Resensi Novel “Tunjung Biru” Dan Pola Kutipannya


Tentunya kalian pernah mendengarkan atau membaca novel yang kalian sukai, bukan? Tentu kalian juga telah sanggup menjelaskan tokoh dan penokohan yang terdapat dalam sebuah penggalan novel Lalu, bagaimana menjelaskan alur dalam novel tersebut?

Dalam pelajaran ini, kalian akan memilih alur yang terdapat dalam sinopsis novelAlur adalah jalinan bencana atau rangkaian bencana yang terjalin secara berurutan dengan memerhatikan keterpaduan dan kebulatan cerita. Alur disebut juga plot.

Resensi Novel Tunjung Biru

Judul buku : Tunjung Biru
Penulis       : Arti Purbani
Penerbit     : Balai Pustaka, Jakarta
Tahun        : cetakan ke-2 tahun 1993
Halaman    : 95 Hlm.
ISBN         : 979-407-592-2
Resensi Novel Tunjung Biru
Novel ini menceritakan wacana sekelumit kisah keluarga, persaudaraan dan usaha cinta yang ditulis dengan alur dan bahasa yang sederhana. Novel yang dilatar belakangi kerajaan masa lampau ini lebih menonjolkan kehidupan para keluarga kerajaan dan kaum darah biru yang masih memperhatikan kelas sosial, dan dipengaruhi unsur Adat istiadat serta penuh dengan ragam Budaya yang mempesona.

Novel ini mengisahkan wacana Munarsi, adik raja Mayanegara yang harus bersedih hati lantaran ditinggal mati oleh tunangannya. Dan pada hasilnya beliau bertemu dengan Indra, seorang perjaka biasa yang eksklusif jatuh cinta saat pertama kali melihat sosok Munarsi. Pemuda yang arif berpuitis dan memberi Munarsi dengan sebutan bagus yaitu, Tunjung Biru, yang menjadi judul novel ini. 

Namun perjalanan cinta Indra masih butuh pengorbanan dikarenakan status keturunan dan status sosialnya. Kemudian ada juga kisah Maulana, seorang dokter lulusan luar negeri yang terus berjuang menantikan balasan atas lamarannya kepada Asmara Dewi, putri dari raja Mayanegara yang terus menggantung cintanya kepada Maulana hanya dikarenakan adanya perbedaan bahasa dalam keseharian masing-masing. Kemudian ada juga kisah cinta Narendra, putra dari Raja Mayanegara, dimana tak ada satupun perempuan yang tidak tertarik begitu melihat ketampanannya apalagi kemampanannya sebagai pangeran kerajaan kecuali Amirati, perempuan yang dicintai oleh Narendra. Dan dikarenakan cintanya yang tak terbalaskan, menciptakan Narendra mengalami sakit keras selama berminggu-minggu.

Berbagai kisah yang dibangun dalam novel ini patut untuk dibaca lantaran tidak hanya menghadirkan dilema antar tokoh saja tetapi lebih dari itu ikut memaparkan suasana kerajaan, etika tata cara perkawinan para darah biru dan aneka macam seni pertunjukan yang digambarkan secara terperinci tanpa melupakan alur ceritanya sendiri. Jadi, novel ini bukan hanya menunjukkan hiburan bacaan semata tetapi juga ikut meperkenalkan kita kepada khasanah budaya bangsa kita pada masa lampau.

Resensor: Ahmad Indra Sakti (www.caratrikterbaru.blogspot.co.id)

Contoh Kutipan Novel Tunjung Biru

Tunjung Biru

Oleh: Atik Purbani; Ratih

Sang raja membaringkan Narendra dalam salah satu dari dua kamar bersebelahan dengan kamar pengantin, yaitu tempat dari pecahan istana yang suci yang jarang dikunjungi orang. Asmara tidak berpisah dari ranjang sakit. Salah seorang bau tanah membisikkan di indera pendengaran Asmara, “Apakah kakakmu barangkali menggunakan baju hijau saat berada di kawasan Nyai Roro Kidul? Itu warna terlarang.” Anggota keluarga lain bertanya, “Apakah sang abang barangkali melanggar suatu peraturan?”

Ada pula yang menasehati, “Serahkan pada ayahanda semoga mengadakan selamatan, lalu membawanya ke tempat kakanda berdiam dulu.” “Maksudnya di rumah kecil dari papan itu?” “Ya,” demikian jawabnya.

