Rekayasa Genetika Dan Permasalahan Etika, Legal, Dan Sosial (Elsi)


Produk dan teknologi rekayasa genetik dianggap merupakan sebuah solusi yang mempunyai prospek yang baik dalam menuntaskan permasalahan pemenuhan kebutuhan insan yang semakin meningkat, khususnya pada sektor agrikultur. Teknologi rekayasa genetik telah bisa membuat tanaman-tanaman transgenik dengan sifat-sifat gres yang diharapkan bisa meningkatkan kemampuan produksinya. Penerapan teknologi rekayasa genetik selain menyebabkan cita-cita di sisi lain juga menyebabkan kontradiksi dan kontroversi di kalangan masyarakat, khususnya dalam masalah penggunaan organisme transgenik/Genetically Modified Organism (GMO). Permasalahan yang timbul meliputi wilayah etik, legal, dan sosial. Permasalahan-permasalahan tersebut perlu dikaji lebih jauh semoga teknologi rekayasa genetik dan produknya, yaitu GMO sanggup dikembangkan lebih baik lagi untuk kepentingan bersama.

 Status Global Penelitian dan Pengembangan Tanaman Transgenik
            Penggunaan dan komersialisasi flora transgenik telah meningkat dengan pesat belakangan ini. Lebih dari 15 negara yang telah menjadi negara yang memproduksi produk-produk hasil flora transgenik, yang secara jumlah dan total luas area semakin meningkat setiap tahunnya. Total area yang dipakai untuk menumbuhkan flora transgenik secara global mencapai lebih dari 80 juta hektar pada tahun 2004 (Watanabe, et. al., 2005). Tanaman transgenik yang ditumbuhkan terdiri dari kedelai, jagung, canola, kapas, padi, dan beberapa flora lainnya. Selain sebagai pemenuhan kebutuhan domestik, produk-produk hasil flora transgenik ini juga menjadi komoditi ekspor sebagai makanan, kuliner ternak, dan materi baku industri.
            Idealnya flora transgenik dianggap sebagai sebuah cara yang sempurna untuk meningkatkan produksi pertanian yang berkesinambungan dengan memperhatikan aspek kesehatan manusia. Penggunaan flora transgenik diharapkan sanggup mengubah sistem pertanian yang mengandalkan materi kimia menjadi sistem pertanian yang lebih alami dengan mengurangi penggunaan bahan-bahan kimia. Selain itu penumbuhan flora transgenik diperkirakan hanya membutuhkan biaya produksi yang rendah untuk menghasilkan produk yang maksimal sehingga sanggup menurunkan biaya penjualan. Biaya produksi dan biaya penjualan yang rendah dianggap sebagai solusi bersama yang terbaik bagi produsen dan konsumen. Oleh lantaran itu penelitian dan pengembangan flora transgenik terus dilakukan untuk menghasilkan produk-produk yang lebih baik. Namun untuk menerapkan atau memakai flora transgenik secara massal diharapkan uji lapangan untuk menilai hasil dan resiko yang mungkin ditimbulkan jawaban penggunaan flora transgenik tersebut. Masalahnya di beberapa negara ibarat Jepang, uji lapangan ini ditentang oleh sekelompok masyarakat dan kelompok-kelompok tertentu yang mempunyai kekhawatiran dan ketakutan terhadap dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh flora transgenik (Watanabe, et. al., 2005).
            Beberapa pengujian lapangan yang telah dilakukan di beberapa negara berkembang, terutama di negara-negara Eropa memperlihatkan hasil bahwa secara umum penggunaan flora transgenik secara massal kondusif terhadap lingkungan dan biosafety. Inggris telah melaksanakan penilaian terhadap skala pertanian yang sempurna dengan melibatkan petani-petani lokal dan kelompok lainnya. Prancis dan Italia juga telah banyak melaksanakan uji lapangan untuk keperluan komersialisasi produk hasil flora transgenik. Negara-negara sedang berkembang ibarat Brazil, Argentina, Meksiko, dan Afrika Selatan juga mulai banyak melaksanakan uji-uji lapangan untuk memastikan keamanan penggunaan flora transgenik (Watanabe, et. al., 2005). Meskipun cenderung aman, flora transgenik banyak ditentang oleh kelompok-kelompok tertentu lantaran kurangnya komunikasi publik yang menyebabkan kesalahan persepsi publik terhadap flora transgenik dan produknya. Hal ini tidak terlepas dari kecenderungan para peneliti yang kurang memberi perhatian terhadap implikasi etik, legal, dan sosial (ELSI) terkait hasil penelitian dan pengembangannya. Karena itu perlu kiranya dikaji duduk masalah ELSI terkait flora transgenik di masyarakat untuk menyatukan persepsi banyak sekali pihak.


