Pengertian Penjatuhan Pidana

SUDUT HUKUM | Penggunaan istilah pidana itu sendiri diartikan sebagai hukuman pidana. Untuk pengertian yang sama, sering juga dipakai istilah-istilah yang lain, yaitu hukuman, penghukuman, pemidanaan, penjatuhan pidana, derma pidana, dan eksekusi pidana. Sudarto menawarkan pengertian pidana sebagai penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melaksanakan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Sedangkan Roeslan Saleh mengartikan pidana sebagai reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan Negara pada pelaku delik itu.

Pidana mengandung unsur-unsur dan ciri-ciri, yaitu:
  1. Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan dan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
  2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau tubuh yang memiliki kekuasaan (oleh yang berwenang).
  3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melaksanakan tindak pidana berdasarkan undang-undang.
  4. Pidana itu merupakan pernyataan pencelaan oleh negara atas diri seseorang dikarenakan telah melanggar hukum.

Dari pengertian diatas sanggup diketahui bahwa penjatuhan pidana yaitu suatu penderitaan atau nestapa yang diberikan kepada orang yang melanggar suatu perbuatan yang tidak boleh dan dirumuskan oleh Undang-undang.

Penjatuhan pidana juga bekerjasama dengan stelsel pidana, stelsel pidana merupakan pecahan dari aturan penitensier yang berisi wacana jenis pidana, batas-batas penjatuhan pidana, cara penjatuhan pidana, cara dan dimana menjalankanya, begitu juga mengenai pengurangan, penambahan, dan pengecualian penjatuhan pidana.

Stelsel pidana Indonesia intinya diatur dalam Buku I kitab undang-undang hukum pidana dalam pecahan 2 dari pasal 10 hingga pasal 43, yang lalu juga diatur lebih jauh mengenai hal-hal tertentu dalam beberapa peraturan, yaitu:
  1. Reglemen Penjara (Stb 1917 No. 708) yang telah diubah dengan LN 1948 No. 77)
  2. Ordonasi Pelepasan Bersyarat (Stb 1917 No. 749)
  3. Reglemen Pendidikan Paksaan (Stb 1917 No. 741)
  4. UU No. 20 Tahun 1946 Tentang Pidana Tutupan.

KUHP sebagai induk atau sumber utama hukum pidana telah merinci jenis-jenis pidana, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 10 KUHP. Menurut stelsel KUHP, pidana dibedakan menjadi dua kelompok, anatara pidana pokok dengan pidana tambahan.

Pidana Pokok terdiri dari :
  1. Pidana mati
  2. Pidana penjara
  3. Pidana kurungan
  4. Pidana denda
  5. Pidana tutupan

Pidana Tambahan terdiri dari :
  1. Pidana Pencabutan hak-hak tertentu.
  2. Pidana perampasan barang-barang tertentu.
  3. Pidana pengumuman keputusan hakim.

Stelsel pidana Indonesia berdasarkan kitab undang-undang hukum pidana mengelompokan jenis-jenis pidana kedalam Pidana Pokok dan Pidana tambahan. Adapun perbedaan antara jenis-jenis pidana pokok dengan jenis-jenis pidana aksesori yaitu sebagai berikut:
  1. Penjatuhan salah satu jenis pidana pokok bersifat keharusan (imperatif), sedangkan penjatuhan pidana aksesori sifatnya fakultatif.
  2. Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus dengan demikian menjatuhkan jenis pidana aksesori (berdiri sendiri), tetapi menjatuhkan jenis pidana aksesori tidak boleh tanpa dengan menjatuhkan jenis pidana pokok.
  3. Jenis pidana pokok yang dijatuhkan, jikalau telah memiliki kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde zaak) dibutuhkan suatu tindakan pelaksanaan (executie).

Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana, yaitu:

Teori Absolut

Dasar pijakan dari teori ini ialah pembalasan. Inilah dasar pembenar dari penjatuhan penderitaan berupa pidana itu pada penjahat. Negara berhak menjatuhkan pidana sebab penjahat tersebut telah melaksanakan penyerangan dan perkosaan pada hak dan kepentingan aturan (pribadi, masyarakat atau negara) yang telah dilindungi. Penjatuhan pidana yang intinya penderitaan pada penjahat dibenarkan sebab penjahat telah membuat penderitaan bagi orang lain.

