Kajian Lengkap: Toleransi Imunologi

Toleransi Imunologi (Immunological Tolerance) yaitu ketidakmampuan dari sistem imunitas untuk memperlihatkan respons (unresponsiveness) terhadap suatu antigen dikarenakan induksi dari antigen yang sama sebelumnya. Sel limfosit yang berhadapan dengan antigen sanggup menjadi aktif dan menghasilkan respons imun, ataupun sanggup menjadi tidak aktif atau tereliminasi dan menghasilkan toleransi. Antigen yang mengakibatkan toleransi disebut tolerogen (tolerogenic antigens). Toleransi terhadap antigen yang diproduksi badan (self-antigen) disebut sebagai self-tolerance (Abbas, dkk 2007).

Sistem imun intinya dipegang oleh dua sel utama, yakni sel limfosit B (berperan dalam respons humoral) dan sel limfosit T (berperan dalam respons seluler). Ketidakmampuan kedua sel tersebut dalam memperlihatkan respons terhadap antigen spesifiknya dikenal dengan istilah anergy. Lymphocyte anergy (disebut clonal anergy) yaitu kegagalan dari klona sel B ataupun sel T untuk bereaksi terhadap antigen dan menjadi representasi terhadap mekanisme untuk mempertahankan toleransi imunologi badan sendiri (Cruse & Lewis, 2003).

Dasar dari mekanisme toleransi imunologi ditemukan sekitar tahun 1945 dimana, Owen melaksanakan observasi terhadap kembar sapi non-identik (dizygotic) yang saling menyebarkan sirkulasi plasental yang sama dan mengembangkan toleransi terhadap antigen dari sel darah satu sama lain. Fenomena ini kemudian diteliti lebih lanjut oleh Burnet dan Fenner. Mereka menduga bahwa suatu antigen yang mencapai sel limfoid, dimana perkembangan imunitasnya belum matang, akan menekan respons terhadap antigen yang sama dikala paparan berikutnya dan binatang tersebut secara imunologi telah matang. Percobaan lebih lanjut dilakukan oleh Medawar, Brent, dan Billingham memakai transplantasi kulit pada tikus. Medawar dan rekannya menemukan prinsip penting bahwa toleransi imunologi sanggup terjadi lantaran adanya induksi dari suatu antigen pada suatu masa perkembangan limfosit dan proses induksi tersebut sanggup dilakukan secara buatan (artificial) (Roitt & Delves, 2001).

Gambar 1. Percobaan yang dilakukan oleh Medawar, Brent, dan Billingham
menggunakan transplantasi kulit pada tikus.


Proses induksi toleransi (induced tolerance) ini kemudian dijelaskan dalam dua tipe, yakni toleransi sentral (central tolerance) dan toleransi peripheral (peripheral tolerance). Toleransi sentral dijelaskan sebagai toleransi yang timbul selama perkembangan dari sel limfosit, sementara toleransi peripheral dijelaskan sebagai toleransi yang timbul sesudah sel limfosit meninggalkan organ perkembangan primer (Shetty, 2005). Toleransi sentral (central tolerance) terjadi pada organ primer/sentral dari perkembangan sel limfosit, yakni thymus pada sel T dan sumsum tulang pada sel B. Selama perkembangan sel B dan sel T di sumsum tulang dan thymus, kehadiran antigen yang terdapat pada organ tersebut umumnya hanya berupa antigen sendiri (self-antigen). Hal ini dikarenakan antigen absurd dari lingkungan luar, tidak akan ditrasport ke dalam timus, melainkan ditangkap dan ditransportasikan menuju organ limfoid perifer (Abbas, dkk 2007).

Paparan terhadap antigen sendiri dengan takaran tinggi akan memicu sel limfosit muda (immature) mengalami beberapa kemungkinan selama toleransi sentral, yakni sel tersebut akan apoptosis (disebut juga clonal deletion), beberapa sel B muda yang tidak mati akan mengalami perubahan pada reseptor mereka sehingga tidak mengenali antigen sendiri (proses ini disebut juga receptor editing), dan beberapa CD4+ akan berdeferensiasi menjadi sel T regulator (biasa disebut sel T suppressor) yang kemudian bermigrasi ke organ perifer dan mencegah respons terhadap antigen sendiri. Toleransi peripheral terjadi dikala limfosit cukup umur yang bisa mengenal antigen sendiri akan kehilangan kemampuannya dalam memperlihatkan respons (disebut anergy), turunnya viability sel, dan terinduksi memicu apoptosis (Abbas, dkk 2007).

