Splicing: Regulasi Pemrosesan Mrna Pascatranskripsi

Transkripsi merupakan tragedi penyalinan isyarat DNA dalam bentuk mRNA yang bertujuan untuk menyintesis protein. Setelah dibuat mRNA, maka terjadi pemrosesan (processing) pada mRNA pascatranskripsi. Regulasi ini hanya ditemukan pada jasad eukariotik dan tidak ditemukan pada jasad prokariotik. Hal ini dikarenakan mRNA pada prokariotik pribadi ditranslasi sebelum transkripsi selesai. Sehingga tidak ada kendala struktural alasannya semua komponen transkripsi dan translasi berada dalam sitoplasma. Sementara pada jasad eukariotik tragedi transkripsi terjadi di nukleus sedangkan translasi terjadi di sitoplasma (Alexander et al., 2010; Kim et al., 2005). Disamping itu RNA Polimerase II mentranskrip dalam bentuk pre-mRNA yang berupa rantai prekusor panjang yang disebut sebagai heterogeneous nuclear RNA (hnRNA). Pre-mRNA atau hnRNA akan diubah menjadi heterogeneous nuclear ribonucleoprotein (hnRNP) dengan menambahkan protein tetramer yang berupa (A1)3B2, (A2)3B1, dan (C1)3C2 (Feng et al., 2008; Turner et al., 1997). Kemudian tahap berikutnya yaitu pematangan menjadi mRNA yang siap ditranslasi melalui beberapa tahap pemrosesan pascatranskripsi antara lain: pemotongan dan penyambungan mRNA (splicing), penambahan tudung/cap pada ujung 5’ mRNA (capping), penambahan gugus poli-A pada ujung 3’ mRNA (polyadenylation), metilasi, dan turn over (Turner et al., 1997; Yuwono, 2007). Dalam artikel ini klarifikasi hanya difokuskan pada prosedur splicing.

SPLICING
Karakteristik mRNA hasil transkripsi pada jasad eukariotik yakni berupa pre-mRNA (transkrip primer, primary transcript) yang meupakan sekuens yang tidak diterjemahkan atau disebut dengan intron dan adanya sekuens yang diterjemahkan yang disebut dengan ekson (Kim et al., 2005). Jumlah ekson biasanya lebih banyak dari pada jumlah intron. Jumlah intron dalan suatu gen sangat bervariasi, meskipun jumlah ekson lebih banyak daripada intron, namun sekuens intron lebih panjang. Peristiwa pemotongan segmen sekuens intron dan pembentukan mRNA matang (mature) dari penggabungan dari banyak sekali sekuens ekson disebut sebagai tragedi RNA splicing (Freifelder, 1987). Adapun prosedur singkat splicing disajikan dalam Gambar 1.



Gambar 1. Mekanisme dasar dari tragedi mRNA splicing sebelum ditranslasi (Clark, 2010).


Mekanisme Splicing
Mekanisme splicing membutuhkan sekuens nukleotida yang spesifik pada kawasan dua ujung intron, yakni pada ujung 5′ terdapat sekuens 5′–GU–3′ dan pada ujung 3′ terdapat sekuens 5′–AG–3′. Ujung sisi 3′ bertujuan untuk mengenali kawasan downstream splicing, sementara ujung sisi 5′ bertujuan untuk mengenali kawasan upstream splicing (Clark, 2010; Lasda et al.,2010; Turner et al., 1997). Pada Gambar 2 ditunjukkan contoh sekuens spesifik pada b-globin insan yang mana garis warna hijau menawarkan kawasan intron dengan ciri khas adanya sekuens GT (GU) pada ujung 5′ dan adanya sekuens AG pada ujung 3′. Sementara warna merah yaitu kawasan ekson yang mana ekson 1 yaitu leader sequence; ekson 2 yaitu coding area; dan ekson 3 yaitu untranslated sequence (Alberts et al., 2008).

 Gambar 2. Urutan sekuens dari gen b-globin pada insan yang menawarkan contoh kawasan intron dan ekson dengan ciri adanya sekuens GU-AG (Albert et al., 2008).



Selain adanya sinyal pada ujung 5′ dan 3′, juga ditemukan adanya sekuens sinyal yang terletak di tengah intron yang yang disebut dengan branchpoint sequence yang sekuensnya berupa 5′–CURAY–3′. Pada verterbrata, R = purin, Y = pirimidin, namun pada khamir ditemukan sekuens spesifik yakni 5′–UACUAAC–3′ (Lasda et al.,2010; Turner et al., 1997).

Sinyal-sinyal pada ujung 5′, 3′, dan branchpoint sequence akan displicing oleh snRNA (small nuclear RNA) yang akan berasosiasi dengan suatu protein membentuk kompleks protein small ribonuclear proteins (snRNPs, dibaca “snurp”) yang terdiri dari U1,U2, U4, U5, dan U6 (Lasda et al., 2010; Yuwono, 2007). Snurp U1 akan mengenali dan mengikat ujung 5′ dari intron; snurp U2 akan mengikat branchpoint sequence; snurp U2AF (U2 accesore factor) akan mengikat ujung 3′; dan snurp U4/U6 akan mengikat snurp U2 dan U6 (Gambar 3). Kompleks antara snRNPs dengan pre-mRNA akan membentuk suatu kompleks yang dinamakan spilceosome (Sanford&Caceres, 2004). Spliceosome tersebut akan membentuk gulungan (loop) pada intron dan selanjutnya intron dipotong dari pre-mRNA dalam bentuk lariat atau ibarat tali laso ibarat yang ditunjukkan pada Gambar 4 (Aitken et al., 2011; Clark, 2010, Turner et al., 1997).


Gambar 3. Kompleks spliceosome (Clark, 2010).  



Gambar 4. Splicing sanggup terjadi selama elongasi transkripsi. RNA polimerase II (ditampilkan dalam warna hijau) mentranskripsi Exon1, Intron dan Exon2 (warna RNA menawarkan wilayah yang sesuai dari DNA, dan warna oval merah menawarkan cap pada ujung 5′ dari RNA). Splicing sanggup terjadi sesudah mentranskripsi urutan tertentu yang memicu perakitan dan aktivasi spliceosome pada RNA menmbentuk struktur lariat-ekson2 yang selanjutnya lariat akan memisah dari ekson (Aitken et al., 2011).


Pada Gambar 4 tersebut juga dijelaskan prosedur dua langkah reaksi (two-step reaction). Langkah pertama yaitu pembentukan spliceosome dengan bentuk lariat-ekson2 yang dibantu oleh RNA Polimerase II, kemudian langkah kedua yaitu sisi dari ujung 3′ (3′SS) mengalami pelekatan dan selanjutnya terbentuklah mRNA yang sudah mengalami maturasi (Aitken et al, 2011; Liu et al., 2008).