Metode Sekuensing Kimiawi (Maxam-Gilbert)


Metode sekuensing DNA yang pertama dikenal ialah metode kimia yang dikembangkan oleh A.M. Maxam dan W. Gilbert pada tahun 1977. Pada metode ini fragmen-fragmen DNA yang akan disekuens harus dilabeli pada salah satu ujungnya, biasanya memakai fosfat radioaktif atau suatu nukleotida pada ujung 3’. Metode Maxam-Gilbert sanggup diterapkan baik untuk DNA untai ganda maupun DNA untai tunggal dan melibatkan pemotongan basa spesifik yang dilakukan dalam dua tahap. Molekul DNA terlebih dahulu dipotong-potong secara parsial memakai piperidin. Pengaturan masa inkubasi atau konsentrasi piperidin akan menghasilkan fragmen-fragmen DNA yang majemuk ukurannya. Selanjutnya, basa dimodifikasi memakai bahan-bahan kimia tertentu (Maxam and Gilbert, 1977, 1980). Metode yang dikembangkan oleh Maxam-Gilbert terdapat dua teknik yang disajikan dalam Tabel 1.


                    Tabel 1. Pemotongan basa spesifik untuk sekuensing metode kimiawi
                    Sumber: Hindley (1983).

Perbedaan yang fundamental pada Tabel 1 tersebut ialah pada reaksi 1 dan reaksi 2. Pada tahun 1977, metode untuk modifikasi basa dipakai dimethyl sulfate (DMS) sementara pada tahun 1980 dikembangkan lagi dimana pada reaksi 1 dipakai DMS untuk modifikasi basa dan reaksi 2 dipakai asam formic. Selain itu juga terdapat perbedaan pada contoh pemotongan, pada reaksi 1 pada mulanya dipakai pemanasan pada pH 7 sedangkan teknik yang kedua dipakai piperidine (Hindley, 1983).

Adapun prinsip dari prosedur sekuensing metode kimiawi antara lain pelabelan pada unjung 5′ dengan menggunakan g-32P; modifikasi dan pelepasan basa nitrogen; pemutusan rantai DNA; dan deteksi dengan Polyacrylamide gel electrophosesis. Secara ringkas prinsip tersebut disajikan pada Gambar 1 (Maxam & Gilbert, 1977).


Gambar 1. Prinsip sekuensing metode Maxam-Gilbert. (a) pelabelan dengan radioaktif, (b) modifikasi dan pelepasan basa nitrogen, (c) pemutusan DNA, (d) diperoleh fragmen-fragmen DNA dengan panjang yang berbeda (Nicholl, 2002).

Adapun prinsip kerja dari metode yang pertama ialah DMS akan memetilasi basa G dan C, hidrazin akan menghidrolisis C dan T, tetapi garam yang tinggi akan menghalangi reaksi T sehingga hanya bekerja pada C. Dengan demikian, akan dihasilkan empat macam fragmen, masing-masing dengan ujung G, ujung A atau G, ujung C atau T, dan ujung C. Adapun tahapan tahapannya ialah sebagai berikut: 


1. Pemotongan guanosin dan adenin
Pada tahap ini, sesudah dilakukan dengan pelabelan, guanosin akan dilakukan modifikasi dan pelepasan basa dengan memakai dimethyl sulfate. Dimethyl sulfate akan memetilasi guanin pada posisi N7 dan N3 pada adenin yang mengakibatkan ikatan glikosida tidak stabil. Selanjutnya dengan pemanasan pada pH 7 maka guanin akan terlepas (Gambar 2). Sementara adenin akan terlepas sesudah diberi asam. Kemudian untuk memotong ikatan DNA, maka diberi piperidin yang lalu akan dihasilkan fragmen-framen DNA dengan panjang yang bervariasi. Pada dikala dilakukan pemanasan, maka jumlah fragmen dengan ujung 3′ diperoleh G>A dan sebailiknya pada dikala perlakuan diberi asam, maka jumlah fragmen A>G.



Gambar 2. Pemotongan guanosin.



Gambar 3. Pemotongan adenin



2. Pemotongan sitosin dan timin
Perlakuan yang dipakai terlebih dahulu ialah proteksi hidrazin. Hidrazin akan bereaksi dengan sitosin dan timin yang lalu akan melepaskan basa pirin tersebut. Selanjutnya dengan proteksi piperidin, maka ikatan DNA akan terpotong (Gambar 4). Pada perlakuan ini dihasilkan fragmen C+T, namun bila dalam perlakuan proteksi hidrazin ditambahkan garam (NaCl), maka garam akan mencegah hidrazin bereaksi dengan timin. Sehingga dalam reaksi ini hanya diperoleh fragmen dengan ujung modifikasi C (Gambar 5).


Gambar 4. Pemotongan timin



Gambar 5. Pemotongan sitosin.


Selanjutnya masing-masing reaksi disekuens dengan memakai PAGE (polyacrilamide gel electrophoresis) yang sanggup dipakai untuk mengetahui sekuens fragmen DNA yang menurut laju migrasi masing-masing pita. Pada lajur pertama berisi fragmen-fragmen yang ujungnya ialah A>G, lalu lajur kedua G>A, lalu lajur ketiga ialah C, dan lajur keempat ialah C+T (Gambar 6).

Gambar 6. Hasil sekuensing metode kimiawi (Maxam & Gilbert, 1977).

Adapun teknik kedua dari metode kimiawi ini terletak pada reaksi 1 dan 2. Pada reaksi 1, sesudah diberi dimethyl sulfate, maka diberi piperidin sehingga diperoleh fragmen dengan ujung G mengalami modifikasi. Selanjutnya pada reaksi 2 tidak diberi dimethyl sulfate, namun diberi asam formic ikatan DNA diputus dengan piperidin yang akan menghasilkan fragmen G+A. adapun hasil disajikan pada Gambar 7.


Gambar 7. Hasil sekuensing dengan teknik kedua (Maxam & Gilbert, 1980).



Penjelasan dari metode Maxam-Gilbert tersebut secara ringkas disajikan dalam Gambar 8.


Gambar 8. Metode sekuensing Maxam-Gilbert (Mathews & Holde, 1995)



Penulis:
Mh Badrut Tamam, M. Sc.
email: mh.badruttamam@generasibiologi.com