Sel B sanggup menjadi toleransi terhadap suatu antigen melalui empat tahapan peristiwa, yaitu clonal abortion, clonal exnaustion, functional deletion, dan tahap terakhir yaitu AFC blockade. Clonal abortion adalah insiden ketika pertama kali sel B yang belum matang bertemu dengan suatu antigen dalam jumlah yang kecil. Kondisi ibarat ini diduga sanggup memicu peniadaan pematangan sel B untuk memicu respons imun, hal tersebut menimbulkan tidak terjadinya respons imun terhadap antigen tersebut. Peristiwa clonal exhaustion terjadi kalau terjadi paparan terhadap suatu antigen yang bersifat T-independent sanggup mengakibatkan terjadinya clonal exhaustion. Hal tersebut menimbulkan AFC dari sel B yang terbentuk berusia pendek dan alhasil tidak lagi tersedia sel yang sanggup merespons antigen. Peristiwa delesi fungsional disebabkan oleh keberadaan antigen yang dependent terhadap sel T maupun yang bersifat independen. Terjadinya delesi fungsional disesbabkan oleh tidak adanya santunan dari sel T untuk melawan antigen tersebut sehingga sel B tidak sanggup merespons secara normal. Dosis antigen yang sangat besar sanggup menimbulkan terjadinya penghambatan pembentukan sel AFC sehingga antibodi tidak terbentuk.

Jalur toleransi pada sel T secara umum mempunyai kemiripan dengan sel B. Terdapat tiga tahapan yaitu clonal abortion, functional deletion, dan suppression sel T. Clonal abortion adalah tahapan dimana sel T yang belum matang sanggup dihambat proses pematangannya dengan cara yang ibarat dengan sel B. Functional deletion terjadi dikala sel T yang matang fungsinya dihambat oleh paparan terhadap antibodi. Sel T suppression bekerja dengan melepaskan materi penekan sel T sehingga sanggup menghambat fungsi sel T yang telah matang untuk mengenali antigen.

Sel T dan sel B mempunyai karakteristik toleransi yang berbeda antar satu dengan yang lainnya. Perbedaan-perbedaan karakteristik tersebut mencakup waktu induksi, takaran antigen, keberadaan antigen, spesifisitas antigen, dan durasi antigen. Waktu induksi yang dimiliki oleh sel T berbeda dengan sel B dan bergantung pada jenis antigennya. Pada antigen dependent sel T, sel T sanggup terinduksi dengan cepat sedangkan sel B terinduksi dalam waktu yang lebih lama, yaitu sekitar empat hari. Sedangkan pada antigen yang independent terhadap sel T, antigen tersebut lebih cepat menginduksi toleransi pada sel B.

Dosis antigen yang diberikan juga akan kuat pada induksi terhadap toleransi. Dosis antigen yang diharapkan untuk menginduksi toleransi sel B perlu lebih banyak dibandingkan jumlah antigen yang diharapkan untuk menginduksi toleransi sel T. Diperkirakan perlu antigen sejumlah 100-1000 kali lebih banyak untuk menginduksi sel B dibandingkan jumlah antigen yang diharapkan untuk menginduksi sel T. Keberadaan suatu antigen juga sanggup sangat memengaruhi toleransi yang terbentuk sehingga akan kuat juga terhadap waktu lamanya paparan suatu antigen.

Spesifisitas suatu antigen juga kuat terhadap respons toleransi yang terbentuk. Diketahui bahwa suatu toleransi terbentuk secara spesifik untuk epitope tertentu, bukan terhadap antigen tertentu. Hal tersebut sanggup menimbulkan timbulnya toleransi terhadap banyak sekali jenis antigen yang mempunyai kesamaan determinan.

Obat imunosupresif tidak sanggup memproduksi toleransi antigen-spesifik kalau obat tersebut berfungsi secara seimbang pada klona yang gampang dirangsang. Beberapa obat imunosupresif sanggup berfungsi secara spesifik terhadap derivat limfosit, misalnya cyclosporin A mempengaruhi hanya sel T. Obat imunosupresif sanggup menciptakan keadaan antigen-spesifik dengan melibatkan elemen antigen spesifik pada tolerizing regimen, yaitu dikala obat berfungsi sebagai kofaktor dalam tolerogenesis. Obat imunosupresif sanggup bekerja dengan salah satu dari dua cara berikut: Pertama, dengan merendahkan level dimulainya induksi toleransi. Kedua, dengan memblok sekuen yang berdiferensiasi pada sel yang dipicu oleh antigen.

Obat imunosupresif ibarat cyclophosphamide bekerja pada sel T dan B yaitu meningkatkan sensitivitas sel B terhadap tolerogenesis terhadap mekanisme normal dan acara tersebut berafiliasi dengan ketidakmampuan sel B diobati dengan cyclophosphamide untuk meregenerasi reseptor immunoglobulin untuk antigen pada permukaan sel B. Sel B neonatal tidak sanggup meregenerasi reseptor permukaan sesudah mengadakan kontak dengan antigen dan proses capping. Capping merupakan mekanisme yang permukaan dari immunoglobulin teragregasi dikala dilapisi oleh anti-immunoglobulin sehingga membran bebas dari reseptor immunoglobulin.


Referensi:
  • Abbas, A. K., dkk. 2007. Cellular and Molecular Immunology. 
  • Cruse, J. M. & Lewis, R. E. 2003. Illustrated Dictionary of Immunology. 
  • Cruse, M. J., dkk. 2004. Immunology Guidebook. London. 
  • Roitt, I. M & P. J. Delves. 2001. Roitt's Essential Immunology 10th ed. 
  • Shetty, Nandini. 2005. Immunology: Introductory Textbook.