Biokimia
Ekstraksi Materi Alam
Ekstraksi merupakan suatu proses pemisahan materi aktif dalam sel atau jaringan tumbuhan yang bersifat inaktif atau inert dengan memakai pelarut yang sesuai dengan polaritasnya (Tiwari et al., 2011). Proses ekstraksi dimulai adanya penggumpalan ekstrak dalam pelarut. Selanjutnya terjadi kontak antara materi dan pelarut sehingga pada bidang permukaan terjadi pengendapan massa dengan cara difusi. Bahan ekstraksi yang telah tercampur dengan pelarut maka maka pelarut akan menembus kapiler dalam suatu materi padat dan melarutkan ekstrak larutan dengan konsentrasi lebih tinggi dan terbentuk di pecahan dalam materi ekstraksi (Bernasconi et al., 1995). Proses pemisahan tersebut bertujuan untuk memperoleh bahan-bahan aktif yang terkandung dalam sel atau jaringan. Bahan aktif dalam tumbuhan tersebut terdiri dari terpenoid, alkaloid, steroid, flavonoid, atsiri, dan sebagainya (Robinson, 1995).
Sebelum dilakukan ekstraksi, sampel segar sebaiknya segera dimasukkan ke dalam alkohol mendidih. Akan tetapi kalau tidak memungkinkan, maka sampel disimpan dalam keadaan kering dengan tujuan materi kimia dalam sampel tidak terlalu banyak yang berubah. Disamping itu, sebelum proses pengeringan maka sampel sebaiknya dibersihkan terleih dahulu supaya tidak terkotori oleh jamur yang akan tumbuh pada sampel kering (Harborne, 1987).
Adapun parameter kualitas dari ekstraksi tergantung oleh banyak sekali hal menyerupai jenis materi yang digunakan, jenis pelarut, dan mekanisme ekstraksi. Sementara hasil materi aktif yang diekstraksi dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni ukuran bahan, tipe ekstraksi, waktu ekstraksi, temperatur, jenis pelarut, pH, konsentrasi pelarut, dan polaritas (Tiwari et al., 2011).
Faktor ukuran materi juga mempengaruhi hasil ekstraksi. Pengecilan ukuran suatu materi yang akan diekstraksi bertujuan untuk memperluas bidang permukaan materi sehingga akan mempercepat penetrasi pelarut ke dalam materi yang akan diekstrak dan mempercepat waktu ekstraksi. Namun ukuran materi yang terlalu kecil juga menjadikan banyak minyak volatile yang menguap selama penghancuran (Tiwari et al., 2011). Kemudian salah satu faktor yang mempengaruhi hasil ektraksi yaitu adalah suhu. Ekstraksi akan lebih cepat dilakukan pada suhu tinggi. Susanto (1999) menyebutkan bahwa ekstraksi yang baik dilakukan pada kisaran suhu 30-500°C.
Selanjutnya faktor lain yang mempengaruhi hasil ekstraksi yaitu jenis pelarut yang digunakan. Faktor pelarut merupakan faktor utama dalam proses ekstraksi. Bernasconi et al. (1995) dan Gertenbach (2002) mengungkapkan bahwa pemilihan pelarut didasarkan atas selektifitas yakni pelarut hanya boleh melarutkan ekstrak yang diinginkan, sementara komponen-komponen lain dari materi ekstraksi tidak terlarut; kelarutan yakni pelarut diusahakan sebisa mungkin mempunyai kemampuan melarutkan ekstrak dengan maksimal; kerapatan yakni sebisa mungkin pelarut mempunyai perbedaan kerapatan yang besar antara pelarut dan materi ekstraksi; reaktifitas yakni pelarut pada umumnya tidak menjadikan perubahan secara kimiawi pada komponen-komponen materi yang diekstraksi; titik didih yakni disebabkan ekstrak dan pelarut biasanya harus dipisahkan dengan cara penguapan, destilasi atau rektifikasi, maka titik didih kedua materi pelarut dilarang terlalu erat nilai titik didihnya; rasio pelarut-bahan baku yakni semakin besar rasio pelarut-bahan baku, maka akan memperbesar konsentrasi solut yang terlarut pada permukaan partikel sehingga akan memperbesar gradien konsentrasi di dalam dan di permukaan patikel padatan. Sebagai akibatnya, laju ekstraksi akan mengalami peningkatan.
Beberapa pola pelarut yang digunakan dalam acara praktikum adalah:
1. n-Heksana
n-Heksana (CH3(CH2)4CH3) yaitu pelarut petroleum yang gampang menguap. Ikatan pada heksana bersifat tunggal dan kovalen sehingga menjadikan n-heksana tidak reaktif sehingga sering digunakan sebagai pelarut inert pada reaksi senyawa organik. Heksana mempunyai karakteristik sangat tidak polar dan gampang menguap. Berat molekul heksana yaitu 86,17 gram/mol dengan titik leleh -94,3 hingga -95,3°C (Daintith, 1994).
2. Kloroform
Kloroform (CHCl3) merupakan salah satu senyawa haloform yang gampang menguap, tidak berwarna; titik leleh -63,5°C; titik didih 61°C. Senyawa ini diproduksi melalui proses klorinasi metana atau melalui reaksi haloform. Kloroform digunakan sebagai pelarut dan materi dasar untuk menciptakan senyawa lainnya (Daintith, 1994).
3. Asam asetat
Asam asetat (CH3COOH) merupakan asam karboksilat berwujud cairan kental jernih dengan aroma yang khas.. Senyawa asam asetat murni dinamakan asam asetat glasial yang diproduksi dengan cara mengoksidasi etanol atau butana dengan proteksi Mangan (II) atau Kobalt (II) etanoat terlarut pada suhu 200°C (Daintith, 1994).
