Pengertian Keadilan Bermartabat

SUDUT HUKUM | Keadilan berasal dari kata adil, yang berarti tidak sewenang-wenang, tidak memihak, tidak berat sebelah.  Ulpianus menyampaikan bahwa:
Iustitia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuere. Iuris produentia est divinarum atque humanorum rerum notitia, iusti atque iniusti scientia. (Keadilan ialah kehendak yang ajeg dan tetap untuk memperlihatkan kepada masing- masing bagiannya. Ilmu hukum (jurisprudentia) ialah pengetahua perihal perkara-perkara ilahi dan manusiawi, ilmu perihal yang adil dan tidak adil”
John Rawls merumuskan keadilan sebagai fairness yang mengandung asas- asas, “Bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk menyumbangkan kepentingan-kepentingannya hendaknya memperoleh suatu kedudukan yang sama pada ketika akan memulainya dan itu merupakan syarat yang mendasar bagi mereka untuk memasuki perhimpunan yang mereka hendaki”.  Arisoteles menyatakan bahwa keadilan yaitu kebajikan yang berkaitan dengan kekerabatan antar manusia, dimana adil dapa t berarti berdasarkan aturan dan apa yang sebanding atau semestinya. Sehingga seseorang dikatakan berlaku tidak adil apabila orang itu mengambil lebih dari bab yang semestinya, begitu juga kalau seseorang yang tidak menghiraukan aturan maka dikatakan tidak adil, alasannya yaitu semua hal yang didasarkan kepada aturan sanggup dianggap sebagai adil.
Arisoteles mendekati problem keadilan dari segi persamaan. 

Thomas aquinas membedakan keadilan atas dua kelompok, yaitu keadilan umum justisia generalis dan keadilan khusus. Keadilan umum yaitu keadilan berdasarkan undang-undang yang harus ditunaikan demi kepentingan umum. Notohamidjojo menyebut nama lain keadilan ini dengan keadilan legal. Selanjutnya keadilan khusus yaitu keadilan atas dasar kesamaan atau proposionalitas. Keadilan khusus dibedakan menjadi:
  1. Keadilan distributif (justisia distributiva) yaitu keadilan yang secara proposional diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum. Arisoteles menyampaikan bahwa keadilan distributif yaitu keadilan yang mengatur pembagian barang-barang dan penghargaan kepada tiap orang sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat, serta menghendaki perlakuan yang sama bagi mereka yang berkedudukan sama berdasarkan hukum.
  2. keadilan komutatif (justisia commutativa) yaitu keadilan yang memperlihatkan kepada masing- masing bagiannya, dengan menginat semoga prestasi sama atau sama-nilai dengan kontraprestasi. Keadilan ini melihat barang dari para pihak dalam perjanjian dan tukar-menukar.
  3. keadilan vindikatif (justisia vindicativa) yaitu keadilan dalam hal menjatuhkan eksekusi atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seseorang dianggap adil apabila ia dipipidana tubuh atau denda sesuai dengan besarnya eksekusi yang telah ditentukan atas tindak pidana yang dilakukannnya.


Dalam konteks putusan hakim di peradilan, keadilan berdasarkan Daniel S. Lev dibagi atas keadilan prosedural (prosedural justice) dan substantif (substantive justice). Dimana keadilan prosedural merupakan keadilan berdasarkan aturan positif dan peraturan perundang- undangan. Dalam hal ini hakim hanya sebagai pelaksana undang- undang belaka, hakim tidak perlu mencari sumber-sumber diluar hukum tertulis sehingga hakim dipandang seba gai corong undang-undang dan tidak melihat apakan hal tersebut dirasakan adil baik ba gi para pihak. Sedangkan keadilan substantif yaitu keadilan yang didasarkan pada nilai- nilai yang lahir dari sumber-sumber aturan yang responsif sesuai hati nurani, baik hati nurani hakim ketika memperlihatkan putusan. 

Gustav Radburgh menyampaikan bahwa ada tiga tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Prinsip keseimbangan antara ketiga tujuan aturan sebagai suatu tabiat aturan yaitu asas penting dalam teori keadilan bermartabat atau sistem aturan berdasarkan Pancasila. Sudikno mertokusumo menyampaikan bahwa:
Ketiga unsur itu seberapa sanggup harus ada dalam putusan secara proposional, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Itu yaitu idealnya. Akan tetapi dalam praktiknya jarang terdapat putusan yang mengandung tiga unsur tersebut secara proposional. Kalau tidak sanggup diusahakan kehadirannya secara proposional,maka paling tidak ketiga faktor tersebut seyogiyanya ada dalam putusan. Tidak jarang terjadi kepastian hukum bertentangan dengan keadilan. “Hukumnya demikian bunyinya harus dijalankan (kepastian hukum)” tetapi kalau dijalankan dalam keadaan tertentu akan dirasakan tidak adil (lex dura sed tamen scripta : aturan itu kejam tetapi demikianlah bunyinya). Kalau dalam pilihan putusan hingga terjadi konflik antara keadilan dan kepastian aturan serta kemanfaatan, maka keadilannyalah yang harus didahulukan.”


