Makalah Entomologi Forensik

Serangga merupakan kelompok binatang dengan mempunyai jumlah ordo paling banyak diantara semua binatang (Moore, 2006) dan mempunyai penyebaran yang luas di dalam semua habitat dengan banyak sekali macam kondisi lingkungan (Elkinton, 2003). Serangga bisa bertahan hidup dengan banyak sekali kuliner menyerupai memakan bangkai (necrophagous). Lalat (Callophoridae) yakni salah satu pola serangga necrophagous yang memakan bangkai terutama bangkai mayit (cadaver), sehingga binatang tersebut sanggup dijadikan sebagai aliran untuk menentukan postmortem atau waktu ajal (Allen, 2003). Sehingga serangga sanggup dipakai untuk pemeriksaan kriminal (medicocriminal investigations) yang dikaji dalam ilmu entomologi forensik (Amendt et al., 2004a).

Entomologi forensik yakni salah satu cabang dari sains forensik yang memperlihatkan warta mengenai serangga yang dipakai untuk menarik kesimpulan ketika melaksanakan pemeriksaan yang berafiliasi dengan kasus-kasus aturan yang berkaitan dengan dengan insan atau satwa (Gaensslen, 2009; Gennard, 2007).

Dalam masalah entomologi forensik, Gomes et al. (2006) menyatakan bahwa lalat merupakan invertebrata primer yang mendekomposisi komponen organik pada binatang termasuk juga mayit manusia. Pada ketika lalat mengambil materi organik yang ada di dalam tubuh mayat, maka lalat tersebut akan memindahkan telur yang akan berubah menjadi larva dan pupa (Sukontason et al., 2007). Adanya banyak sekali perubahan dari banyak sekali jenis lalat dan serangga lain akan menimbulkan suatu komunitas dalam mayit yang secara ekologi dan evolusi akan terjadi proses kompetisi, predasi, seleksi, penyebaran dan kepunahan lokal dalam tubuh mayit tersebut (Hangeveld, 1989).

Suksesi Populasi Serangga Necrophagous
Di alam banyak ditemukan serangga yang berfungsi sebagai pengurai sisa-sisa organisme yang sudah mati. Diantaranya yakni serangga pemakan bangkai yang dikenal sebagai necrophagous. Dalam membahas kajian entomologi forensik, serangga necrophagous tersebut mengalami dinamika suksesi populasi dari banyak sekali spesies yang berbeda secara ekologis pada tubuh bangkai (Gambar 1 dan 2). Berbagai macam jenis serangga tersebut akan saling berinteraksi baik bersifat netral, kompetisi, maupun predasi dalam proses dekomposisi bangkai (James, 2010; Tomberlin et al., 2011). 

Gambar 1. Mekanisme dekomposisi pada bangkai babi selama enam hari (Tomberlin et al., 2011).
Gambar 2. (A) instar III Chrysomya megacephala. (B) overview TKP. (C) mayit korban yang dibakar. (D) larva lalat yang ditemukan di wajah dan kepala (Pai et al., 2007).


Amendt et al. (2004a) menyebutkan bahwa ada empat kategori secara ekologi untuk mengidentifikasi suatu komunitas pada bangkai/mayat, antara lain:
  1. Adanya spesies necrophagous yang memakan bangkai/mayat. 
  2. Adanya predator dan benalu pada terhadap spesies necrophagous yang memakan serangga atau golongan Arthropoda yang lain. Terkadang juga ditemukan spesies Schizophagous, yakni spesies yang hadir untuk memakan pada ketika pertama kali, namun akan menjadi predator pada tahap larva.
  3. Adanya spesies omnivora menyerupai semut, lebah, dan beberapa jenis kumbang yang memakan baik pada bangkai maupun pada koloni serangga yang ada.
  4. Adanya spesies lain menyerupai laba-laba yang memakai bangkai/mayat untuk tempat tinggalnya.

Selama proses dekomposisi pada bangkai binatang atau manusia, bangkai tersebut akan mengeluarkan senyawa kimia yang dilepaskan ke udara yang bisa menarik serangga necrophagous. Sensor kimia serangga necrophagous sangat sensitif pada senyawa kimia tersebut akan tertarik pada sumber anyir tersebut. Senyawa kimia tersebut bersumber dari prosedur autolisis sel-sel yang melibatkan banyak sekali macam enzim pendegradasi sel (Gennard, 2007).

Salah satu pola serangga necrophagous yakni lalat yang masuk ke tubuh insan dengan tujuan untuk bertelur, pada umumnya lalat menentukan dalam lubang tubuh lembab, menyerupai mulut, hidung, atau mata. Setelah beberapa ketika telur menetas, dan larva lalat (belatung) muncul serta memakan pada tubuh tersebut sampai membusuk. Ketika larva telah mencukupi kebutuhan untuk makanannya, maka belatung akan keluar dari tubuh mayit dan mencari tempat untuk membentuk pupa (kepompong). Pada tahap berikutnya dari siklus hidupnya, muncullah generasi berikutnya yang berupa serangga sampaumur (imago) yang muncul dari pupa tersebut yang siap memulai siklus selanjutnya (Gambar 3) (Byrd, 2011; Gaensslen, 2009). 

