Pengertian Hibah Wasiat Dan Landasan Yuridisnya

SUDUT HUKUM | Kata hibah yakni bentuk masdar dari kata wahaba dipakai dalam al-Qur’an beserta kata derivatifnya sebanyak 25 kali dalam 13 surat. Wahaba artinya memberi, dan bila subyeknya Allah berati memberi karunia, atau menganugerahi (QS. Ali Imran, 3:8, Maryam, 19:5, 49, 50, 53). Secara bahasa, dalam kamus Al-Munjid, hibah berasal dari akar kata wahaba - yahabu - hibatan, berarti memberi atau pemberian. Dalam Kamus al-Munawwir kata "hibah" ini merupakan mashdar dari kata ( ب􀑧􀑧 وه ) yang berarti pemberian. Demikian pula dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pemberian dengan sukarela dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain.

Menurut terminologi, kata hibah dirumuskan dalam redaksi yang berbeda-beda, di antaranya:
  • Jumhur ulama sebagaimana dikutip Nasrun Haroen, merumuskan hibah adalah: Akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti saat masih hidup dan dilakukan secara sukarela". Maksudnya, hibah itu merupakan pemberian sukarela seseorang kepada orang lain tanpa ganti rugi, yang mengakibatkan berpindahnya pemilikan harta itu dari pemberi kepada orang yang diberi.
  • Abd al-Rahmân al-Jazirî dalam Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al- Arba’ah, menghimpun empat definisi hibah dari empat mazhab, yaitu berdasarkan mazhab Hanafi, hibah yakni memperlihatkan sesuatu benda dengan tanpa menjanjikan imbalan seketika, sedangkan berdasarkan mazhab Maliki yaitu memperlihatkan milik sesuatu zat dengan tanpa imbalan kepada orang yang diberi, dan juga sanggup disebut hadiah. Mazhab Syafi’i dengan singkat menyatakan bahwa hibah berdasarkan pengertian umum yakni memperlihatkan milik secara sadar sewaktu hidup.
  • Definisi yang lebih rinci dan komprehensif dikemukakan mazhab Hambali: Pemilikan harta dari seseorang kepada orang lain yang mengakibatkan orang yang diberi boleh melaksanakan tindakan aturan terhadap harta itu, baik harta itu tertentu maupun tidak, bendanya ada dan boleh diserahkan yang penyerahannya dilakukan saat pemberi masih hidup, tanpa mengharapkan imbalan."
  • Menurut Sayyid Sabiq, hibah yakni kesepakatan yang dilakukan dengan maksud memindahkan milik seseorang kepada orang lain saat masih hidup dan tanpa imbalan.
  • Definisi dari Syekh Muhammad ibn Qâsim al-Ghazzi, bahwa hibah yakni memperlihatkan sesuatu yang dilestarikan dan dimutlakkan dalam hubungannya dengan keadaan saat masih hidup tanpa ada ganti, meskipun dari jenjang atas.
  • Tidak jauh berbeda dengan rumusan di atas, Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malîbary, bahwa hibah yakni memperlihatkan suatu barang yang pada galibnya sah dijual atau piutang, oleh orang andal tabarru, dengan tanpa ada penukarannya.

Beberapa definisi di atas sama-sama mengandung makna pemberian harta kepada seseorang secara eksklusif tanpa mengharapkan imbalan apapun, kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah.  dengan demikian sanggup disimpulkan bahwa hibah yakni kesepakatan atau perjanjian yang menyatakan perpindahan milik seseorang kepada orang lain diwaktu ia masih hidup tanpa mengharapkan penggantian sedikitpun.

Hibah sebagai salah satu bentuk tolong menolong dalam rangka kebajikan antara sesama insan sangat bernilai positif. Para ulama fiqh (Imam Syafi'i, Maliki) setuju menyampaikan bahwa aturan hibah yakni sunat berdasarkan firman Allah dalam surat al-Nisa, 4: 4 yang berbunyi:
 ...Kemudian bila mereka menyerahkan kepada kau sebagian dari maskawin itu dengan bahagia hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu yang sedap lagi baik akibatnya
Dalam surat al-Baqarah, 2: 177 Allah berfirman:
…dan memperlihatkan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anakanak yatim, orang-orang miskin, dan orang musafir (yang memerlukan pertolongan)...
Para ulama juga beralasan dengan sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:
Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi saw, dia bersabda: Saling berhadiahlah kau sekalian, pasti kau akan saling mencintai. (Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam "Al Adabul Mufrad, dan diriwayatkan oleh Abu Ya'la dengan sanad yang bagus.
Menurut Al-San'any bahwa Al Baihaqi dan lainnya juga meriwayatkan hadis tersebut, tetapi dalam setiap riwayatnya banyak kritikan orang; sedang penyusunnya sudah menilai hasan sanadnya (hadis hasan); seperti dia menilainya hasan itu lantaran banyak penguatnya. Kelemahannya itu yakni lantaran di antara para perawinya ada orang yang lemah. Hadis tersebut mempunyai beberapa sanad yang seluruhnya tidak ada yang sepi dari kritik.

Dalam suatu matan lain bahwa hadiah itu akan menghilangkan rasa dendam. Hadis-hadis tersebut sekalipun tidak lepas dari kritikan orang, namun bantu-membantu hadiah itu terang mempunyai fungsi bagi perbaikan perasaan hati.

