Penanda Molekular Rapd


Penanda molekular RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) ialah aplikasi PCR yang dipakai untuk untuk mendeteksi adanya suatu polimorfisme DNA dalam suatu populasi atau antarpopulasi. Penanda RAPD pertama kali ditemukan untuk mendeteksi adanya polimorfisme dalam suatu segmen DNA. Teknik PCR RAPD sanggup mendeteksi DNA polimorfik yang disebabkan oleh tidak adanya amplifikasi pada suatu lokus yang disebabkan oleh adanya perbedaan urutan basa nukleotida pada titik penempelan primer. Hal ini akan menjadikan primer tidak sanggup melekat pada cuilan tersebut sehingga tidak terjadi amplifikasi. Polimorfisme yang dihasilkan dengan teknik PCR RAPD disebabkan adanya perubahan basa nukleotida, delesi, dan insersi (William et al., 1990; Semagn et al., 2006).

Prinsip kerja dari metode PCR RAPD ialah mengaplikasikan PCR dengan cara mengamplifikasi urutan nukleotida dengan memakai primer acak. Primer yang dipakai ialah oligonukleotida yang terdiri dari 5–10 nukleotida. Keunggulan dari teknik PCR RAPD ialah hanya diharapkan kuantitas sampel DNA yang sedikit, ekonomis biaya, gampang dipelajari, dan primer yang gampang didapatkan. Sedangkan kelemahannya ialah tingkat reproduksibilitasnya rendah, sensitif terhadap variasi konsentrasi DNA, dan memerlukan meningkatkan secara optimal suhu dan primer pada ketika pengujian  (Azrai, 2005; McPherson & Møller, 2006). 

Beberapa faktor yang mempengaruhi reproduksibilitas reaksi PCR RAPD ialah kualitas dan kuantitas DNA, buffer PCR, konsentrasi MgCl2, rasio primer terhadap template, suhu annealing, enzim Taq polimerase, dan mesin PCR yang digunakan. Namun untuk mengurangi hal tersebut sanggup diatasi dengan  memenuhi standar protokol ekstraksi DNA untuk meminimalisir kontaminan, melaksanakan optimasi, melaksanakan seleksi primer dengan reproduksibilitas pita yang tinggi, dan memakai materi PCR yang terpercaya (Wolff et al., 1993; Semagn et al., 2006).

Metode RAPD bisa mendeteksi adanya polimorfisme pada DNA antarspesies maupun antarpopulasi menurut pita hasil amplifikasi pada suatu lokus di untaian DNA. Adanya pita polimorfik pada hasil amplifikasi mengatakan adanya perbedaan komponen nukleotida. Dalam untaian DNA, nukleotida yang berbeda bisa dikarenakan adanya insiden delesi maupun insersi pada DNA. Faktor tersebutlah yang menjadikan pita RAPD mengatakan hasil polimorfik. Data pita DNA yang diperoleh pada umumnya akan dianalisa dengan memakai data biner dengan melaksanakan skoring, yakni skor 1 untuk pita yang muncul dan skor 0 untuk pita yang tidak muncul. Hal inilah metode penggunaan RAPD disebut dengan sifat mayoritas lantaran hanya mendeteksi alel per lokus (Willian et al., 1992; Naurala & Srivastava, 2005). Selanjutnya hasil skoring tersebut sanggup dianalisis sesuai dengan kebutuhan dengan memakai pemberian software komputer menyerupai jadwal GenAlEx (Peakall & Smouse, 2007) dan jadwal POPGENE (Yeh et al., 1999). 

Pemanfaatan penanda molekular dengan teknik PCR RAPD banyak dilakukan untuk aktivitas pemuliaan flora yakni menyeleksi flora krisan bibit unggul (Huang et al., 2000) dan analisis variasi somaklonal dan abjad molekular pada kulitivar flora krisan (Minano et al., 2009). Mendeteksi adanya imbas mutagenesis pada kultur embrio kedelai (Hoffmann et al., 2004), mengidentifikasi keragaman genetik antarkultivar barley (Fernández et al., 2002), mengkonstruksi peta interspesifik pada genom tomat (Saliba-Colombani et al., 1999), dan mendeteksi polimorfisme pada flora jarak tanggapan radiasi sinar gamma (Dhakshanamoorthy et al., 2010). PCR RAPD juga dipakai untuk analisis molekular persilangan interspesifik pada flora mawar (Kaul et al., 2009), mengetahui segregasi F1 persilangan interspesifik pada flora anggur (Luo, 2002) dan  juga dipakai untuk identifikasi gen resisten flora kacang hijau terhadap penyakit (Ferreira, et al., 2000).