Pengertian Tindak Pidana Penodaan Agama

SUDUT HUKUM | Sebelum menginjak ke pembahasan tindak pidana penodaan agama, lebih baik kita pahami dahulu apa yang dimaksud dengan tindak pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana. Namun berkaitan dengan pengertian tindak pidana tersebut, tindak pidana berasal dari kata strafbaar feit (Belanda), dan dari kata tersebut Prof. Moeljatno menganggap lebih sempurna memakai istilah “perbuatan pidana”.

Tindak pidana memiliki dua sifat yaitu sifat formil dan sifat materiil, sifat formil dalam tindak pidana dihentikan dan diancam dengan eksekusi oleh undang-undang yaitu melaksanakan perbuatan (dengan selesainya tindak pidana itu, tindak pidana terlaksana), lalu dalam sifat materiil, dalam jenis tindak pidana yang dihentikan dan diancam dengan eksekusi oleh undangundang yaitu timbulnya suatu akhir (dengan timbulnya akibat, maka tindak pidana terlaksana).

Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam buku Azas-azas Hukum pidana di Indonesia menawarkan suatu pengertian mengenai tindak pidana adalah pelanggaran norma-norma dalam tiga bidang hukum lain, yaitu Hukum Perdata, Hukum Ketatanegaraan, dan Hukum Tata Usaha Pemerintah, yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu aturan pidana, maka sifat-sifat yang ada dalam suatu tindak pidana yaitu sifat melanggar hukum, alasannya yaitu tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum.

Istilah “tindak” dari tindak pidana yaitu merupakan kependekan dari tindakan atau petindak, artinya ada orang yang melaksanakan suatu tindakan, sedangkan orang yang melaksanakan itu dinamakan petindak. Sesuatu tindakan dapat dilakukan oleh siapa saja tetapi dalam banyak hal sesuatu tindakan tertentu hanya mungkin dilakukan oleh seseorang dari yang bekerja pada negara atau pemerintah, atau orang yang memiliki suatu keahlian tertentu.

Secara ringkas dapatlah disusun unsur-unsur dari tindak pidana, yaitu:

  1. Subyek.
  2. Kesalahan.
  3. bersikap melawan hukum.
  4. suatu tindakan aktif/pasif yang dihentikan atau diharuskan oleh undangundang dan terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana.
  5. waktu, kawasan dan keadaan.

Sesuatu tindakan yang dilakukan itu haruslah bersifat melawan hukum, dan tidak terdapat dasar-dasar atau alasan-alasan yang meniadakan sifat melawan aturan dari tindakan tersebut. Setiap tindakan yang bertentangan dengan hukum atau tidak sesuai dengan hukum, tidak disenangi oleh orang atau masyarakat, yang baik eksklusif maupun yang tidak eksklusif terkena tindakan tersebut. Pada umumnya untuk menuntaskan setiap tindakan yang sudah dipandang merugikan kepentingan umum di samping kepentingan perseorangan, dikehendaki turunnya penguasa, dan jikalau penguasa tidak turun tangan maka tindakan-tindakan tersebut akan menjadi sumber kekacauan yang tidak akan habis-habisnya.

Penentuan perbuatan sebagai tindak pidana terhadap kepentingan agama berdasarkan Prof. Oemar Seno Adji ibarat dikutip Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa delik agama hanya meliputi delik terhadap agama dan delik yang bekerjasama dengan agama, bekerjasama dengan teori-teori mengenai tindak pidana agama yang mendasari aturan pidana untuk menentukan adanya suatu delik agama. 

Dikemukakan oleh Oemar Seno Adji adanya tiga teori mengenai delik agama yaitu:
  • Friedensschutz Theorie yaitu teori yang memandang ketertiban atau ketenteraman umum sebagai kepentingan aturan yang dilindungi.
  • Gefuhlsschutz Theorie yaitu teori yang memandang rasa keagamaan sebagai kepentingan-kepentingan aturan yang harus dilindungi.
  • Religionsschutz Theorie yaitu teori yang memandang agama itu sebagai kepentingan aturan yang harus dilindungi/diamankan oleh negara.

Pasal 156a sering dijadikan referensi hakim untuk memutus kasus penodaan agama. Ketentuan Pasal 156a dikutip selengkanya sebagai berikut:
“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a) yang pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b) dengan maksud biar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Dalam penggalan V kitab undang-undang hukum pidana wacana kejahatan terhadap ketertiban umum tidak ada tindak pidana yang secara spesifik mengatur tindak pidana terhadap agama. “Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling usang empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

Istilah “golongan” dalam pasal ini dan pasal berikutnya yaitu tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya alasannya yaitu ras, negeri asal, agama, kawasan asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan berdasarkan aturan tatanegara. Dalam klarifikasi pasal ini disebutkan bahwa tindak pidana yang dimaksud di sini ialah semata-mata (pada pokoknya) ditujukan kepada niat untuk memusuhi atau menghina. Orang yang melakukan tindak pidana tersebut di sini, di samping mengganggu ketenteraman orang beragama intinya mengkhianati sila pertama dari negara secara total, karena itu sudah sepantasnya kalau perbuatan itu dipidana.

Selain Pasal 156a KUHP, bergotong-royong pasal 1 Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 juga merupakan tindak pidana agama, hanya saja tidak diintegrasikan dalam KUHP. Adapun jenis perbuatan yang dihentikan dalam pasal 1 tersebut yaitu melaksanakan penafsiran dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyimpang dari pokok-pokok anutan agama yang dianut di Indonesia. Namun ketentuan ini gres sanggup dipidana, berdasarkan pasal 3 Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 apabila telah menerima perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatan itu (berdasarkan SK bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri), organisasi/aliran keyakinan yang melaksanakan perbuatan itu telah dibubarkan/dinyatakan terlarang oleh Presiden Republik Indonesia, namun orang/organisasi itu masih terus melaksanakan perbuatan itu.

Sedangkan ketentuan Pasal 156a ini dimasukkan ke dalam kitab undang-undang hukum pidana bab V wacana kejahatan terhadap ketertiban umum yang mengatur perbuatan menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap orang atau golongan lain di depan umum. Juga terhadap orang atau golongan yang berlainan suku, agama, keturunan dan sebagainya. Pasal-pasal tersebut dapat dimaknai sebagai pembagian terstruktur mengenai dari prinsip anti diskriminasi dan untuk melindungi minoritas dari kewenang-wenangan kelompok mayoritas.

Pasal ini sanggup dikategorikan sebagai delik terhadap agama. Asumsinya, yang ingin dilindungi oleh pasal ini yaitu agama itu sendiri. Agama, menurut pasal ini, perlu dilindungi dari kemungkinan-kemungkinan perbuatan orang yang sanggup merendahkan dan menistakan simbol-simbol agama ibarat Tuhan, Nabi, Kitab suci dan sebagainya. Meski demikian, alasannya yaitu agama “tidak bisa bicara” maka bergotong-royong pasal ini juga ditujukan untuk melindungi penganut agama.