Baik ayat maupun hadis di atas, berdasarkan jumhur ulama memperlihatkan (hukum) ajuan untuk saling membantu antar sesama manusia. Oleh alasannya itu, Islam sangat menganjurkan seseorang yang mempunyai kelebihan harta untuk menghibahkannya kepada orang yang memerlukannya. Menurut Ali Ahmad al-Jurjawi yang dikutip Masjfuk Zuhdi, bahwa Islam menganjurkan biar umat Islam suka memberi, lantaran dengan memberi lebih baik daripada menerima. Pemberian harus ikhlas, tidak ada pamrih/motif apa-apa, kecuali untuk mencari keridhaan Allah dan untuk mempererat tali persaudaraan/persahabatan.

Sekalipun hibah mempunyai dimensi taqarrub dan sosial yang mulia, di sisi lain terkadang hibah juga sanggup menumbuhkan rasa iri dan benci, bahkan ada pula yang menimbulkan perpecahan di antara mereka yang mendapatkan hibah, terutama dalam hibah terhadap keluarga atau anak-anak. Hibah seorang ayah terhadap bawah umur dalam keluarga tidak sedikit yang sanggup menimbulkan iri hati, bahkan perpecahan keluarga. Artinya, hibah yang semula mempunyai tujuan mulia sebagai taqarrub dan kepedulian sosial sanggup berkembang menjadi peristiwa dan malapetaka dalam keluarga.

Adapun kata "wasiat" bahwa dalam Kamus Arab Indonesia, wasiat يّة ) 􀑧 وص ) yang bentuk jama’-nya ا ي 􀑧 وص artinya pesan-pesan. Sedangkan dalam Kamus Al-Munawwir, wasiat berarti pesan ( ية 􀑧 19 .(الوص Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, wasiat berarti pesan yang terakhir yang dikatakan atau dituliskan oleh orang yang akan meninggal (berkenaan dengan harta benda dsb); surat – surat warisan.20 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, wasiat yakni pesan terakhir yang disampaikan oleh orang yang akan meninggal (biasanya berkenaan dengan harta kekayaan dsb).

Sedangkan dalam Kamus Modern Bahasa Indonesia, wasiat berarti kehendak yang penghabisan dari
pada orang yang akan mati. Dalam Fath al-Mu’în disebutkan:
Wasiat berdasarkan arti bahasa yakni "menyampaikan yang mempunyai makna memberikan sesuatu. Dengan demikian wasiat yakni memberikan lantaran pewasiat memberikan sesuatu yang mengandung kebaikan di dunia dengan kebaikan di akhiratnya".
Dalam kitab Kifâyah Al Akhyâr dirumuskan:
Perkataan wasiat diambil dari maksud ke kata: Aku menyambung perkara. Karena, orang yang berwasiat itu menyambung apa yang menjadi miliknya semasa hidupnya, disambung dengan apa yang ada setelah matinya."
Pengertian wasiat berdasarkan terminologi syari'at sanggup disebutkan sebagai berikut: berdasarkan Sayyid Sabiq, wasiat yakni pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang atau manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat setelah orang yang berwasiat mati.

Menurut syara' yakni secara suka rela memperlihatkan hak yang dikaitkan dengan setelah mati".
Dalam istilah syara', wasiat itu yakni penyerahan kuasa bertindak yang khusus setelah mati. Dalam permulaan Islam, wasiat itu wajib dengan menyerahkan seluruh harta kepada para famili".
Ulama mazhab Hanafi menerangkan, wasiat ialah memperlihatkan milik yang disandarkan kepada keadaan setelah mati dengan cara sedekah atau derma. Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disebutkan bahwa yang dimaksud dengan wasiat yakni pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau forum yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia (Pasal 171 abjad f). Ketentuan wacana wasiat ini terdapat dalam Pasal 194 - 209 yang mengatur secara keseluruhan mekanisme wacana wasiat. 

Dari beberapa rumusan di atas, sanggup disimpulkan bahwa wasiat yakni pernyataan atau perkataan seseorang kepada orang lain bahwa ia memperlihatkan kepada orang lain itu hartanya tertentu atau membebaskan hutang orang itu atau memperlihatkan manfaat sesuatu barang kepunyaannya setelah ia meninggal dunia.

Wasiat itu disyari'atkan melalui Kitab, Sunnah dan Ijma'. Di dalam Kitab, Allah Swt. berfirman:
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kau kedatangan gejala maut, bila dia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf. Ini yakni kewajiban atas orangorang yang bertakwa". (QS. al-Baqarah: 180).
... setelah dipenuhi wasiat yang dia buat atau setelah dibayar hutangnya ..."(QS. an-Nisa: 11).
Dan firman-Nya:
Wahai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang di antara kau menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah wasiat itu disaksikan oleh dua (yang yang adil di antara kau .... "(QS. al-Maidah: 106).
Di dalam Sunnah juga terdapat hadis-hadis berikut:
Telah mengabarkan kepada kami dari Harun bin Ma'ruf dari Abdullah bin Wahb dari Amr bin Harits dari Ibnu Syihab dari Salim dari ayahnya bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda: tidak ada kemauan yang berpengaruh dari seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang pantas diwasiatkannya hingga menginap tiga malam kecuali wasiatnya tertulis di sisinya. Abdullah Ibnu 'Umar berkata: semenjak saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda begitu tidak satu malam pun kulalui tanpa wasiat di sisiku". (HR. Muslim).
Makna hadis di atas, bahwa yang demikian ini (wasiat yang tertulis dan selalu berada di sisi orang yang berwasiat) merupakan suatu keberhatihatian, alasannya kemungkinan orang yang berwasiat itu mati secara tiba-tiba.