Semua usaha dilaksanakan, tetapi demam itu tak mau turun juga. Narendra terus mengacau; ada kalanya Asmara mendengar kakaknya menyebut-nyebut nama Ratih. “Siapa gerangan Ratih itu?” Asmara bertanya pada dirinya. Setelah mendengar nama itu beberapa kali, Asmara memberikan hal itu kepada ayahandanya.

Sang Raja minta supaya Asmara menulis surat kepada Munarsi dan kepada kemenakannya, Bupati Danduro. Dalam kedua surat itu ditanyakan apakah mereka mengenali seorang gadis berjulukan Ratih, lantaran Narendra pernah mengunjungi keduanya. Namun, jawabannya ialah bahwa mereka tidak tahu siapa Ratih.

“O, putraku yang tunggal, apa yang harus kuperbuat,” Raja Mayanegara mengeluh dengan putus asa. Berhari-hari lamanya sang Raja memikirkan apa yang harus diperbuatnya.

Kemudian dipanggilnya adiknya, Pangeran Purwaningrat, dan dimintanya nasehatnya. Pangeran Purwaningrat mendengarkan ucapan kakaknya yang frustasi itu dengan penuh perhatian. Lama ia berdiam diri, lalu katanya, “Barangkali Kakanda sanggup minta semoga Bupati Cokronoto dan keluarganya tiba berkunjung lantaran Asmara sendirian. Tetapi jangan ceritakan bahwa Narendra sakit.” Tiba-tiba sang Raja teringat akan dongeng Narendra wacana putri Danduro yang amat kaku kepadanya. “Tetapi namanya bukan Ratih,” sang Raja berguman dalam dirinya.

Dokter ketiga mengunjungi Narendra secara teratur. Berkat obat-obatnya dan istirahat, Narendra mulai sembuh, meskipun berlangsung setapak demi setapak. Sementara itu Bupati Cokronoto mendapatkan seruan pamannya, sang Raja. Ia berangkat bersama istrinya dan Amirati, lantaran anak-anaknya yang lain tidak sedang berlibur. Waktu ia tiba, Asmara menyambutnya dengan ramah sambil berkata, “Alangkah baiknya kamu datang, Amirati. Tinggallah lebih usang di sini, saya merasa begitu kesepian tanpa Bibi Munarsi.”

Agar Asmara sanggup menemani Amirati dan gadis itu merasa betah di istana, maka sang Raja menugaskan dua orang perawat yang baik untuk merawat Narendra. Sang Raja eksklusif menanyai kemenakan dan istrinya wacana nama Ratih. Tetapi keduanya tidak tahu siapakah Ratih itu.

Asmara memerhatikan bahwa Amirati adakalanya dengan gugup melihat sekeliling. Ketika hal itu berulang kali terjadi, Asmara menanyakan sebabnya, “Ah, tidak, tidak apaapa,” jawab gadis itu mengelak.

Seminggu lalu Bupati Cokronoto dan istrinya kembali ke Danduro. Asmara besar hati sekali mendengar bahwa Amirati mau menemaninya. Ketika pada suatu hari Amirati dengan gugup memandang sekelilingnya, Asmara tidak sanggup menahan dirinya. “Mengapa kamu terus melihat sekelilingmu, Mirati? Apakah mencari Narendra? Dia tidak di sini, Mirati, jangan khawatir beliau tidak akan mengganggu kita.

“Amirati usang memandang bibinya tetapi tidak berkata suatu patah kata pun. “Mari kita berdayung-dayung di kebun dan memetik-metik bunga mawar. Lalu siang ini kita makan di rumah dari kaca, setuju?” Amirati menyatakan, “Ya, itu menarik sekali.” “Dan Mirati, maukah kamu membantu saya memasak besok?”

Asmara berkata pula, “Romo tela memerintahkan Mbok Projo semoga mengajariku masak-memasak. Masakannya lalu dicicipi oleh ayahanda. Beberapa hari kemudian, Mbok Pranolo akan mengajarku membatik pula. Sudah sehelai kain yang siap dengan teladan yang sederhana. Setelah itu, tiba Mbok Sastro untuk mengajar saya tembang Jawa. Pada kesempatan itu beliau juga menceritakan cerita-cerita dan dongengdongeng warisan nenek moyang.”

