fatwa
Lintasan Sejarah Penetapan Ajaran Mui
SUDUT HUKUM | Ulama yaitu pewaris para nabi. Hadits ini disebutkan oleh al-Suyū¯i sebagai hadis da’if, namun banyak dipegangi oleh masyarakat di Indonesia. Buktinya, di Indonesia, ulama mempunyai posisi yang demikian dihormati dan disegani. Bukan hanya itu, ulama juga mempunyai kiprah yang signifikan di bidang sosial, bahkan politik.
Pada masa-masa awal berdirinya MUI, kegiatan-kegiatan yang dilakukan ditujukan semoga sanggup diterima dalam masyarakat dan memelihara kekerabatan baik dengan pemerintah, juga organisasi Islam lainnya.
Kunjungan ke beberapa kantor-kantor sentra organisasi Islam dilakukan, terkadang juga beberapa pimpinan sentra organisasi tertentu diundang ke kantor MUI. Berbagai pertemuan diadakan seminar perihal banyak sekali hal yang dihadiri oleh para ulama, dan kegiatan lainnya yang melibatkan banyak ulama dalam tingkat nasional. Hal ini dilakukan demi terjalinnya silaturahmi dan kekerabatan baik antara sentra dan daerah.
Kadang-kadang, MUI juga bertindak sebagai wakil organisasiorganisasi Islam. Dalam hal terakhir ini, kekerabatan MUI dengan organisasi Islam yang lain sangat pelik. Sebab, organisasi Islam sering kali mempunyai perilaku tidak menentu, terutama bila eksistensi MUI mengancam eksistensi mereka dalam masyarakat. Salah satu misalnya yaitu dalam perdebatan duduk masalah rancangan undang-undang pendidikan nasional yangdiajukan pada tahun 1988. berdasarkan MUI, rancangan itu yaitu sebuah kemunduran, alasannya yaitu tidak sedikitpun membicarakan pelajaran agama di sekolah, sementara pelajaran itu sudah mulai eksis dan diakui keberadaannya di sekolah sehabis melalui usaha panjang dan melelahkan semenjak zaman kemerdekaan hingga akibatnya masuk ke dalam intrakurikuler.Ini yaitu teladan kekerabatan baik MUI dengan organisasi Islam lainnya. Tetapi ini tidak menggambarkan semua pola hubungannya dengan organisasi Islam. Memang benar bahwa pendirian MUI didukung oleh organisasi Islam lainnya, tetapi mereka tidak menghendaki MUI tumbuh secara cepat, mereka lebih suka dengan kondisi menyerupai semula sebelum MUI ada. Inilah kondisi obyektif kekerabatan MUI dengan
organisasi-organisasi Islam lainnya.
Selain itu MUI juga mempunyai pola kekerabatan dengan pemerintahan.Pemerintah senantiasa memperlihatkan penghargaan yang tinggi untuk MUI dan selalu memberi dukungan keuangan, sementara di pihak MUI tekanan yang cukup berat dirasakan, lantaran harus selalu memperlihatkan pembenaran terhadap politik pemerintah dari sisi agama.
Dalam hal kekerabatan dengan pemerintah, MUI begitu erat dengan Menteri Agama, bahkan sering diundang untuk mengikuti kunjungan resmi ke daerah-daerah. Hal ini tentunya disambut baik oleh pimpinan MUI dan merupakan kesempatan untuk ketemu dengan rekan-rekan ulama di daerah-daerah. Di samping itu, Hubungan dengan departemen lainpun dibangun oleh MUI menyerupai departemen Dalam Negeri, Penerangan, Kesehatan, dan BKKBN. Bahkan ada sebagian pengurus MUI yang diangkat menjadi anggota BSF (Badan Sensor Film), Dewan Siaran Nasional, dan Tim Pencegah Penyalahgunaan Narkotika.
Begitu mesra kekerabatan antara MUI dan Pemerintah Masa orde baru. Kemesraan yang terjadi, tentunya, menimbulkan efek yang dirasa kurang baik bagi MUI sendiri. Sebab, kemesraan itu kemudian menjadikan sisi lain dari kiprah dan fungsi MUI menjadi tumpul, terutama dalam kaitan memberi pertimbangan kebijakan politik dari sisi agama. Buktinya, penggunaan alat kontrasepsi IUD (Intra Urine Devices) yang pernah difatwakan sekelompok ulama pada tahun 1971 sebagai suatu yang haram dilakukan lantaran proses pemasangannya melanggar aurat wanita.
Larangan tersebut dicabut dalam sebuah konferensi ulama di Jakarta pada tahun 1983. Hal ini tidak lepas dari desakan pemerintah melalui Departemen Agama dan BKKBN semoga para ulama membenarkan kebijakan pemerintah, lantaran fatwa yang pertama akan menimbulkan kegagalan jadwal pemerintah dalam hal keluarga berencana.
