Imunologi Transplantasi

Transplantasi yaitu proses pemindahan suatu organ atau jaringan tubuh (graft) dari jaringan atau organ pendonor ke penerima. Proses pemindahan penggantian suatu jaringan atau organ yang rusak dengan organ donor yang sehat bisa untuk meningkatkan kualitas hidup bagi banyak pasien. Transplantasi ginjal yang sukses untuk pertama kali terjadi pada tahun 1954 (Suthanthiran, dkk 2001).

A.Klasifikasi Pemindahan Jaringan/Organ (Graft)
Berdasarkan hubungan antara donor dan resipien, pemindahan jaringan/organ terbagi atas empat tipe yaitu:
  1. Autograft (Autologous Graft) yaitu proses pemindahan jaringan/organ yang berasal dari suatu individu dan dipakai untuk dirinya sendiri.
  2. Allograft (Allogeneic Graft) / Allogeneic yaitu proses pemindahan jaringan/organ antarindividu dimana individu-individu tersebut masih satu spesies.
  3. Isograft (Isogeneic Graft) / Syngeneic yaitu proses pemindahan jaringan/organ antarindividu yang secara genetic kembar identik.
  4. Xenograft / Xenogeneic yaitu proses pemindahan jaringan/organ antarindividu yang berbeda spesies (Shetty 2005).
Gambar 1. Tipe Transplantasi (Burmester & Pezzuto, 2003).

B.Mekanisme Penolakan Jaringan/Organ
Histocompatibility yaitu kesesuaian suatu jaringan pada jaringan/organ tertentu untuk ditransplantasikan dari pendonor ke resipien. Gen yang menyandikan antigen, yang mengatur pembiasaan suatu pemindahan jaringan/organ untuk bertahan dalam tubuh resipien, terletak dalam kawasan Major Histocompability Complex (MHC). Pada manusia, MHC terletak pada lengan pendek kromosom enam, sementara pada tikus terletak pada kromosom tujuh belas. Letak gen spesifik pada kromosom yang mengode antigen histocompatibility disebut histocompability locus. Pada manusia, histocompability loci disebut HLA (Human Leukocyte Antigen). MHC class I dan II berperan penting dalam transplantasi jaringan, semakin besar kecocokan antara donor dan resipien, semakin besar pula kemungkinan tandur untuk bertahan ditubuh pendonor.

Gambar 2. Lokus Histokompabilitas Mayor pada Berbagai Spesies (Cruse, dkk 2004).

Reaksi imun yang sanggup menjadikan penolakan terhadap transplan bersifat spesifik yang disertai dengan memori. Contohnya yaitu allograft pertama pada kulit ditolak dalam 10--14 hari, maka allograft kedua dari individu yang sama dicangkokkan lagi maka resipien akan menolak lebih cepat lagi yaitu dalam 5-7 hari (Baratawidjaja, 1991)

Gambar 3. Mekanisme Penghancuran Sel Target (Roitt & Delves 2001).

Reaksi penolakan ditimbulkan oleh sel T helper resipien yang mengenal antigen MHC alllogeneic. Sel tersebut akan menolong sel T sitotoksik yang juga mengenal antigen MHC allogeneic dan membunuh sel sasaran. Kemungkinan lain yaitu makrofag menuju tempat transplan atas perintah limfokin dari sel T helper sehingga menjadikan kerusakan. Reaksi penolakan disebut juga Graft versus Host Reaction (Baratawidjaja 1991). Rekasi penolakan tersebut antara lain:
  1. Penolakan hiperakut. Penolakan tersebut terjadi setelah beberapa menit hingga beberapa jam setelah transplantasi. Penolakan terjadi lantaran perusakan oleh antibodi yang sudah ada terhadap transplan. Antibodi tersebut mengaktifkan pelengkap yang menjadikan edema dan pendarahan interstisial dalam jaringan transplan sehingga mengurangi anutan darah ke seluruh jaringan. Gejala umum yang terlihat pada penolakan hiperakut yaitu trombosis dengan kerusakan endotil dan nekrosis. Selain itu yaitu tubuh mengalami panas, leukositosis dan produksi urin sedikit. Urin mengandung elemen seluler menyerupai eritrosit.
  2. Penolakan akut. Merupakan penolakan yang terlihat pada resipien yang sebelumnya tidak tersensitasi terhadap transplan. Merupakan penolakan umum yang terjadi pada resipien yang mendapatkan transplan yang mismatch (tidak cocok) atau yang mendapatkan allograft dan pengobatan imunosupresif yang tidak efisien dalam perjuangan mencegah penolakan. Penolakan sanggup terjadi beberapa hari setalah transplantasi. Akibatnya yaitu fungsi ginjal yang tidak berfungsi, perbesaran ginjal disertai rasa sakit, penurunan fungsi dan anutan darah, dan adanya se darah dan protein dalam urin. Penolakan akut sanggup dihambat dengan cara imunosupresi oleh serum antilimfosit, steroid, dan lainnya.
  3. Penolakan kronik. Penolakan yang sanggup terjadi pada transplantasi allograft beberapa bulan setelah organ berfungsi normal dan disebabkan oleh sensitivitas yang timbul terhadap antigen transplan. Jika terdapat abuh maka akan mempermudah timbulnya penolakan kronik. Pengobatan dengan imunosupresi tidak banyak mempunyai kegunaan lantaran kerusakan sudah terjadi. Contoh dari penolakan kronik yaitu gagal ginjal yang terjadi perlahan-lahan dan progresif lantaran terjadi prolifersai sel inflamasi pada pembuluh darah kecil dan penebalan membran glomerulus basal.
  4. Reaksi allograft. Transplantasi organ atau jaringan dari donor syngeneic (isograft) dengan cepat diterima resipien dan berfungsi normal. Transplan organ dari donor allogeneic akan diterima untuk sementara waktu dan mengalami vaskularisasi. Penolakan tergantung pada derjat inkompabilitasnya. Reaksi penolakan umumnya terjadi sesuai respons CMI. Reaksi yang terjadi yaitu invasi transplan oleh limfosit dan monosit melalui pembuluh darah dan menjadikan kerusakan pembuluh darah dan nekrosis.
  5. Penyakit Graft versus Host (GvHD). Merupakan keadaan yang terjadi bila sel yang imunokompeten asal donor mengenal dan menawarkan respon imun terhadap jaringan resipien. Jika sel T yang matang dan imuokompeten ditransfusikan kepada resipien yang allogeneic dan tidak ada yang menolaknya maka sel tersebut bereaksi dengan hospes dan menjadikan reaksi CMI diberbagai tempat. Sel-sel yang diserang yaitu sel MHC kelas II. Gejala dari reaksi GvH yaitu pembesaran kelenjar limfoid, limpa, hati, diare, radang kulit, rambut rontok, berat tubuh menurun, dan meninggal. Kematian disebabkan oleh kerusakan sel penjamu (punya antigen MHC kelas II) dan jaringan tanggapan respons CMI yang berlebih. Reaksi GvH sanggup terjadi tanggapan transplantasi sumsum tulang kepada resipien dengan supresi sistem imun atau tanggapan transfusi darah segar kepada neonatus yang imunodefisien. Hal tersebut gampang terjadi bila sebelum transplantasi atau transfusi, perjuangan menghilangkan sel T matang yang imunokompeten tidak maksimal. Oleh lantaran itu penolakan normal oleh resipien terhadap limfosit yang ditransfusikan tidak terjadi (Baratawidjaja 1991)