Implikasi Etik, Legal, dan Sosial (ELSI) Tanaman Transgenik

Implikasi Aspek Etik
            Perdebatan mengenai aspek etik yang bersinggungan dengan pembuatan GMO didasari atas 2 aspek kepentingan, yaitu aspek intrinsik dan aspek ekstrinsik. Aspek intrinsik menurut atas pendapat utama bahwa pembuatan GMO merupakan suatu proses yang tidak alami. Aspek intrinsik berkaitan dengan kepercayaan bahwa proses pembuatan GMO itu sendiri tidak bisa ditoleransi lantaran dianggap mencampuri atau menganggu proses yang alami. Ada 4 pendapat utama dalam aspek intrinsik yang menolak keberadaan dan penggunaan GMO (Bhumiratana & Kongsawat, 2008).
            Pendapat yang pertama menyatakan bahwa mengubah kodrat makhluk hidup melalui teknik rekayasa genetik sama dengan mencoba berperan sebagai Tuhan. Pendukung pendapat ini menyatakan bahwa rekayasa genetik yaitu proses yang menganggu proses alami, yang merupakan kekuasaan Tuhan dan rekayasa genetik dianggap tidak etis. Para peneliti yang pro dengan teknologi rekayasa genetik beranggapan bahwa pendapat ini tidak rasional. Menurut peneliti produk rekayasa genetik justru bisa mengembalikan sistem pertanian ke arah yang lebih alami. GMO diklaim bisa menurunkan penggunaan zat-zat kimia, meningkatkan biodiversitas, bahkan bisa meregenerasi lahan bekas pertanian menjadi lahan dengan vegetasi alami.
            Pendapat kedua menyatakan rekayasa genetik dan teknologi gres sanggup mengubah alam dan dunia yang merupakan hak mutlak milik Tuhan. Pendapat ketiga menyatakan rekayasa genetik telah mengaburkan konsep spesies dan menghilangkan batas antar spesies dengan memindahkan gen dari spesies satu ke spesies lainnya. Pendapat terakhir berkaitan dengan rekayasa genetik membuat organisme-organisme yang mengalami transfer gen menderita. Secara umum sanggup disimpulkan bahwa aspek intrinsik berakar dari egosentrisme dan fanatisme pribadi yang berasal dari sopan santun agama dan kepercayaan sehingga aspek intrinsik ini sulit untuk diubah.
            Aspek yang kedua yaitu aspek ekstrinsik yang didasarkan pada potensi ancaman dan kerusakan yang mungkin ditimbulkan dari penggunaan GMO (Bhumiratana & Kongsawat, 2008). Dampak negatif yang dikhawatirkan publik mengenai penggunaan GMO salah satunya yaitu dampak jelek terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Tanaman transgenik dikhawatirkan sanggup mengkontaminasi lingkungan dengan melaksanakan persilangan dengan individu non-transgenik sehingga sanggup merusak diversitas genetis. Produk hasil GMO, terutama yang ditujukan untuk dikonsumsi insan dikhawatirkan dapa menyebabkan reaksi alergis dan penyakit bagi insan yang mengkonsumsinya. Dampak lain yang dikhawatirkan yaitu masalah pasar. Petani-petani skala kecil dikhawatirkan akan tersisihkan oleh pertanian skala besar yang bisa memakai flora transgenik dan harga pasar sanggup dikendalikan sepenuhnya oleh perusahan-perusahaan yang menghasilkan flora transgenik. Dengan demikian terjadi kekhawatiran akan terjadinya situasi yang menguntungkan pihak yang besar/berkuasa dan mematikan pihak-pihak yang kecil. Solusi yang dianggap terbaik untuk menjawab masalah aspek ekstrinsik ini yaitu dengan memberlakukan peraturan-peraturan terkait penggunaan dan pengembangan GMO yang sanggup menghindarkan resiko terjadinya kerusakan lingkugan, kesehatan manusia, dan perekonomian jawaban penerapan GMO.