“Menarik sekali, Bibi, mudah-mudahan saya sanggup memahaminya.” “Dan harapanku, semoga kamu kerasan di sini, Mirati,” jawab Asmara. “Kalau saya kurang dalam sopan santun, Bibi, tolong beritahukan. Saya belum pernah ke luar rumah, dan belum pernah dibesarkan di dalam istana.”

“Mirati, kamu cukup bersantun dan tahu tata cara, lagi kamu berkepribadian ramah.” “Semoga demikianlah sesungguhnya, Bibi,” kata Amirati merendah. Asmara bahagia memiliki teman, sedang Amirati berusaha untuk mengikuti semua pelajaran bersama Asmara. Ia mulai merasa kerasan di dalam istana.

Sementara itu Narendra sudah mulai pulih kesehatannya, meskipun masih tetap pendiam dan pelamun. Dokter mengizinkan Narendra mendapatkan tamu. Mendengar hal itu Asmara besar hati sekali dan berkata kepada kemenakannya, “Ketahuilah, Mirati, bahwa Mas Narendra gres sembuh dari sakit parah! Demamnya tinggi dan ia terus-menerus meracau. Sudah tiga orang dokter memeriksanya dan menyatakan pendapat mereka. Yang pertama berkata, disebabkan kelelahan. Yang kedua mengira ia sakit tipus, dan berdasarkan yang ketiga ia harus beristirahat benar-benar dan dilarang mendapatkan tamu. Selama sebulan ia bersama Paman Purwaningrat dan para pengiring tinggal di Laut Selatan, dan mengembara dari desa yang satu ke desa yang lain.”

“Jadi ia pergi ke kawasan Nyai Roro Kidul?” Amirati bertanya, “Ya, dan para orang bau tanah eksklusif berkata, ‘Ia niscaya menggunakan sesuatu yang berwarna hijau. Itu sebabnya Sang Dewi Laut menjadi marah’. Ada pula yang mengatakan, ‘Ia niscaya menginjak tempat yang terlarang” …

“Di mana beliau sekarang?” tanya Amirati tiba-tiba. Asmara bahagia sekali bahwa keponakannya menanyakan Narendra. “Dia kini tinggal di salah satu kamar dari dua kamar di pecahan dalem lantaran dilarang dikunjungi orang. Tetapi berdasarkan Romo, hari ini dokter mengizinkan ia mendapatkan tamu. Apakah kini kita berdua akan ke sana?”

Amirati memandang bibinya sambil berpikir. Asmara menarik gadis itu masuk ke dalem. Sampai ke pintu ia berkata, “Narendra terus meracau dan menyebut-nyebut nama Ratih. Barangkali kamu tahu siapa dia?”

Mendengar nama itu, Amirati menangis tersedu-sedu dan hendak lari dari tempat itu. Tetapi Asmara menghalang-halanginya dan mendorongnya eksklusif masuk ke kamar sambil menutup pintu. Supaya Narendra jangan kaget, ia telah mengutus seorang untuk memberitahukan kedatangannya sebelumnya. Asmara mendekati ranjang kakaknya dan berkata, “Kangmas, saya punya tamu.

Bolehkah ia tiba menemui kakanda?” “Siapa tamu itu?” “Saya jemput sebentar.” Amirati dengan wajahnya bekas menangis melawan. Tetapi Asmara membina tangan Amirati ke tempat tidur Narendra. Narendra tiba-tiba duduk tegak sambil berseru, “Ratih, kamu tiba dari langit untuk menengokku? Setelah kamu di sini, kamu tetap akan tinggal, bukan?”

Narendra memegang tangan Amirati dan berkata kepada Asmara, “Tahukah kamu siapa Ratih, Asmara? Ia istri Dewa Cinta Kumajaya. Istrinya berjulukan Kumoratih, dan Mirati kusebut Ratih.”

“Kini teka-teki telah diketahui jawabnya. Dan Kakanda rupanya menganggap dirinya tuhan asmara?” Asmara mengusik. “Ya, begitulah kiranya, adikku sayang. ”Lama mereka memperbincangkan bertiga pengalaman mereka masing-masing di kamar itu.

Sang Raja lega melihat perkembangan itu. Ia masuk ke dalam kamar mereka dan berkata kepada Amirati sambil menengadahkan wajahnya yang berbekas tangis, “Inilah calon menantuku …”

(Dari: Tunjung Biru, Balai Pustaka, Jakarta, 1995:80-85)