 Gambar 3. (A) instar III Chrysomya megacephala. (B) overview TKP. (C) mayit korban yang dibakar. (D) larva lalat yang ditemukan di wajah dan kepala (Pai et al., 2007).


Jenis-jenis serangga necrophagous yang sering dijumpai yakni Lalat yang berasal dari famili Calliphoridae, Muscidae, Fanniidae, Sarcophagidae, Piophilidae, Sepsidae, Phoridae, Sphaeroceridae, Heleomyzidae, Stratiomyidae; Kumbang yang mencakup famili Staphylinidae, Histeridae, Silphidae, Cleridae, Trogidae, Dermestidae, Scarabaeidae, Nitidulidae; Tungau; Tawon; Semut; dan Ngengat (Amendt et al., 2004a; Gennard, 2007; Kaneshrajah & Turner, 2004; Oliveira et al., 2011). Diantara jenis-jenis serangga tersebut, terdapat juga serangga yang bertindak sebagai benalu dan predator terhadap serangga necrophagous, kemudian ada juga serangga yang bersifat omnivora (Tabel 1) (Goff, 2003).

Tahapan Dekomposisi
Peristiwa dekomposisi melibatkan banyak sekali aspek selain faktor biotik, yakni faktor abiotik yang mencakup parameter fisik menyerupai temperatur, kelembaban, dan lain-lain. Menurut Gennard (2007) dan Goff (2003), tahapan dekomposisi terdiri dari lima tahap antara lain:

Tahap1: fresh stage, tahapan dimulai pada ketika ajal dan ditandai adanya tanda penggelembungan pada tubuh. Serangga yang pertama kali tiba yakni lalat dari famili Calliphoridae dan Sarcophagidae. Lalat betina akan meletakkan telurnya di kawasan yang terbuka menyerupai kawasan kepala (mata, hidung, mulut, dan telinga).

Tahap 2: bloated stage, merupakan tahapan pembusukan yang sedang dimulai. Gas yang dihasilkan oleh acara metabolisme kuman anaerob mengakibatkan penggelembungan pada pada perut mayat. Selanjutnya suhu internal naik selama tahapan ini sebagai tanggapan dari acara kuman pembusuk dan acara metabolime dari larva lalat. Lalat dari famili Calliphoridae sangat tertarik pada mayit selama tahapan ini. Kemudian selama mengembang tanggapan adanya gas, cairan dalam tubuh terdorong keluar dari lubang-lubang tubuh dan meresap ke dalam tanah. Cairan tersebut tersusun oleh senyawa menyerupai amonia yang dihasilkan oleh acara metabolisme dari larva lalat sehingga akan mengakibatkan tanah di bawah mayit itu untuk menjadi alkali (basa) dan fauna tanah menjadi tertarik untuk menuju ke mayat.

Tahap 3: decay stage, tahapan ini ditandai adanya kerusakan kulit dan menimbulkan gas keluar dari tubuh. Larva lalat membentuk gerombolan yang besar pada mayat. Meskipun beberapa serangga predator, menyerupai kumbang, tawon, dan semut, pada tahap bloated stage, serangga necrophagous dan predator sanggup diamati dalam jumlah besar menjelang tahapan ini berakhir. Pada final tahap ini, lalat dari famili Calliphoridae dan Sarcophagidae telah menuntaskan perkembangan siklusnya dan meninggalkan mayit untuk menjadi pupa. Pada final tahap ini, larva lalat akan menghilang dari jaringan tubuh pada mayat.

Tahap 4: postdecay stage, pada tahap ini sisa-sisa tubuh menyerupai kulit, kartilago dan usus sudah mengalami pembusukan. Selanjutnya sisa jaringan tubuh yang masih ada akan mengering. Indikator pada tahap ini yakni hadirnya kumbang dan berkurangnya dominansi lalat di dalam tubuh mayat.

Tahap 5: skeletal stage, pada tahap ini hanya tersisa tulang belulang dan rambut. Tahapan ini tidak terang serangga apa saja yang hadir. Pada masalah tertentu, kumbang dari famili Nitidulidae terkadang ditemukan. Tubuh mayit sudah mengalami final dari dekomposisi.