4. Etil asetat
Etil asetat (C2H5COOH) merupakan senyawa turunan steroid yang mempunyai berat molekul 72,08 g/mol. Pelarut ini bersifat semi-polar (Daintith, 1994).
5. Aseton
Aseton (CH3COCH3) digunakan sebagai pelarut lantaran bersifat higroskopis, baunya ringan, tidak berwarna, sangat volatil, tidak ada residu dan gampang terbakar. Mempunyai berat molekul 58,1 g/mol dengan titik leleh -94,6 °C; titik didih 56,1ºC (Daintith, 1994).
6. Etanol
Etanol atau alkohol (C2H5OH) merupakan cairan tidak berwarna yang larut dalam air, densitas 0,6 (0ºC) titik leleh -169ºC , titik didih -102ºC. Memiliki gugus hidroksil (OH) pada alkohol yang menjadikan bersifat polar, sedangkan gugus alkil (R) merupakan gugus non polar. Proporsi dari kedua gugus tersebut merupakan faktor yang memilih sifat alkohol (Daintith, 1994).
7. Metanol
Metanol (CH3OH) yaitu cairan yang tidak berwarna, densitas 0,79 gram/mL; titik leleh -98°C, titik didih 64°C. Senyawa ini dibentuk melalui oksidasi katalitik dari metana dan digunakan sebagai pelarut serta sebagai materi baku untuk industri kimia (Daintith, 1994).
Pelarut-pelarut tersebut besar lengan berkuasa terhadap senyawa yang akan diekstrak. Berdasarkan sifat dan kepolaran pelarut, maka sanggup diketahui materi aktif yang dilarutkan (Tabel 1).
Tabel 1. Pelarut yang digunakan untuk melarutkan materi aktif.
Air | Etanol | Metanol | Kloroform | Eter | Aseton |
Antosianin Tannin Saponin Terpenoid Lektin Polipeptida | Tannin Sterol Polifenol Flavonol Terpenoid Alkaloid | Terpenoid Saponin Tannin Flavon Polifenol Xantolin | Terpenoid Flavonoid | Alkaloid Terpenoid Asam lemak | Fenol Flavonol |
Sumber: Tiwari et al., 2011 |
Pemilihan suatu pelarut harus mempertimbangkan sifat kepolarannya. Untuk mengetahui kepolaran, maka sanggup diketahui menurut tetapan dielektrik (TD) suatu senyawa yang didasarkan pada imbas elusinya. Peningakatan nilai elusi diiringi dengan peningkatan kepolaran. Parameter peningkatan nilai elusi juga mengindikasikan tingkat kepolaran (Gocan, 2005; Stahl, 1985). Adapun deret eluotropi pelarut disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Deret eluotropi perlarut.
Pelarut | Titik didih (°C/750 torr) | Tetapan dielektrik pada suhu 20 °C |
n-Heksana | 68,7 | 1,890 |
Toluena | 110,6 | 2,379 |
Kloroform | 61,3 | 4,806 |
Eter | 34,6 | 4,34 |
Etil asetat | 77,1 | 6,02 |
Asam asetat | 30,9 | 6,15 |
Aseton | 56,5 | 20,70 (T=25 °C) |
Etanol | 78,5 | 24,30 (T=25 °C) |
Metanol | 64,6 | 33,62 |
Air | 100,0 | 80,37 |
Sumber: Stahl, 1985 |
Adapun metode-metode yang sering digunakan untuk ekstraksi yaitu maserasi, soxhletasi, infusi, digesti, dan perkolasi (Handa, 2008). Metode maserasi merupakan metode yang paling sering digunakan lantaran laba metode ini tidak memakai pemanasan yang bisa merusak materi aktif dalam sel dan memakai sedikit pelarut. Adapun proses dari metode ini yaitu dengan cara merendam serbuk simplisia ke dalam suatu pelarut dalam temperatur ruangan selama minimal tiga hari dan terlindung dari cahaya. Selama proses perendaman, materi aktif dalam sel akan keluar melalui rongga-rongga antar-sel dan kemudian isi dalam sel terlarut dengan pelarut yang digunakan untuk perendaman akhir adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dan di luar sel. Metode maserasi mempunyai kekurangan yakni total senyawa-senyawa ekstraksi yang melampaui kelarutannya dalam pelarut tertentu sehingga sanggup mengendap dalam wadah (Handa, 2008; Voight, 1994).
Adapun metode ekstraksi dengan memakai soxhlet yakni proses ekstraksi materi secara berkesinambungan, cairan pelarut dipanaskan sehingga menguap, uap cairan pelarut kemudian terkondensasi menjadi molekul-molekul air kemudian melalui kondensor turun melewati simplisia dalam ekstraktor dan selanjutnya masuk kembali ke dalam labu penampung sesudah melewati pipa sifon (Fieser, 1941) (Gambar 1).
Gambar 1. Alat untuk ekstraksi dengan metode soxhletasi
(modifikasi dari Fieser, 1941).
Keuntungan dari metode soxhletasi yakni diperoleh sampel dengan tekstur yang lunak dan yang tidak tahan terhadap pemanasan secara langsung, diperoleh hasil ekstraksi yang lebih banyak, tidak memakai filter, memakai pelarut yang lebih sedikit serta pemanasannya sanggup diatur. Namun kekurangan metode ini yakni perubahan suhu sanggup menjadikan kerusakan materi aktif dalam sampel, membutuhkan biaya yang lebih banyak, membutuhkan energi yang besar, serta hanya cocok digunakan dalam skala kecil (Handa, 2008; Tiwari et al., 2011).