Dengan demikian, secara umum tujuan aturan yaitu keadilan. Didalam keadilan yang hendak dicapai oleh suatu sistem aturan juga ada kepastian dan daya guna (kemanfaatan). Teori keadilan bermartabat meletakan tujuan hukum, yaitu keadilan secara sistemik.

Keadilan yang berlaku dalam bangsa Indonesia ditemukan dalam volgeist bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Dalam Pancasila, kata adil terdapat pada sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, serta terdapat dalam sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai kemanusiaan yang adil dan keadilan sosial mengandung makna bahwa hakikat manusia  sebagai  makhluk yang berbudaya dan berkodrat harus berkodrat adil, yaitu adil dalam hubungannya dengan diri sendiri, adil terhadap insan lain, adil terhadap masyarakat bangsa dan negara, adil terhadap lingkungannya serta adil terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Keadilan bermartabat melihat dari sistem aturan yang dibangun dari filsafat yang terdapat nilai- nilai luhur suatu bangsa yang diyakini kebenarannya, sehingga keadilan dalam aturan tersebut juga didasari atau dilandasi oleh filsafah tersebut. Sehingga sanggup disimpulkan konsep keadilan di Indonesia dilandasi oleh dua sila Pancasila yaitu sila kedua dan sila kelima. Akan tetapi keadilan bermartabat merupakan keadilan aturan dalam perspektif Pancasila yang dilandasi oleh sila kedua, sedangkan keadilan ekonomi dalam perspektif Pancasila dilandasi oleh sila kelima yaitu keadilan sosial. 

Keadilan yaitu tujuan yang hendak dicapai oleh setiap sistem hukum. Dalam sila kelima Pancasila, keadilan ekonomi bersifat kebendaan, sedangkan keadilan bermartabat melihat dari keadilan yang berdimensi spiritual. Istilah adil dan beradab sebagaimana dimaksud dalam sila kedua Pancasila terkandung  prinsip prikemanusiaan dan terlaksananya penjelmaan dari unsur-unsur hakekat manusia, jiwa raga, akal-rasa, kehendak serta sifat kodrat perseorangan dan makhluk sosial. Hal ini dikarenakan kedudukan kodrat langsung diri sendiri dan makhluk Tuhan sebagai causa prima dalam bentuk penyelenggaraan hidup yang bermartabat setinggi- tingginya.

Sila kedua menegaskan bahwa filsafat Pancasila mengakui insan yaitu langsung yang mempunyai harkat dan martabat yang luhur, yang merupakan bawaan kodratinya sehingga secara eksplisit Pancasila mengakui faham kemanusiaan atau humanisma. Prinsip kemanusiaan secara tegas mengandung arti adanya penghargaan dan penghormatan terhadap harkat dan martabat insan yang luhur tanpa harus membeda-bedakan antara satu dengan lainnya.

Dengan dilandasi oleh sila kedua dalam Pancasila, maka keadilan aturan yang dimiliki bangsa Indonesia yaitu keadilan yang memanusiakan manusia. Keadilan berdasarkan sila kedua Pancasila tersebut disebut sebagai keadilan bermartabat. Keadilan bermartabat yaitu bahwa meskipun seseorang bersalah secara aturan namun tetap harus diperlakukan sebagai manusia. Keadilan bermartabat yaitu keadilan yang menyeimbangkan antara hak dan kewajiban. Keadilan yang bukan saja secara material melainkan juga secara spiritual, selanjutnya material mengikutinya secara otomatis. Keadilan bermartabat menempatkan insan sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang dijamin hak- haknya.

Demikian juga hakim yang salah satu tugasnya yaitu menegakan keadilan (gerech’tigdheid), namun yang dimaksud dengan keadilan yaitu bukan keadila n berdasarkan suara perkataan undang-undang semata (let’terknechten der wet), melainkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai  dengan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 48 tahun 2009 yang menyatakan “Peradilan dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sebagaimana keadilan bermartabat yang tidak hanya melihat dari  segi  materiil saja tetapi juga dari segi spiritualnya, maka hakim dalam mewujudkan keadilan bermartabat harus bisa menciptakan putusan yang menegakan keadilan yang  memanusiakan insan sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang yang harus dijamin hak dan martabatnya.

Dengan adanya sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab ” maka setiap insan harus diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang sama derajatnya dan sama hak dan kewajibannya sesuai dengan hak asasi insan yang mereka miliki tanpa membedakan asal usul keturunan, suku, agama dan status sosial. Diatas landasan persamaan derajad, hak dan kewajiban inilah diharapkan adanya training dan peningkatan perilaku pegawanegeri penegak aturan untuk memperlakukan seseorang tersangka atau terdakwa dengan cara yang memanusiawi. Sekalipun  yang dihadapi dan diperiksa seorang tersangka atau terdakwa, namun mereka sebagai insan mempunyai harkat kemanusiaan, dihentikan diperlakukan dengan perilaku dan cara yang semena- mena dan sewenang-wenang.