Dasar Aturan Perkawinan

SUDUT HUKUM | Dasar-dasar aturan perkawinan terdapat di dalam Pasal 28 B ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.” Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam Pembukaan UUD 1945 Pasal 28 B ayat (1) UUD 1945 sanggup diketahui bahwa tujuan dan harapan negara Indonesia yaitu untuk memajukan kesejahteraaan rakyatnya dengan menunjukkan hak kepada setiap rakyatnya untuk mempertahankan kehidupannya yang berarti memiliki hak untuk melanjutkan keturunan, dan setiap orang memiliki hak untuk membentuk sebuah keluarga dan hal tersebut merupakan hak asasi insan yang tidak sanggup dikurangi. 

Dasar hukum perkawinan juga terdapat di dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 perihal Perkawinan diatur pada Bab I perihal Dasar Perkawinan yang terdiri dari 5 Pasal, yaitu dari Pasal 1 hingga dengan Pasal 5. Di dalam Pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 perihal Perkawinan mengenai perngertian perkawinan yang menyebutkan bahwa :
Ikatan lahir bathin seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang senang dan abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 perihal Perkawinan mengenai syarat sahnya suatu perkawinan yang menyebutkan bahwa: 
Perkawinan yaitu sah, apabila dilakukan berdasarkan hukum masing-masing agamanya dan kepercayannya itu”
Selain di dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 perihal Perkawinan, dasar aturan perkawinan juga terdapat di dalam Pasal 2 hingga dengan Pasal 10 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan 
Perkawinan berdasarkan aturan Islam yaitu pernikahan, yaitu janji yang sangat berpengaruh atau mitsaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.”
Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan tujuan dari perkawinan, yang berbunyi 
Perkawinan bertujuan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan wa rahmah.” 
Dan di dalam Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan 
Perkawinan yaitu sah, apabila dilakukan berdasarkan aturan Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 perihal Perkawinan.”
Perkawinan yang sah berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam yaitu perkawinan yang dalam pelaksanannya sesuai dengan hukum agamanya masing-masing, yang berarti di dalam Islam yaitu yang memenuhi segala rukun dan syarat dalam perkawinan. Kemudian tujuan dari perkawinan itu sendiri yaitu untuk membentuk suatu rumah tangga yang sakidah (tenang/tentram), Mawaddah (cinta/harapan), dan Rahmah (kasih sayang).

Perkawinan atau ijab kabul itu yaitu sunnatullah artinya perintah Allah SWT dan Rasulnya, tidak hanya semata-mata keinginan insan atau hawa nafsunya saja sebab seseorang yang telah berumah tangga berarti ia telah mengerjakan sebagian dari syariat (aturan) Agama Islam. Perkawinan dalam Islam sebagai landasan pokok dalam pembentukan keluarga. Perkawinan harus dilakukan insan untuk mencapai tujuan syari’at yakni kemaslahatan dalam kehidupan.

Di dalam aturan Islam, dasar-dasar mengenai perkawinan sanggup kita lihat di dalam Al-Quran dan Hadist. Didalam Al-Quran, dasar-dasar perkawinan diantaranya sebagai berikut :
Surat Ar-Rum ayat 21, disebutkan bahwa :
Dari sebagian gejala kekuasaan Allah, yaitu bahwa ia telah membuat untukmu istri-istri dan jenismu sendiri, supaya kau cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat gejala bagi kaum yang yang berfikir.”
Surat An-Nuur ayat 32, disebutkan bahwa :
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu,dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas pemebrian-Nya lagi Maha Mengetahui.”
Selain dari Al-Quran, dasar-dasar mengenai perkawinan terdapat juga di dalam Al-Hadits, diantaranya sebagai berikut:

H.R Bukhari dan Muslim menyebutkan :
Wahai para pemuda, barang siapa diantara kau sekalian yang bisa kawin, kawinlah. Maka bergotong-royong kawin itu lebih memejamkan mata (menenangkan pandangan) dan lebih memelihara farji. Barang siapa yang belum berpengaruh kawin (sedangkan sudah menginginkannya), berpuasalah sebab puasa itu sanggup melemahkan syahwat”
H.R Al-Baihaqi dari sa’ied bin Hilal Allaisyi, menyebutkan bahwa 
Berkawinlah kau sekalian semoga menjadi banyak, sebab saya akan membanggakan kau sekalian besok dihari kemudian terhadap umat yang terdahulu”.
Dari ayat dan hadits tersebut sanggup diambil kesimpulan bahwa perkawinan yaitu perintah dari Allah dan Rasulnya, sebab perkawinan merupakan sesuatu yang dasarnya suci dan mulia pada sisi Allah maupun pada sisi manusia. Dengan melihat kepada hakikat perkawinan itu merupakan janji yang memperbolehkan laki-laki dan perempuan melaksanakan sesuatu yang sebelumnya tidak dibolehkan. Dengan demikian sanggup dikatakan bahwa dikala janji perkawinan telah berlangsung, maka pergaulan laki-laki dengan perempuan menjadi diperbolehkan.