Entomotoksikologi
Pada insiden dekomposisi menyerupai yang telah dijelaskan sebelumnya, spesies-spesies yang ada pada mayit beberapa diantaranya menghasilkan senyawa racun yang berasal dari serangga (entomotoksin). Toksin tersebut juga sanggup dipakai untuk mengestismasi waktu ajal (Goff et al., 1994). Berdasarkan adanya racun pada serangga tersebut, maka muncullah kajian entomotoksikologi yang mempelajari sampel toksin yang terdapat pada serangga selama proses dekomposisi dan dipakai untuk mendeteksi adanya obat dan banyak sekali macam toksin pada jaringan tubuh mayit (Introna et al., 2001).

Berdasarkan penelitian Tracqui et al. (2004) telah ditemukan 29 macam senyawa necropsies atau senyawa yang bukan dari tubuh mayit (meliputi benzodiazepines, barbiturates, antidepressants, phenothiazine, opiates, cannabinoids, meprobamate, digoxin dan nefopam). Dalam penelitian tersebut menyatakan ada relasi antara konsentrasi obat pada tubuh insan terhadap larva.

Pada masalah entomotoksikologi tersebut, serangga-serangga yang ditemukan pada mayit sanggup dipakai untuk analisis toksikologi. Namun ada kelemahan kalau memakai analisis ini untuk menghitung interval postmortem kalau salah dalam menghitung tahapan perkembangan serangga. Sehingga alternatifnya yakni mengkaji imbas biomakumulasi obat dan metabolismenya pada serangga necrophagous dan efeknya terhadap laju perkembangannya (Amendt et al., 2004a).

Estimasi Waktu Kematian
Ahli entomologi forensik sering mengusut bukti serangga pada mayit insan dan menetukan berapa usang serangga tersebut berada di mayat. Periode waktu tersebut di interpretasikan dalam postmortem interval (PMI) atau waktu semenjak kematian. Analsis PMI terbagi menjadi dua, yakni precolonization interval (pre-CI) dan postcolonization interval (post-CI). Adapun klarifikasi masing-masing interval tertera pada Gambar 4 (Tomberlin et al., 2011).

Gambar 4.  Fase entomologikal pada proses dekomposisi vertebrata (Tomberlin et al., 2011).


Pada Gambar 4 tersebut menggambarkan periode kolonisasi dan acara serangga pada mayat. Adapun perubahan-perubahan pada mayit insan sehabis mengalami ajal disajikan pada Tabel 1. Pola-pola peruabahan pada Tabel 1 sanggup dipakai untuk mengetahui estimasi waktu ajal pada manusia. Selain itu, untuk waktu ajal menurut perkembangan serangga disajikan pada Gambar 5. Contoh pada Gambar 5 tersebut yakni menentukan waktu ajal menurut siklus hidup serangga Protophormia terraenovae.

Tabel 1. Perubahan postmortem pada tubuh insan (pada suhu 21oC dan kelembaban 30%) (Amendt et al., 2004a).



 Gambar 5. Kurva pertumbuhan Protophormia terraenovae mulai dari larva, pupa, dan sampaumur (adult) pada suhu 15, 20, 25, 30 and 35 oC (Amendt et al., 2004a).


Untuk mengukur waktu ajal sanggup dipakai suhu yang diperlukan oleh serangga untuk hidup. Serangga merupakan binatang poikilotermik atau binatang yang suhu tubuh dan acara metabolismenya dipengaruhi oleh lingkungan. Serangga memakai energi panas (thermal unit) untuk pertumbuhan dan perkembangnya. Sehingga kebutuhan energi selama masa hidupnya sanggup dikalkulasi. Thermal unit disebut juga hari derajat (degree days – oD ) yang mana nilai oD sanggup ditambahkan bersamaan yang akan menghasilkan nilai accumulated degree days (ADD). Jika periode thermal unit pendek maka bisa dipakai accumulated degree hours (ADH). Dari insiden tersebut, maka waktu ajal dpat dihitung dengan memakai rumus:

ADH= Waktu(hours) × (temperatur− temperatur basal)
ADD= Waktu(days) × (temperatur− temperatur basal)

Waktu yang dipakai yakni waktu tahapan perkembangan serangga yang sanggup diketahui dari literatur yang sudah ada. Sementara temperatur yang dipakai yakni temperatur lingkungan yang bisa diperoleh melalui stasium tubuh meteorologi. Sementara temperatur basal yakni temperatur fisiologi terendah yang setiap serangga mempunyai nilai temperatur yang berbeda-beda (Tabel 2).

Tabel 2. Nilai temperatur basal (Gennard, 2007).

Sebagai pola ditemukan larva instar III dari spesies Calliphora vicina yang periode waktunya selama 68 jam. Kemudian suhu lingkungan yakni 26,7 oC dan tempertur basalnya yakni 2 oC. Sehingga akan diperoleh nilai:
ADH = 68 × (26,7 – 2) = 1679,6
ADD = 1679,6/24 = 7
Dari perhitungan tersebut sanggup diperkirakan waktu kematiannya yakni 7 hari (Gennard, 2007).