Latar Belakang Nurcholish Madjid

SUDUT HUKUM | Nurcholish Madjid (Mojoanyar, Jombang, 17Maret 1939/26 Muharam 1358). Seorang cendekiawan muslim Indonesia yang dikenal dengan gagasannya perihal pembaruan anutan Islam. Lahir dari kalangan keluarga pesantren, ia yakni putra seorang guru Madrasah Al-Wathaniah di Jombang, Haji Abdul Madjid. Pendidikan awal ia peroleh dari Sekolah Rakyat (pagi) dan Madrasah Ibtidaiyah (sore) di kawasan kelahirannya. Kemudian ia melanjutkan ke Pesantren Darul Ulum Rejoso, Jombang, selama 2 tahun. Salah satu gurunya yakni KH Hasyim Asy'ari.

 Seorang cendekiawan muslim Indonesia yang dikenal dengan gagasannya perihal pembaruan pem Latar Belakang Nurcholish Madjid


Kemudian ia meneruskan pendidikan ke Kulliyatul muallimin al-Islamiyah (KMI) di Pesantren Darussalam, Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, hingga simpulan 1960. la mengajar selama setahun lebih di pesantren itu. Pendidikan tinggi ia peroleh dari Fakultas Adab (Sastra Arab dan Kebudayaan Islam), jurusan Bahasa dan Sastra Arab, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, hingga menyandang gelar sarjana (1968). Sejak Maret 1978, ia menerima kesempatan mengikuti studi lanjut (tugas belajar) di Universitas Chicago, Amerika Serikat hingga meraih gelar doktor dalam bidang Kalam dan Falsafah dengan predikat cum laude (Maret 1984).

Selama menjadi mahasiswa IAIN, Nurcholish Aktif di organisasi kemahasiswaan, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). la pernah menjadi ketua Umum Pengurus Besar HMI untuk dua periode 1966-1969 dan 1969- 1971; presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara, 1967-1969; ajun IIFSO (International Islamic Federation of Students Organizations/Federasi Organisasi-organisasi Mahasiswa Islam Internasional), 1968-1971. Nur Cholish pernah menjadi staf pengajar di IAIN (1972-1974) serta pemimpin umum majalah Mimbar, Jakarta (1971-1974), dan pemimpin redaksi majalah Forum. Bersama teman-temannya, ia mendirikan dan memimpin LSIK (Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan, 1972-1976) dan LKIS (Lembaga Kebajikan Islam Samanhudi, 1974-1977). 

Sebelum dan sepulangnya dari Amerika Serikat ia bekerja di LIPI sebagai anggota staf peneliti, menjadi dosen di Fakultas Adab dan Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta; mendirikan dan menjadi ketua Yayasan Paramadina, yang aktif dalam kajian keislaman; menjadi penulis tetap harian Pelita, Jakarta; 1988 anggota MPR; Agustus 1991 dosen tamu di Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Canada.

Nurcholish populer dengan gagasannya perihal pembaruan anutan Islam. Menurut dia, Islam harus dilibatkan dalam pergulatan-pergulatan modernistik yang didasarkan atas kekayaan khazanah anutan keislaman tradisional yang telah mapan, sekaligus diletakkan dalam konteks keindonesiaan.

Nurcholish Madjid pertama kali memberikan ide-ide pembaharuannya secara formal pada 2 Januari 1970 di Jakarta dalam program halal bihalal di depan keluarga HMI, GPI (Gerakan Pemuda Islam), PII (Pelajar Islam Indonesia) dan Persami (Persatuan Sarjana Muslim Indonesia), dengan judul "Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat". Bahasannya mencakup: 'Islam Yes, Partai Islam No', Kuantitas versus Kualitas, Liberalisasi Pandangan terhadap 'Ajaran Islam' kini (Sekularisasi, Kebebasan Berpikir, Idea of Progress, dan Sikap Terbuka), dan perlunya kelompok pembaharuan "liberal". Makalah tersebut lalu dilengkapi wawancara dengan Harian Kompas (1 April 1970), yang bahasannya mencakup: Beragama secara Konvensional, Sekularisasi dan Sekularisme, dan Beberapa 'Asuhan' dari Agama (Al-Qur'an).

Sebelumnya, 5 Februari 1970, ia memberikan pidato pada program HUT ke-3 HMI di Jakarta, dengan judul "Menuju Pembaharuan Pemikiran dalam Islam", menunjukkan kuliah di Pusat Kesenian Jakarta, 30 Oktober 1972, dengan judul "Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Ummat Islam Indonesia," dan sebagainya yang dimuat dalam Pos bangsa, Tribun, dan Panji Masyarakat.

Ide-idenya tersebut menerima pro dan kontra, sehingga tahun 70-an ia disebut tokoh kontroversi. Ada pula yang menyebutnya dengan "Natsir Muda", sebutan yang dihubungkan dengan nama salah seorang tokoh partai Masyumi yang berpandangan modern, Mohammad Natsir.