Pembatalan Perkawinan

SUDUT HUKUM | Pada dasarnya suatu perkawinan dikatakan batal (dibatalkan ) apabila para pihak perkawinan itu tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan, tetapi perkawinan tersebut telah dilaksanakan. Ketentuan mengenai peniadaan perkawinan disebutkan dari Pasal 22 hingga dengan Pasal 28 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 ihwal Perkawinan. Yang mana pada Pasal 22 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 ihwal Perkawinan menyebutkan “Perkawinan sanggup dibatalkan , apabila para pihak tidak memenuhi , syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.” Pasal tersebut menjelaskan bahwa perkawinan sanggup dibatalkan apabila calon suami ataupun isteri tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan yang disebutkan dari Pasal 6 hingga dengan Pasal 12 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 ihwal Perkawinan.

Pihak yang sanggup mengajukan peniadaan perkawinan berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 ihwal Perkawinan yaitu :
  • Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri
  • Suami atau isteri
  • Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan
  • Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-Undang ini dan setiap orang yang memiliki kepentingan hukum secara pribadi terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya sesudah perkawinan itu diputus.

Ketentuan mengenai peniadaan perkawinan juga terdapat dari Pasal 70 hingga dengan Pasal 76 Kompilasi Hukum Islam. Yang mana Pasal 70 menyebutkan bahwa perkawinan sanggup dibatalkan apabila:
  • Suami melaksanakan perkawinan, sedang ia tidak berhak melaksanakan ijab kabul alasannya ialah sudah memiliki empat orang isteri sekalipun salah satu dari keempat isterinya dalam iddah talak raj`i
  • Seseorang menikah bekas isterinya yang telah dili`annya
  • Seseorang menikah bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali kalau bekas isteri tersebut pernah menikah dengan laki-laki lain lalu bercerai lagi ba`da al dukhul dan priatersebut dan telah habis masa iddahnya
  • Perkawinan dilakukan antara dua orang yang memiliki kekerabatan darah; semenda dan sesusuan hingga derajat tertentu yang menghalangi perkawinan berdasarkan pasal 8 Undang-Undang No.1 Tahun 1974, yaitu :

  1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau ke atas
  2. berhubugan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang renta dan antara seorang dengan saudara neneknya
  3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri
  4. berhubungan sesusuan, yaitu orng renta sesusuan, anak sesusuan dan bibi atau paman sesusuan

  • Isteri ialah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dan isteri atau isteri-isterinya Pada Pasal 70 Kompilasi Hukum Islam tersebut menjelaskan bahwa perkawinan akan batal apabila para pihak melaksanakan perkawinan yang tidak boleh oleh Pasal ini.

Di dalam Pasal 71 menyebutkan bahwa suatu perkawinan sanggup dibatalkan apabila:
  • Seorang suami melaksanakan poligami tanpa izin Pengadilan Agama
  • Perempuan yang dikawini ternyata lalu diketahui masih menjadi isteri laki-laki lain yang mafqud
  • Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dan suami lain
  • Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang-undang No.1. tahun 1974
  • Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak
  • Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan

Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam tersebut menjelaskan perkawinan sanggup dibatalkan apabila para pihak tersebut melaksanakan perbuatan yang tidak boleh oleh Pasal ini. Di antara nya melaksanakan pelaksanaan perkawinan dengan paksaan, alasannya ialah sebuah perkawinan harus didasarkan pada kesukarelaan dan persetujuan kedua calon mempelai dengan tujuan membentuk perkawinan yang tenteram, damai, dan selama-lamanya.

Di dalam Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa yang sanggup mengajukan permohonan peniadaan ialah :
  • Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri
  • Suami atau isteri
  • Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan berdasarkan Undang-Undang
  • Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat
  • Perkawinan berdasarkan aturan Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67

Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam tersebut menjelaskan bahwa para pihak yang memiliki hak dalam mengajukan peniadaan perkawinan. Perkawinan bukan hanya menyatukan calon suami dan isteri namun menyatukan keluarga dari kedua belah pihak. Yang sanggup mengajukan peniadaan perkawinan bukan hanya calon suami isteri namun keluarga yang dari kedua belah pihak juga berhak dalam pengajuan pembatlan perkawinan.