Implikasi Aspek Legal
            Usaha pencegahan munculnya dampak negatif dari penerapan GMO sanggup dilakukan dengan menerapkan peraturan-peraturan yang mengatur ihwal pengelolaan dan penggunaan GMO. Kekhawatiran akan hilangnya biodiversitas jawaban terjadinya pencampuran antara GMO dan organisme non transgenik telah menyebabkan diskusi-diskusi berskala internasional untuk mengurangi resiko terjadinya hal tersebut. Peraturan internasional yang kemudian mengatur mengenai masalah penerapan GMO terhadap biosafety dikenal dengan nama Cartagena Protocol on Biosafety. Lebih dari 120 negara ikut berpartisipasi dalam Cartagena Protocol on Biosafety (Watanabe, et. al., 2005).
            Cartagena Protocol on Biosafety mempunyai tujuan untuk memastikan keamanan mekanisme transfer, pengelolaan, dan penggunaan GMO yang merupakan hasil dari penerapan bioteknologi yang mungkin sanggup menjadikan dampak jelek bagi konservasi dan penggunaan biodiversitas secara berkesinambungan, dan resiko terhadap kesehatan insan sebagaimana tercantum dalam artikel 1 dari Cartagena Protocol on Biosafety (Secretariat of the Convention on Biological Diversity, 2000). Cartagena Protocol on Biosafety secara khusus difokuskan untuk mengatur mekanisme perpindahan GMO lintas negara. Prosedur-prosedur tersebut tercantum di dalam 40 artikel yang dijelaskan oleh 3 annexes.
            Cartagena Protocol on Biosafety hanya memperlihatkan pemikiran dasar dalam proses perpindahan GMO lintas negara tanpa memperlihatkan pengaturan mengenai prosedur-prosedur detail dalam hak kepemilikan, izin penggunaan dan komersialisasi, monitoring, uji lapangan, maupun ganti rugi/tanggungjawab bila terjadi dampak negatif. Peraturan detail yang mengatur ihwal semua mekanisme tersebut diserahkan pada peraturan masing-masing negara yang harus dilandaskan dengan isi Cartagena Protocol on Biosafety. Menurut Watanabe, et. al. (2005), salah satu negara yang telah menerapkan peraturan khusus ini semenjak tahun 2004 yaitu Denmark. Pemerintah Denmark membuat aturan yang mengatur mengenai sistem perizinan dalam menumbuhkan flora transgenik, mekanisme isolasi jarak kondusif yang telah dianalisis dan disetujui secara ilmiah, serta peraturan yang memuat posedur pertanggungjawaban terhadap kerusakan yang mungkin ditimbulkan sebagai jawaban pencampuran antara flora transgenik dengan flora non-transgenik.
            Penerapan peraturan-peraturan tersebut harus diubahsuaikan dengan tujuannya. Untuk tujuan penelitian dan pengembangan diharapkan penerapan peraturan sanggup diatur lebih ringan semoga sanggup memacu perkembangan teknologi yang lebih baik dan lebih cepat tanpa harus terlalu terbatasi dengan peraturan. Sedangkan untuk tujuan komersialisasi, peraturan harus diperketat lantaran menyangkut kepentingan dan keselamatan orang banyak. Dalam komersialisasi flora transgenik dan produk-produknya dibutuhkan tinjauan yang lebih mendalam meliputi monitoring, risk management scheme, evaluasi, dan  mekanisme ganti rugi bila terjadi dampak negatif jawaban penggunaan flora transgenik tersebut (Watanabe, et. al., 2005).
            Intelectual Property Right (IPR) diharapkan untuk menjaga persaingan yang sehat dalam penelitian dan pengembangan serta komersialisasi flora transgenik. IPR sanggup berupa pembelian paten terhadap suatu produk atau teknologi rekayasa genetik ataupun berupa insentif bagi pemilik paten untuk setiap susukan atau penggunaan produk atau teknologi yang dipatenkan. Selain manfaatnya, penerapan IPR ini juga mempunyai sisi kontroversi yaitu pertanyaan apakah organisme hidup merupakan objek yang layak/pantas untuk dipatenkan.