C.Pencegahan terhadap Penolakan Jaringan/Organ
Uji Histokompatibilitas (Histocompability testing) yaitu uji untuk memilih dari tipe MHC class I dan class II pada jaringan/organ yang akan ditransplantasi, baik pada donor maupun resipien. HLA tissue typing yaitu indentifikasi dari antigen Kompleks Histokompabilitas Mayor (MHC) kelas I dan II pada limfosit dengan teknik serologis dan selular. Class-I typing melibatkan reaksi antara sel limfosit yang ingin diuji dengan antisera dari HLA yang telah diketahui spesifitasnya dengan kehadiran komplemen. Class-II typing mendeteksi antigen HLA-DR mengunakan preparasi sel B yang telah dipurifikasi. Pengujian tersebut didasarkan pada disrupsi membran sel limfosit yang antibody-specific dan complement-dependent (Cruse, dkk 2004). Prinsip dari pengujian secara serologis yaitu microlymphocytotoxicity memakai piring mikrotiter (microtiter plate) yang didalamnya terdapat predispensed antibody dengan spesifitas terhadap HLA dari limfosit yang akan diuji, dan ditambah dengan pelengkap kelinci dan pewarna vital. Metode ini dipakai untuk pengujian organ transplan menyerupai allotransplantasi ginjal. Pada transplantasi sumsum tulang (bone-marrow), mekanisme yang dipakai disebut Mixed Lymphocyte Reaction. Prosedur ini dipakai untuk mengukur derajat relatif dari histokompabilitas antara pendonor dan resipien (Cruse & Lewis 2003)

Tes cross-match (Cross-matching test) yaitu salah satu metode pengujian yang dipakai untuk mendeteksi kehadiran dari antibody preformed (presensitization) pada antigen HLA pendonor memakai serum dari pasien dan sel limfosit pendonor. Hasil tes cross-match yang nyata menjadi kontraindikasi terhadap transplantasi, hal ini lantaran hasil dari tes cross-match sanggup diasosiasikan dengan episode penolakan yang tak terkontrol, yang berujung pada kehilangan jaringan permanen (irreversible graft loss) (Suthanthiran, dkk 2001).

Selain melaksanakan pengujian terhadap histokompabilitas antigen yang dilakukan sebelum (prior) transplantasi, hal yang sanggup dilakukan juga dengan dukungan obat imunosupresan. Imunosupresan sanggup dipakai untuk mengontrol penolakan tandur dengan cara menekan respon imun tubuh resipien. Obat-obatan yang dipakai untuk menekan penolakan antara lain:



Adapun, mekanisme imunosupresan dalam mengontrol penolakan tandur sanggup dilihat pada gambar berikut.

Gambar 4. Agen Immunosuppressive dipakai untuk mengontrol penolakan jaringan (Roitt & Delves 2001)

Gambar 5. Mekanisme Imunosupresan Cyclosporin, FK506 and Rapamycin (Roitt & Delves 2001)

Referensi:
  • Bratawijaya, KG & Rengganis, I. 2009. Imunologi Dasar. 
  • Burmester, G. R & A. Pezzuto. 2003. Color Atlas of Immunology. 
  • Cruse, M. J. dkk. 2004. Immunology Guidebook. 
  • Cruse, M. J. & Lewis, R. E. 2003. Illustrated Dictionary of Immunology 2nd ed. 
  • Roitt, I. M & P. J. Delves. 2001. Roitt's Essential Immunology 10th ed. 
  • Shetty, Nandini. 2005. Immunology: Introductory Textbook. 
  • Suthanthiran, Manikkam, dkk. 2001. Clinical Transplantation in Medical Immunology, 10th ed.