatakat;
- Penjaga keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum.
Berdasarkan kenyataan tersebut dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa di samping peradilan umum, peradilan manajemen negara (PTUN) merupakan sarana proteksi aturan represif, yang menunjukkan proteksi hukum bagi rakyat dengan mengemban fungsi peradilan. Fungsi tersebut dilaksanakan sedemikian rupa sehingga senantiasa menjamin dan menjaga keserasian hubungan antara rakyat dengan pemerintah berdasarkan asas kerukunan yang tercermin dalam konsep negara aturan di Indonesia. Indonesia sebagai penganut paham negara aturan modern, dituntut adanya peranan dan fungsi aturan yang secara stabil dan dinamis bisa mengatur aneka macam kepentingan tanpa meninggalkan ilham dasarnya yaitu keadilan. Hukum yang demikian juga mengandung tuntutan untuk ditegakkan atau dengan kata lain, proteksi aturan yang diberikan merupakan suatu keharusan dalam penegakan hukum.
Maksud penegakan aturan tersebut diatas, penulis sependapat dengan apa yang diutarakan Abdulkadir Muhammad. Menurutnya, penegakan aturan sanggup dirumuskan sebagai perjuangan melaksanakan aturan sebagaimana mestinya, mengawasi pelaksanaannya biar tidak terjadi pelanggaran, dan bila terjadi pelanggaran maka untuk memulihkannya kembali dengan penegakan hukum. Dengan demikian penegakan aturan dilakukan dengan penindakan hukum, yang berdasarkan penulis sanggup diklasifikasikan sebagai berikut:
- Teguran peringatan supaya menghentikan pelanggaran dan jangan berbuat lagi.
- Pembebanan kewajiban tertentu (ganti kerugian dan atau denda).
- Pencabutan hak-hak tertentu (sanksi manajemen ringan, sedang, dan berat seperti: berupa pencopotan jabatan atau pemberhentian dengan tidak hormat).
- Publikasi kepada masyarakat umum (media cetak dan atau elektronik).
- Rekomendasi black list secara politis (kepada forum eksekutif, legislatif, dan yudikatif terutama apabila yang bersangkutan akan menjalani fit and proper test).
- Pengenaan hukuman tubuh (pidana penjara).
Meskipun penegakan aturan manajemen negara sebagaimana tersebut di atas dalam prakteknya jarang dipatuhi, berdasarkan irit penulis permasalahan semua ini bermuara pada moralitas dari pejabat yang bersangkutan dan peraturan perundang-undangan yang tidak secara tegas mengatur pengenai pelaksanaan hukuman/ hukuman dari forum pengadilan manajemen negara (PTUN).
Permasalahan mengenai moralitas pejabat memang sangat abnormal sehingga sangat sulit dianalisa ketidak patuhan secara aturan pejabat tersebut lantaran berkenaan dengan kejiwaan (humanistis) dan latar belakang kehidupan pejabat yang bersangkutan. Meskipun demikian, perlu adanya alat kontrol lainnya dalam rangka penegakan aturan manajemen negara ini yaitu peraturan perundang-undangan. Celakanya hingga ketika ini peraturan perundang-undangan yang ada belum memadai, yang berdasarkan penulis permasalahan tersebut karena:
- Sempitnya pengertian objek sengketa manajemen negara yang sanggup diselesaikan di PTUN. Dengan kata lain, arti ketentuan Pasal 1 angka 3 UU No. 9 Tahun 2004 menyimpang dari pengertian sengketa manajemen negara secara luas yang secara teoritis meliputi seluruh perbuatan aturan publik.
- Hukum manajemen negara formil (hukum program PTUN) sudah terwujud akan tetapi hukum manajemen negara materiil belum terbentuk.
- Pelaksanaan hukuman pengadilan manajemen negara (PTUN) sebagaimana diatur dalam Pasal 116 UU No. 9 Tahun 2004 belum ditindak lanjuti oleh peraturan pelaksana sehingga tidak ada kejelasan mengenai mekanisme dan penerapan hukuman manajemen negaranya.
- Banyaknya dibuat lembaga-lembaga peradilan khusus akan tetapi wewenang didalamnya ada yang meliputi penyelesaian sengketa manajemen sehingga menjadi overlap dengan wewenang pengadilan manajemen negara (PTUN), seperti: penyelesaian sengketa perburuhan yang berkaitan dengan keputusan depnakertrans, sengketa HAKI yang bersifat administratif, sengketa pajak, dll.
Permasalahan-permasalahan ini muncul, berdasarkan penulis disebabkan lantaran tidak adanya harmonisasi dan singkronisasi peraturan perundang-undangan yang ada. Seharusnya sebelum menciptakan undang-undang para pembentuk undang-undang (DPR dan Pemerintah) membahas dengan cermat dan seksama serta mengikut sertakan para pakar aturan (terutama pakar aturan manajemen negara), apabila perlu disosialisasikan kepada publik (masyarkat/akademisi/LSM) sebelum disahkan untuk menghindari tumpang tindihnya bahan muatan antara undang-undang satu dengan lainnya.
