Kromatografi Lapis Tipis


Kromatografi merupakan teknik pemisahan menurut perbedaan partisi antara fase gerak dan fase membisu dalam suatu gabungan (Chattopadhyay, 2008). Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan salah satu metode kromatografi cair yang sering dipakai secara luas sebab metode yang dipakai sederhana, prosedurnya cepat, dan tingkat keberhasilannya tinggi (Wewers et al., 2005). 

KLT mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan kromatografi kertas antara lain KLT membutuhkan waktu elusi yang lebih pendek dan diperoleh pemisahan yang lebih baik untuk keperluan analisis kuantitatif. Hasil pemisahan yang baik dari KLT mempunyai kapasitas lebih besar bila dibandingkan dengan kromatografi kertas. KLT juga sanggup dipakai untuk memisahkan senyawa-senyawa bersifat hidrofobik ibarat lipid dan hidrokarbon (Sastrohamidjojo, 2005).

Senyawa yang diekstraksi melalui KLT sanggup diukur retensinya ketika selama proses pengembangan eluen. Retensi diukur sebagai faktor yang dinyatakan sebagai Racing factor (Rf), yakni panjang senyawa yang ditandai adanya spot dibagi dengan panjang yang dilalui oleh pelarut atau eluen (Gambar 1). Adapun persamaannya adalah:




Gambar 1. Ilustrasi kromatogram untuk mengukur nilai Rf 
(modifikasi dari Wall, 2005).

Nilai Rf merupakan tetapan fisika untuk setiap senyawa dan didefinisikan sebagai jarak yang ditempuh senyawa dari titik awal hingga ke titik berhenti dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh pelarut. Nilai Rf sanggup berubah jawaban faktor suhu, arah serat kertas, dan banyaknya senyawa yang ditotolkan. Oleh sebab itu, harga Rf tidak sanggup mendapatkan amanah untuk identifikasi tanpa pertimbangan (Robinson, 1995).

KLT sendiri terdiri dari komponen fase gerak (sorbent) dan fase membisu (eluen) (Bettelheim & Landesberg, 2000). Fase membisu (sorbent) yang dipakai dalam KLT ada sekitar 25 macam. Beberapa sorbent mempunyai fungsi untuk pemisahan yang spesifik ibarat yang disajikan pada Tabel 1. Sorbent yang dipakai tergantung pada ukuran pori, ukuran partikel, dan pH. Pemilhan sorbent juga harus mempertimbangkan karakteristik senyawa yang dipisahkan ibarat polaritas, kelarutan, berat molekul, tingkat ionisasi, bentuk dan ukuran senyawa yang dianalisis (Wall, 2005).

              Tabel 1. Jenis-jenis sorbent beserta senyawa yang dipisahkan.
Jenis sorbent
Senyawa yang dipisahkan
Silika gel
Semua jenis senyawa
Alumunium oksida
Senyawa dasar (alkaloid, amin, dll), steroid, terpen, hidrokarbon aromatik dan alifatik.
Selulosa
Asam amino dan derivatnya, asam nukleat, karbohidrat.
Poliamida
Fenol, flavonoid, senyawa yang mengandung nitrogen.
Sumber: Wall, 2005



Dalam proses pemisahan senyawa, dilakukan elusi atau pengembangan sampel yang akan dianalis. Banyak variasi yang dipakai dalam untuk pengembangan ibarat Nu-chamber, Ns-chamber, U-chamber dan sebagainya. Sebagai pola metode pengembangan dengan memakai Ns-chamber (Ns = Normal saturated) yang mana plat silika yang biasanya mempunyai ketebalan 0,5–2 mm dan ukuran yang diadaptasi dengan kebutuhan ditotol dengan sampel dan dilakukan pencelupan ke dalam pelarut yang berada di dalam tangki (chamber) yang tertutup yang sudah mengalami penjenuhan oleh uap pelarut (Gambar 2). Pelarut yang berfungsi sebagai fase gerak sanggup memakai sistem biner ibarat n-heksana–etilasetat, n-heksana– aseton, dan kloroform–metanol. Terkadang juga ditambahkan asam asetat atau dimetilamina untuk memisahkan senyawa asam dan basa secara berurutan. Pada ketika plat dicelupkan dalam tangki tersebut, maka pelarut akan bergerak secara vertikal melalui daya kapilaritas sorbent dan memisahkan senyawa yang diektraksi yang ditandai adanya spot-spot di dalam plat tersebut (Hostettmann et al., 1995; Wall, 2008). 

Gambar 2. Tangki yang mengalami penjenuhan yang mengelusi plat
(Wall, 2008).

Setelah dilakukan elusi, maka plat akan menghasilkan bercak atau spot warna yang sanggup diukur nilai Rf-nya. Untuk mendeteksi bercak-bercak tersebut sanggup dilakukan dengan pengamatan secara langsung, memakai sinar UV, atau diberi pereaksi untuk membentuk warna. Macam-macam warna bercak pada plat sanggup dilihat pada Gambar 3.  Pendeteksian dengan memakai sinar UV akan menghasilkan penampakan senyawa yang mengalami fluoresensi. Panjang gelombang UV yang sering dugunakan berskisar antara 200–400 nm. Namun untuk penggunaan panjang gelombang yang paling rendah yaitu 254 nm dan untuk yang paling tinggi memakai 366 nm (Hegge et al., 1991; Wall, 2008).

Gambar 3. Kode-kode warna-warna yang terdapat pada 
bercak plat kromatogram (Hegge et al., 1991).

Panjang gelombang 254 nm sanggup dipakai untuk mengamati plat yang terimpregnasi dengan fosfor dalam pori sorbent. Warna-warna yang dihasilkan oleh sinar UV254 yaitu warna kuning-kehijauan yang mengindikasikan adanya uranil asetat, warna hijau yang mengindikasikan adanya manganese zinc silicate, zinc cadmium sulphide, dan zinc silicate, dan warna biru yang mengindikasikan adanya alkaline earth metal tungstates dan tin strontium phosphate. Sinar UV254 juga sanggup dipakai untuk mendeteksi adanya senyawa aromatik. Adapun sinar UV366 sanggup dipakai untuk mendeteksi adanya senyawa yang berfluorosensi secara alami (Schutle et al. 2005; Wall, 2008). Ćetković et al. (2003) menyebutkan bahwa sinar UV366 akan menghasilkan pola warna menurut pelarut yang dipakai untuk ekstraksi, ibarat ekstrak yang memakai pelarut metanol ketika diamati dengan UV366 yang menawarkan warna ibarat kuning berarti menawarkan adanya senyawa quercetin dan yang warna biru menawarkan adanya senyawa asam fenol. Kemudian ekstrak yang memakai pelarut kloroform ketika diamati dengan UV366 yang menawarkan warna violet mengindikasikan adanya flavonoid, kuning mengindikasikan adanya quercetin, violet gelap mengindikasikan adanya senyawa rutin, dan biru mengindikasikan adanya asam fenol.

Selain memakai sinar UV juga sanggup memakai reagen ibarat cerium (IV) sulfat. Reagen ini berfungsi untuk mendeteksi senyawa yang mengandung alkaloid (Svendsen & Verpoorte, 1983), senyawa yang mengandung ion iodium atau senyawa organik yang mengandung iodium (Jork et al., 1990), senyawa sterol (Ghazala et al., 2004), dan senyawa yang mengandung terpenoid dan flavoniod yang mana terpenoid manghasilkan bercak warna coklat kemerahan dan coklat keunguan  dan flavonoid menghasilkan bercak warna kuning (Rodríguez et al., 2008).