Implikasi Aspek Sosial
            Persepsi publik merupakan suatu hal penting yang harus diperhatikan dalam perjuangan mengintegrasikan teknologi rekayasa genetik dan produk-produknya dalam kehidupan sosial masyarakat. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Latifah et. al. (2011) mengenai persepsi publik tempat Klang Valley, Malaysia terhadap flora transgenik, persepsi publik terhadap teknologi rekayasa genetik dan flora transgenik sebagai salah satu produknya cenderung negatif. Baik menurut kelompok umur, kelompok tingkat pendidikan, dan kelompok pekerjaan, secara umum sanggup disimpulkan bahwa publik Klang Valley tidak banyak mengetahui mengenai teknologi rekayasa genetik, namun mereka cenderung menolak penerapan dan penggunaan flora tarnsgenik.
            Kesalahan persepsi publik mengenai teknologi rekayasa genetik dan produknya ini merupakan kendala sosial utama dalam penerapan flora transgenik sebagai sumber daya untuk pemenuhan kebutuhan manusia. Menurut Watanabe, et. al. (2005), kesalahan persepsi ini diakibatkan oleh kurangnya pendidikan dan komunikasi publik mengenai teknologi rekayasa genetik. Persepsi negatif ini menyebabkan banyak dampak jelek lainnya, diantaranya publik merasa tidak kondusif dengan keberadaan flora transgenik di sekitar mereka, NGO mempengaruhi pemerintah-pemerintah tempat sehingga mempersulit regulasi flora transgenik, serta munculnya aktivitas-aktivitas kelompok tertentu yang menekan organisasi-organisasi pemerintah untuk menghentikan penelitian dan pengembangan flora transgenik. Banyak kabar-kabar negatif yang salah yang disebarkan oleh kelompok ataupun NGO tertentu yang memperparah kesalahan persepsi publik. Contohnya masalah warta persebaran canola transgenik yang menyerbuki canola normal yang tumbuh di tepian jalan layang yang ternyata tidak sanggup dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Solusi yang harus dilakukan untuk meluruskan kesalahan persepsi publik yaitu dengan memperlihatkan pendidikan dan komunikasi publik mengenai rekayasa genetik dan membuat peraturan-peraturan yang tegas dan terang mengenai penerapan teknologi rekayasa genetik beserta produk-produknya.