Adanya keterbatasan aturan formil peradilan manajemen negara (PTUN), tidak berarti pula bahwa para penegak aturan harus mengabaikan atau meremehkan kesadaran-hukum mereka sendiri. Hal ini pun berdasarkan suatu teori yang mengira sanggup hidup tanpa perasaan-hukum (rechtsgevoel) tiap-tiap individu terutama penegak hukum, tak mungkin akan bisa memberi tafsiran yang sempurna wacana hukum, dan apabila teori serupa itu diterapkan dalam bidang peradilan yang bebas, sering akan menimbulkan diambilnya keputusan-keputusan yang tidak adil, juga bertentangan dengan tujuan hukum, alasannya yaitu tujuan aturan yaitu pada asasnya menegakkan keadilan.
Untuk merealisasikan keadilan dalam penegakan aturan manajemen negara, yaitu apabila hakim pengadilan manajemen negara (PTUN) tidak sanggup menemukan peraturan dalam undang-undang, maka ia harus mengambil keputusan berdasarkan aturan tidak tertulis yang dalam aturan manajemen negara dikenal dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Asas-asas ini berdasarkan penulis bisa ditemukan dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan kebiasaan dalam pemerintahan (konvensi). Adanya proteksi aturan bagi masyarakat terhadap perbuatan aturan publik pejabat manajemen yang melanggar aturan dikaitkan dengan eksistensi pengadilan manajemen negara (PTUN) sebagai forum penegak aturan dan keadilan, berdasarkan irit penulis keadaan ibarat ini sebagai wujud dari suatu pemerintahan yang baik dan berwibawa.
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik secara teoritis dikenal dengan apa yang disebut good governance. Konsep good governance mengacu pada pengelolaan sistem pemerintahan yang menempatkan transparansi, kontrol, dan accountability yang dijadikan sebagai nilai-nilai yang sentral. Dalam implementasi good governance ini aturan harus menjadi dasar, acuan, dan rambu-rambu bagi penerapan konsep tersebut. Artinya, perlu suatu upaya bagaimana rule of law itu sendiri di dalam memilih suatu good governance.
Makna good dalam good governance disini berdasarkan Sjahruddin Rasul49 mengandung dua pengertian; pertama, nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat dan nilai-nilai yang sanggup meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial; kedua, aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Selain itupun dia memaknai governance sebagai institusi yang terdiri dari tiga domain, yaitu state (negara atau pemerintahan), private sector (sektor swasta atau dunia usaha), dan society (masyarakat). Dengan demikian ketiga domain ini dalam upaya mewujudkan good governance saling berinteraksi dan terkoordinasi serta sanggup menjalankan kiprah dan fungsinya masing-masing dengan baik.
Beranjak dari ketiga domain tersebut, sektor negara atau pemerintah dalam arti luas merupakan sektor yang sangat kuat, lain dengan sektor swasta dan masyarakat yang posisinya lebih lemah lantaran segala kebijakan ditentukan oleh sektor negara tersebut. Oleh lantaran itu, sektor swasta dan masyarakat ini menerima proteksi aturan dari pengadilan manajemen negara (PTUN) apabila ada perbuatan aturan publik dari pejabat manajemen yang merugikan hak-haknya. Perlindungan aturan ini disebutkan dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa:
Orang atau tubuh aturan perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata perjuangan negara sanggup mengajukan somasi tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi biar keputusan tata perjuangan negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/ atau direhabilitasi.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, terlihat adanya unsur penegakan aturan dan proteksi aturan bagi rakyat Indonesia dalam undang-undang peradilan manajemen negara (PTUN) ini. Hal ini sesuai dengan prinsip ke-4 dan ke-5 dari lima prinsip good governance, sedangkan prinsip akuntabilitas, transparansi dan keterbukaan juga merupakan unsur penting dalam hal penyelenggaraan pemerintahan.
Menurut Sjahruddin Rasul, akuntabilitas merupakan suatu perwujudan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Dalam pemerintahan, akuntabilitas merupakan perwujudan kewajiban dari suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misinya. Berdasarkan hal tersebut berdasarkan penulis, pejabat manajemen negara dalam menjalankan tugasnya pun dimintai pertanggungjawabannya ketika melaksanakan perbuatan aturan publik, terlebih apabila perbuatannya itu melanggar hukum. Pertanggungjawaban ini secara aturan sanggup diajukan ke pengadilan administarasi negara (PTUN) sebagai forum aturan yang melaksanakan fungsi judicial control.
Adapun unsur transparansi dan keterbukaan dalam konsep good governance merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Transparansi dan keterbukaan perbuatan aturan publik oleh tubuh atau pejabat manajemen negara merupakan bentuk proteksi aturan bagi rakyat. Dikatakan demikian, lantaran dalam hal tubuh atau pejabat manajemen negara menciptakan suatu kebijakan atau keputusan manajemen negara maka rakyat yang memiliki kepentingan atas kebijakan atau keputusan tersebut harus mengetahui secara transparan atau terbuka. Misalnya dalam perekrutan pegawai negerai sipil atau penerimaan mahasiswa ke perguruan tinggi negeri harus dibuat dalam suatu keputusan manajemen yang sifatnya transparan dan terbuka bagi publik untuk mengetahui proses dan hasil perekrutan tersebut. Hal ini pun nantinya ada suatu pertanggung tanggapan secara hukum, bila ada pihak yang merasa dirugikan atas keputusan manajemen negara wacana hasil penerimaan tadi.