Praperadilan

SUDUT HUKUM | Tujuan dari hukum program pidana yakni untuk mencari dan mendapat atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu masalah pidana dengan menerapkan ketentuan aturan program pidana secara jujur dan sempurna untuk mencari siapa pelaku dari suatu tindak pidana dan selanjutnya melaksanakan investigasi di pengadilan untuk memilih apakah terbukti bersalah atau tidak, juga mengatur pokok-pokok cara pelaksanaan dan pengawasan terhadap putusan yang telah dijatuhkan.

Badan Pembinaan Hukum Nasional, menjelaskan mengenai sejarah dan landasan filosofis dari adanya proses pra peradilan. Sejarah aturan program pidana di Indonesia, pada masa prakemerdekaan, terdapat dua hukum program yang berlaku di Indonesia, yaitu Strafverordering (Sv) yang berlaku bagi masyarakat eropa yang berada di Indonesia dan Inland Reglement (IR), yang diganti dengan Herziene Indische Reglement (HIR) dengan Staatsblad Nomor 44 Tahun 1941, untuk golongan pribumi.

Kemudian, sehabis Indonesia merdeka, aturan program pidana yang dipakai di Indonesia yakni Herziene Indische Reglement. Strafverordering tidak dipakai sebagai aturan acara, padahal Strafverordering mempunyai ketentuan yang lebih menghormati hak asasi insan bagi tersangka atau terdakwa dalam setiap tahapan proses peradilan dari pada ketentuan dalam Herziene Indische Reglement. Penghormatan terhadap hak asasi insan tersebut terlihat dari adanya forum Van de regter-commissaris atau hakim komisaris dalam Strafverordering, yang tidak terdapat dalam Herziene Indische Reglement.

Fungsi hakim komisaris di Negara Belanda dan Juge d’Instruction di Prancis benar-benar sanggup disebut praperadilan, sebab selain memilih sak tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, juga melaksanakan investigasi pendahuluan atas suatu perkara. Menurut Oemar Seno Adji, Lembaga”rechter commisariss” (hakim yang memimpin investigasi pendahuluan) muncul sebagai perwujudan keaktifan hakim, di Eropa Tengah mempunyai posisi penting yang mempunyai kewenangan untuk menangani upaya paksa (dwang middelen),penahanan, penyitaan, penggeledahan badan, rumah, dan investigasi surat-surat.

Keberadaan hakim komisaris dimaksudkan untuk memberi jaminan pemberian terhadap hak seseorang yang menjadi tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan pidana. Jaminan pemberian terhadap hak tersangka atau terdakwa pada tahapan investigasi pendahuluan yakni sebagai perwujudan dari fungsi aturan program pidana yaitu menyelenggarakan peradilan yang adil (fair trial) dalam rangka untuk menemukan kebenaran materiil atau kebenaran yang hakiki.

Terselenggaranya peradilan yang adil menjadi kewajiban penyelenggara negara dan menjadi hak dasar bagi tersangka atau terdakwa yang harus dipenuhi oleh negara. Pemenuhan hak dasar bagi tersangka atau terdakwa tersebut sebagai penggalan dari pelaksanaan asas dasar dalam penyelenggaraan hukum pidana, baik dalam aturan pidana materil maupun aturan pidana formil.

Segala bentuk tindakan aturan terhadap tersangka atau terdakwa yang berakibat terampasnya hak tersangka atau terdakwa harus berdasarkan undang-undang dan undang-undang harus memperlihatkan syarat yang harus dipenuhi dan menjadi dasar aturan dalam melaksanakan tindakan aturan terhadap tersangka atau terdakwa tersebut semoga wewenang yang diberikan oleh undang-undang kepadaaparat penegak aturan tidak dipergunakan sewenang-wenang.

Tidak adanya konsep hakim komisaris dalam Herziene Indische Reglement menyerupai pada Strafverordering mencetuskan untuk membentuk forum pengawas pada investigasi pendahuluan dalam penegakan hukum pidana. Kemudian diajukanlah gagasan perihal forum praperadilan yang terinspirasi dari adanya hak Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo Saxon (yang dianut oleh negara menyerupai Amerika Serikat dan Inggris), yang memperlihatkan jaminan mendasar terhadap hak asasi insan khususnya hak kemerdekaan.

Pada dasarnya, hakim komisaris dan forum pra peradilan mempunyai perbedaan, tetapi mempunyai maksud dan tujuan yang sama yaitu melaksanakan kontrol terhadap penggunaan wewenang dalam proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan oleh penyidik dan penuntut umum. Hal ini mengingat tersangka atau terdakwa sesuai dengan asas praduga tidak bersalah (asas presumption of innocent) dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa:
Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan aturan tetap.”
Mengacu pada klarifikasi diatas maka sanggup disimpulkan bahwa intinya praperadilan dibuat sebagai prosedur kontrol terhadap penggunaan wewenang dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, supaya penggunaan wewenang tersebut tidak bertentangan dengan aturan yang berlaku dan tidak dilakukan secara sewenang-wenang.

Praperadilan telah diatur dalam Bab X, penggalan kesatu dari Pasal 77 hingga dengan Pasal 83 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pengertian praperadilan dalam Pasal 1 butir ke 10 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai berikut :
“Praperadilan yakni wewenang dari Pengadilan Negeri untuk mengusut dan memutus berdasarkan program yang diatur dalam undang-undang ini perihal :
a. Sah atau tidaknya penagkapan dan atau penahanan atas undangan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas undangan demi tegaknya aturan dan keadilan.
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan”.

Pasal 77, disebut adanya wewenang untuk mengusut dan memutus masalah yang khusus diajukan dengan 6 (enam) alasan, yakni:
  1. Sah atau tidaknya penangkapan;
  2. Sah atau tidaknya penahanan ;
  3. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan;
  4. Sah atau tidaknya penghentian penuntutan;
  5. Perminaan ganti kerugian;
  6. Permintaan rehabilitasi.