Kontroversi Tanaman Transgenik
            Potensi flora transgenik sebagai solusi untuk meningkatkan produksi sektor agrikultur sudah tidak bisa diragukan, namun pada praktiknya flora transgenik yang dikembangkan yaitu produk yang sanggup memperlihatkan laba besar kepada perusahaan-perusahaan pengembang biotech. Idealnya pengembangan flora transgenik sanggup diarahkan untuk menghasilkan flora transgenik yang tahan terhadap banyak sekali kondisi lingkungan yang tidak optimal dan sanggup diakses oleh petani dari semua tingkat. Kenyataan yang terjadi justru flora transgenik hanya sanggup diterapkan pada pertanian skala besar dan menyulitkan pertanian skala kecil. Fenomena ini disebabkan oleh kecenderungan perusahaan-perusahaan pengembang biotech membuatkan flora transgenik yang mendukung penjualan produk-produk dari perusahaan tersebut.
            Salah satu referensi masalah yang terjadi yaitu pengembangan flora transgenik oleh perusahaan biotech Monsanto dan Novartis yang menghasilkan flora transgenik yang disebut “Round-Up Ready”. Tanaman transgenik ini mempunyai resistensi terhadap herbisida “Round-Up”, produk herbisida yang diproduksi oleh perusahaan yang sama. Perusahaan mengklaim penggunaan flora transgenik ini akan menurunkan tingkat penggunaan herbisida. Namun menurut hasil-hasil studi yang dinyatakan oleh Mehta & Gair (2001), penggunaan tanaman-tanaman transgenik ini menyebabkan dampak-dampak negatif terhadap lingkungan.
            Penggunaan flora transgenik Round-Up Ready di New South Wales, Australia, telah menjadikan spesies rumput liar memunculkan kemampuan resistensi terhadap herbisida. Berdasarkan hasil studi, ditemukan bahwa Ryegrass (Lolium sp.), salah satu spesies rumput liar Australia, menjadi resisten terhadap herbisida sehingga untuk membasminya diharapkan penggunaan herbisida dengan kadar 5 kali lipat dari kadar normalnya (Mehta & Gair, 2001). Hal ini memperlihatkan kenyataan yang berlawanan dari klaim perusahaan, yaitu yang terjadi yaitu penggunaan herbisida meningkat bersamaan dengan penggunaan flora transgenik.
            Contoh lainnya yaitu penggunaan flora transgenik yang menghasilkan bt-toksin, racun serangga spesifik yang secara alami dihasilkan oleh kuman tanah Bacillus thuringiensis. Kentang bt yang yang resisten terhadap kumbang kentang Colorado (Leptinotarsa decemlineata) justru telah memicu munculnya kemampuan resistensi kumbang tersebut dan 7 spesies serangga hama lainnya terhadap bt-toxin. Selain itu beberapa flora transgenik bt sanggup membunuh serangga-serangga yang bukan merupakan targetnya. Hal ini lantaran bt-toxin yang dihasilkan oleh flora transgenik ternyata mempunyai beberapa perbedaan sifat dengan bt-toxin alami, yaitu bt-toxin yang dihasilkan flora transgenik pribadi aktif begitu dilepaskan di lingkungan, sementara bt-toxin alami gres akan aktif ketika berada di dalam perut serangga. Salah satu masalah pemusnahan serangga non-target yaitu pollen dari jagung bt yang mematikan larva kupu-kupu Monarch (Danaus plexippus) yang bukan merupakan spesies hama (Mehta & Gair, 2001).
            Kontroversi lainnya yang disebabkan oleh penerapan flora transgenik yaitu paten yang dimiliki oleh perusahaan Delta and Pine Land, anak perusahaan dari Monsanto, mengenai teknologi yang disebut “terminator seed”. Teknologi ini menghasilkan flora transgenik steril, sehingga untuk siklus penanaman berikutnya petani harus membeli benih yang baru. Perusahaan mengklaim teknologi ini bermanfaat semoga kualitas flora sanggup terus ditingkatkan dan petani tidak memakai benih yang berkualitas buruk. Namun pada kenyataannya petani skala kecil, khususnya di negara sedang berkembang, mempunyai penghasilan yang kecil sehingga benih yang dipakai untuk siklus berikutnya yaitu benih yang disimpan sebagai hasil dari siklus sebelumnya. Hal ini justru menjadikan produksi di siklus berikutnya menurun dan kualitasnya berkurang. Bila paten ini tetap diterapkan, khususnya pada tanaman-tanaman pangan ibarat gandum, padi, sorgum, dan kedelai, maka yang akan terjadi yaitu pertanian skala besar yang bisa membeli teknologi ini akan mematikan perjuangan pertanian skala kecil dan menyebabkan permasalahan gres yang lebih rumit. Oleh lantaran itu paten ini tidak pernah diterapkan, bahkan di India teknologi ini telah ditolak untuk melindungi petani-petani lokal dan keamanan pangannya (Mehta & Gair, 2001).


Kesimpulan

Teknologi rekayasa genetik dan produknya, flora transgenik, tidak bisa dipungkiri mempunyai potensi yang sangat menjanjikan sebagai solusi untuk meningkatkan produksi pertanian sebagai sumber daya pemenuhan kebutuhan manusia. Dengan mengintroduksi gen-gen tertentu flora transgenik sanggup mempunyai ketahanan terhadap kondisi lingkungan dan serangan hama, juga sanggup mengalami pengayaan nutrisi. Namun bagaimanpun juga teknologi rekayasa genetik dan flora transgenik banyak mendapat saingan dari publik terkait masalah etik, legal, dan sosial yang mengarah kepada munculnya kontroversi dan pertanyaan apakah teknologi ini layak dikembangkan dan diterapkan atau harus dihentikan. Untuk mengatasi kesalahan persepsi publik yang terjadi perlu dilakukan komunikasi publik yang meliputi pengertian dan pendidikan yang “benar” mengenai teknologi rekayasa genetik dan flora transgenik. Selain itu untuk memastikan keamanan lingkungan dari dampak jelek yang mungkin ditimbulkan jawaban penerapan flora transgenik diharapkan regulasi khusus yang mengatur mengenai pengembangan, penggunaan, dan pengelolaan produk hasil rekayasa genetik secara aman.