Idiologi Komunisme Dan Sejarah Pki Di Indonesia

Pembahasan kali ini akan membahas perihal idiolologi komunisme,  sejarah pki di Indonesia, 30 s pki, konflik di Indonesia, Politik di Indonesia, kasusu politik di Indonesia, sejarah pki, Lahirnya pki di dindonesia, sejarah g 30 s pki dan sejarah  PKI di Indonesia.

Konflik Politik tahun 1960


Dampak Hubungan Pusat-Daerah

Konflik yang terjadi di pemerintahan sentra pun berdampak ke daerah. Upaya Nasution untuk membersihkan pemerintahan sesuai undang-undang darurat, mengakibatkan banyak pejabat yang lari ke daerah.

Banyak anggota kabinet yang menjalin hubungan dengan dewan-dewan militer di daerah.
Pembahasan kali ini akan membahas perihal idiolologi komunisme Idiologi Komunisme dan Sejarah PKI di Indonesia
Komunis

1. Pembentukan Dewan-Dewan Daerah

Ketidakpuasan tempat pada pemerintah sentra melatarbelakangi pembentukan dewandewan daerah. Kolonel Achmad Husein membentuk Dewan Banteng di Padang, Sumatra Barat tanggal 20 Desember 1956.

Kolonel Mauludin Simbolon membentuk Dewan Gajah di Medan tanggal 22 Desember 1956. Kolonel Ventje Sumual membentuk Dewan Manguni di Manado tanggal 18 Februari 1957.

Beberapa pejabat militer di tempat yang tidak oke dengan kebijakan pemerintah sentra mengadakan gerakan. Kolonel Simbolon, Kolonel Sumual, dan Kolonel Lubis bertemu dengan PM Ali Sastroamidjojo dan Bung Hatta.

Tuntutannya yaitu dilaksanakannya pemilu, diberlakukannya otonomi, PKI dilarang, dan digantikannya Nasution.

Di tengah perundingan antara pemerintah sentra dengan dewan-dewan tersebut, terjadi pengambilalihan pemerintahan di daerah. Ketegangan pun muncul. Para panglima tempat tersebut lalu dipecat dari dinas militer.

2. Nasionalisasi Aset Belanda

Kegagalan PBB memaksa Belanda untuk menuntaskan masalah Irian Barat meningkatkan ketegangan politik.

 Anggotaanggota PKI dan PNI serta rakyat di banyak sekali tempat mengambil alih aset Belanda. Kabinet Djuanda tidak bisa menuntaskan masalah tersebut.

Gerakan rakyat di banyak sekali tempat semakin tidak terkendali. Nasution lalu tampil dan memerintahkan tentara untuk mengelola perusahaan Belanda yang disita.

Nasution perlahan-lahan mengendalikan panglima-panglima tempat dan Tentara Nasional Indonesia AD semakin diperhitungkan.

Persaingan Ideologis

Dominannya PKI dalam kehidupan politik nasional menerima reaksi dari partai dan organisasi lainnya. Ideologi komunisme yang dikembangkan PKI bertentangan dengan kepercayaan bangsa Indonesia.

Pada bulan September 1957 Masyumi memelopori Muktamar Ulama se- Indonesia di Palembang. Muktamar mengeluarkan anutan bahwa komunisme diharamkan bagi kaum muslim.

Muktamar juga meminta biar kegiatan PKI dibekukan dan dihentikan di seluruh Indonesia. Perdebatan Islam dan PKI pun merembet dalam persidangan konstituante.

Perdebatan terjadi antara pihak yang mendukung Islam dan Pancasila sebagai dasar negara. Macetnya konstituante mengakibatkan krisis pemerintahan dan ketatanegaraan.

Dengan didukung TNI, Bung Karno lalu mengeluarkan dekrit yang memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945. Dekrit ini selanjutnya dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Pergolakan Sosial Politik

Pada masa demokrasi terpimpin Bung Karno menggalang kekuatan dengan negara-negara sosialis dan komunis.

Dampak kebijakan ini yaitu terbukanya kesempatan bagi PKI untuk memperkuat basis dukungan. Administrasi pemerintahan pun menjadi tidak terkendali.

Pemerintah kurang memperhatikan aspirasi tempat dan para bekas pejuang. Terjadilah kesenjangan antara pemerintah sentra dan daerah.

Di kalangan Tentara Nasional Indonesia sendiri sering terjadi perpecahan. Sementara itu, beberapa negara luar juga turut campur tangan dalam persoalan Indonesia. Akumulasi dari kondisi tersebut menjadikan munculnya pergolakan di banyak sekali daerah.

1) Piagam Perjoangan Rakyat Semesta

Pada tanggal 2 Maret 1957 Panglima Tentara Teritorium VII Makassar Letkol Ventje Sumual mengumumkan darurat perang di daerahnya. Dengan pengumuman itu maka Sumual berwenang mengambil alih seluruh kekuasaan di Indonesia belahan timur.

Letkol Ventje Sumual lalu memproklamasikan Piagam Perjoangan Rakyat Semesta (Permesta). Piagam Permesta tersebut ditandatangani oleh 51 tokoh masyarakat di Indonesia belahan timur. Peristiwa tersebut benar-benar mengancam persatuan Indonesia.

Amerika Serikat terlibat dalam gerakan ini. Salah satu pilotnya (A.L. Pope) tertembak di Ambon. Kabinet Ali Sastroamidjojo gagal mengatasinya dan tanggal 14 Maret 1957 mengembalikan mandatnya.

Presiden Soekarno lalu membentuk Kabinet Karya dengan Perdana Menteri Ir. Djuanda.

2) Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia

Pada awal tahun 1958 terjadi pertemuan antara beberapa tokoh militer dan sipil di Sumatra. Kolonel Simbolon, Kolonel Lubis, dan kawan-kawan bertemu dengan Moh. Natsir, Sjafrudin Prawiranegara, Sumitro Djojohadikusumo, dan lain-lain.

Hasil pertemuan tanggal 10 Februari 1958 berupa beberapa ultimatum yaitu Kabinet Djuanda dibubarkan, Hatta dan Hamengkubuwono IX ditunjuk membentuk kabinet hingga dilaksanakan pemilu, dan Bung Karno harus kembali ke posisi konstitusionalnya.

Ultimatum tersebut ditolak oleh pemerintah. Kolonel Lubis, Kolonel Simbolon, Kolonel Acmad Husein, dan lain-lain dipecat dari dinas militer. Tanggal 15 Februari 1958 dibentuklah Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Perdana Menteri PRRI yaitu Mr. Sjafrudin Prawiranegara. Anggota kabinetnya antara lain Moh. Natsir, Burhanuddin Harahap, Sumitro Djojohadikusumo, dan Simbolon.

PRRI juga didukung oleh Kolonel D.J. Somba di Sulawesi Utara tanggal 17 Februari 1959. Itulah beberapa pergolakan yang terjadi hingga awal tahun 1960-an. Upaya pemerintah untuk menghadapi pergolakan ini dengan diplomasi dan operasi militer.

Pemerintah menggelar musyawarah nasional antara tokoh sentra dan tempat tanggal 14 September 1957. Gerakan Permesta dihadapi dengan Operasi Sapta Marga. PRRI dihadapi dengan menggelar Operasi 17 Agustus.