Desakan lebih berat yang dirasakan oleh MUI yaitu dalam hal kehadiran seorang muslim dalam upacara perayaan Natal agama Kristen. Pada tahun 1981, MUI telah memfatwakan keharaman kehadiran seorang muslim dalam upacara tersebut. Pada awalnya tidak ada pro kontra perihal fatwa itu, lantaran fatwa diterbitkan hanya pada majalah bulanan MUI yang kalangan pembacanya terbatas. Tetapi, ketika surat kabar dan majalah yang beredar pada kalangan yang lebih luas, gres muncul pro kontra dan menimbulkan banyak duduk masalah dan perbedaan pendapat. Selang beberapa bulan kemudian, Pemerintah merasa perlu mengambil perilaku lantaran akhir dari silang pendapat perihal fatwa itu, sehingga pemerintah mengeluarkan pengumuman yang menjelaskan bahwa meski tidak dianjurkan, tetapi kehadiran dalam upacara itu tidak dihentikan oleh agama Islam, asal tidak dalam penggalan ritual ibadah dalam upacara Natal tersebut.
Tampaknya, pemerintah bermaksud memelihara kerukunan beragama di antara para penganutnya di negeri ini. Akan tetapi, perilaku bertentangan ini menimbulkan kondisi kekerabatan yang memanas, ditambah lagi dengan ajakan pemerintah semoga MUI mau mencabut fatwa perihal hal itu. Begitu kerasnya tekanan itu, sehingga pada akibatnya ketua umum MUI menulis surat pengunduran diri yang dibacanya sendiri di dalam rapat tertutup MUI.
Menjelang berakhirnya masa orde baru, pergeseran pada badan MUI mulai terjadi di sana-sini. Kalau sebelumnya motto yang selalu didengungkan yaitu kolaborasi alim ulama-umaro, sepertinya tergeser dengan slogan : wadah musyawarah para ulama, zu’ama, dan cendekiawan muslim. Meskipun masih memakai Pancasila sebagai asas organisasi ini, tujuan yang disebut dalam Pedoman Dasar hasil MUNAS V tahun 1995 yaitu mengamalkan aliran Islam untuk ikut serta mewujudkan masyarakat yang berakhlakul karimah, aman, damai, adil dan makmur rohaniah dan jasmaniah yang diridhoi Allah SWT dalam negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Dari pembahasan di atas, sangat tampak bahwa MUI semenjak awal pembentukannya di masa orde gres hingga menjelang berakhirnya mempunyai keterikatan yang erat dengan Pemerintah, meskipun terkadang terjadi ketegangan-ketegangan, terutama bila terjadi konflik kepentingan antara Pemerintah dan MUI, menyerupai dalam masalah perihal fatwa pengharaman merayakan natal bersama bagi umat Islam.
Dengan berpedoman pada hadis Rasulullah saw yang menyatakan bahwa pemimpin sebuah umat sebenarnya yaitu pelayan mereka dan orang yang menyiapkan minum suatu umat yaitu orang yang terakhir minum, Majelis Ulama Indonesia mencoba memperlihatkan nuansa gres menghadapi era barunya.
Memang, penggalan awal hadis ini ( سيد القوم خادمھم ) bukanlah hadis shahih, bahkan dinyatakan sebagai hadis yang sangat da’if. Namun, penggalan keduanya ( ساقي القوم آخرھم شربا ) banyak yang menyebutkan sebagai hadis sahih. Meskipun demikian, sebagian ulama beropini bahwa bila hadis itu dalam hal perbuatan baik, maka tidak ada salahnya untuk dipakai sebagai motivator. Oleh lantaran itu, hadis ini dipakai sebagai dasar untuk merubah paradigma usang yang menganggap MUI sebagai menara gading dan sebagai corong pemerintah menjadi khādimul ummah (pelayan masyarakat). Memahami hadis di atas, sepertinya ketika ini sangat diharapkan perilaku patriot dan kepeloporan yang memperlihatkan integritas dedikasi ulama, zuama, dan cendekiawan muslim dalam upaya meraih impian secara terus menerus dan berkesinambungan. Hal ini yaitu sebuah keniscayaan, alasannya yaitu semenjak awal usaha mendirikan negeri ini, kiprah ulama tidak pernah surut. Bahkan jauh sebelum masa penjajahan.
Telah tercatat dalam sejarah bahwa kebanyakan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, menyerupai Demak, Cirebon, dan Banten yang berdiri pada kala keenam belas diprakarsai oleh para ulama melalui semacam persaudaraan sufi.
Semangat paradigma gres yang dihembuskan dalam Munas VII MUI yang diadakan di Jakarta tanggal 19 – 22 Jumadil Akhir 1426 H bertepatan dengan tanggal 26 – 29 Juli 2005 tercermin dalam langkahlangkah aplikasi dalam amar ma’ruf nahi munkar sebagai realisasi dari dakwah kongkrit bi al-lisān wa al-hāl yakni sebagai khādimul ummah (pelayan masyarakat) dalam beragama, berbangsa, dan bernegara.
Pernyataan-pernyataan di atas tercermin terperinci dalam Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga Majelis Ulama Indonesia yang telah disahkan pada Musyawarah Nasional VII MUI di Jakarta. Dalam muqaddimah Pedoman Dasar MUI dinyatakan bahwa mempunyai tiga kiprah utama, yakni : sebagai pewaris para nabi (wara£atul anbiyā`), pelayan umat (khādimul ummah), dan penerus misi yang diemban Rasulullah Muhammad saw.
Sementara, umat Islam Indonesia begitu beragam dan bermacam-macam dalam cara berfikir dalam duduk masalah keagamaan. Hal ini dianggap sebagai rahmah dan wasilah untuk terbentuknya kehidupan yang dilandasi rasa persaudaraan, saling menolong, dan toleransi. Sebagai pewaris nabi, ulama menempatkan diri menjadi pemimpin kolektif dalam upaya menuju masyarakat terbaik dengan upaya menegakkan kebenaran dan keadilan secara bersama dengan menekankan nilai-nilai persamaan, keadilan, dan syuro. Untuk itu, ulama akan menjadi pemimpin umat yang akan mengarahkan dan mengawal umat Islam dalam menanamkan aqidah Islamiyah, membimbing umat dalam menjalankan ibadah, dan menuntun umat dalam menyebarkan akhlaq terpuji semoga sanggup mencapai cita-cita, terwujudnya masyarakat terbaik (khairu ummah).
Menurut pedoman dasar ini, Majelis Ulama Indonesia mempunyai fungsi sebagai wadah para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim dalam mengayomi umat dan menyebarkan hidup yang islami; sebagai wadah silaturahmi para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim untuk menyebarkan dan mengamalkan aliran Islam dan menggalang ukhuwwah Islamiyah; sebagai wakil umat Islam dalam kekerabatan dan konsultasi antarumat beragama; dan sebagai pemberi fatwa kepada umat Islam dan pemerintah. Tujuan yang ingin dicapai oleh MUI sebagaimana tergambar dalam paparan di atas yaitu mewujudkan khairu ummah dan baldatun ¯ayyibatun wa rabbun ghafūr (negara yang aman, damai, adil, makmur, dan menerima rida Allah swt).
Dalam upaya mencapai tujuan itu, MUI melaksanakan banyak sekali usaha dengan memperlihatkan bimbingan untuk mewujudkan kehidupan beragama yang kondusif, menyelenggarakan dakwah secara terpola, memperlihatkan fatwa, merumuskan pola kehidupan keberagamaan yang majemuk, menjadi penghubung antara ulama dan umaro, dan yang terpenting meningkatkan kekerabatan kolaborasi antarorganisasi, forum Islam, dan cendekiawan muslim yang tentunya disertai dengan program-program bersama demi kepentingan umat.
Dalam pola kekerabatan kerja dengan instansi lain, independensi MUI sangat tampak terperinci dan dikemukakan secara eksplisit pada pasal 10 Pedoman Dasar ini. MUI membuka peluang kolaborasi dengan siapapun dalam menunjang pencapaian tujuan MUI, baik dengan instansi pemerintah, maupun dengan pihak lain yang mempunyai visi dan misi yang sama, dengan landasan kerjasama dalam kebajikan dan taqwa. Dalam hal organisasi politik, MUI menyatakan bahwa ia tidak berhubungan ke partai politik manapun. Demikian juga dalam hal pendanaan, terungkap dalam pasal 12 bahwa MUI mendapatkan sumbangan darimanapun yang halal dan tidak mengikat, di samping mempunyai usaha-usaha yang halal pula.
Dalam hal pembentukan pengurus, Pedoman Rumah Tangga Majelis Ulama Indonesia menyebutkan bahwa pembentukan pengurus MUI sentra ditentukan oleh MUNAS, dan di tempat oleh MUSDA. Pemilihan pengurus MUI sanggup dilaksanakan secara pribadi atau dipilih oleh formatur. Pada MUNAS VII telah ditetapkan formatur yang bertugas menyusun Pengurus Majelis Ulama Indonesia untuk masa bakti 2005 –2010 melalui Surat Keputusan MUNAS VII MUI Nomor : Kep-07/MUNAS-VII/MUI/VII/2005, dengan komposisi sebagai berikut:
- Prof. DR. KH. Tolchah Hasan (Ketua Dewan Penasehat MUI)
- DR. KH. MA. Sahal Mahfudz (Ketua Umum MUI)
- Prof. DR. HM. Din Syamsuddin (Sekretaris Umum MUI)
- Prof. DR. Nasrun Harun (MUI Sumbar)
- Drs. KH. A. Hafizh Usman (MUI Pusat)
- Drs. H. Abdul Kadir Makarim (MUI NTT)
- KH. Mujtaba Ismail, MA (MUI Kaltim)
- KH. Drs. Fauzie Nurani (MUI Sulut)
- KH. A. Cholil Ridwan (DDII)
- DR. H. Fuad Ansyari (ICMI)
- DR.H. Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag. (Muhammadiyah)
- Drs. H. Amrullah Ahmad, MA (Syarikat Islam)
- KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA (Pesantren Gontor).