Teori ini bertujuan untuk memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau menjadi korban. Pendekatan teori adikara meletakan gagasanya wacana hak untuk menjatuhkan pidana yang keras, dengan alasan sebab seseorang bertanggung jawab atas perbuatanya, sudah seharusnya beliau mendapatkan hukuman yang dijatuhkan kepadanya. Menurut Johannes Andenaes tujuan dari pidana berdasarkan teori adikara ialah untuk memuaskan tuntutan keadilan (to satisfy the claims of justice), sedangkan pengaruh-pengaruhnya yang menguntungkan yaitu sekunder.

Sementara itu, Karl O. Christiansen mengidentifikasi lima ciri pokok dari teori absolut, yaitu:
  • Tujuan pidana hanyalah sebagai pembalasan.
  • Pembalasan yaitu tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana untuk tujuan lain menyerupai kesejahteraan masyarakat.
  • Kesalahan sopan santun sebagai satu-satunya syarat pemidanaan.
  • Pidana harus diubahsuaikan dengan kesalahan si pelaku.
  • Pidana melihat kebelakang, ia sebagai pencelaan yang murni dan bertujuan tidak untuk memperbaiki, mendidik dan meresosialisasi si pelaku.

Dalam kaitanya pertanyaan sejauh mana pidana perlu diberikan kepada pelaku kejahatan, teori adikara menjelaskan sebagai berikut:
  1. Dengan pidana tersebut akan memuaskan perasaan balas dendam si korban, baik perasaan adil bagi dirinya, temanya dan keluarganya serta masyarakat. Perasaan tersebut tidak sanggup dihindarai dan tidak sanggup dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum. Tipe ini disebut vindicative.
  2. Pidana dimaksudkan untuk menawarkan peringatan pada pelaku kejahatan dan anggota masyarakat yang lain bahwa setiap bahaya yang merugikan orang lain atau memperoleh laba dari orang lain secara tidak wajar, akan mendapatkan ganjaranya. Tipe ini disebut fairness.
  3. Pidana dimaksudkan untuk menerangkan adanya kesebandingan antara apa yang disebut dengan the gravity of the offence dengan pidana yang dijatuhkan. Tipe ini disebut proporsionality.

Teori Relatif

Teori relatif berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana yaitu alat untuk menegakan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Tujuan pidana ialah tata tertib masyarakat, dan untuk menegakan tata tertib itu dibutuhkan pidana.

Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat tadi, maka pidana itu memiliki tiga macam sifat, yaitu:
  • Bersifat menakut-nakuti (afschrikking)
  • Bersifat memperbaiki (verbetering/reclasering)
  • Bersifat membinasakan (onschadelijk maken)

Secara prinsip teori ini mengajarkan bahwa penjatuhan pidana dan pelaksanaanya setidaknya harus berorientasi pada upaya mencegah terpidana (special prevention) dari kemungkinan mengulangi kejahatan lagi di masa mendatang, serta mencegah masyarakat luas pada umumnya (general prevention) dari kemungkinan melaksanakan kejahatan baik menyerupai kejahatan yang telah dilakukan terpidana maupun lainya. Semua orientasi pemidanaan tersebut yaitu dalam rangka membuat dan mempertahankan tata tertib aturan dalam kehidupan masyarakat.

Secara umum ciri-ciri pokok atau karakteristik teori relatif ini yaitu sebagai berikut:
  1. Tujuan Pidana yaitu pencegahan (prevention).
  2. Pencegahan bukan tujuan selesai tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat.
  3. Hanya pelanggaran-pelanggaran aturan yang sanggup dipersalahkan kepada si pelaku saja yang memenuhi syarat untuk adanya pidana.
  4. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuanya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan.
  5. Pidana melihat kedepan (bersifat prospektif), pidana sanggup mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak sanggup diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.

Teori Gabungan

Teori adonan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Secara teoritis, teori adonan berusaha untuk menggabungkan pedoman yang terdapat di dalam teori adikara dan teori relatif. Disamping mengakui bahwa penjatuhan hukuman pidana diadakan untuk membalas perbuatan pelaku, juga dimaksudkan biar pelaku sanggup diperbaiki sehingga sanggup kembali ke masyarakat.

Munculnya teori adonan intinya merupakan respon terhadap kritik yang dilancarkan baik terhadap teori adikara maupun teori relatif. Penjatuhan suatu pidana kepada seseorang tidak hanya berorientasi pada upaya untuk membalas tindakan orang itu, tetapi juga biar ada upaya untuk mendidik atau memperbaiki orang itu sehingga tidak melaksanakan kejahatan lagi yang merugikan masyarakat.

Teori adonan ini sanggup dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu sebagai berikut:
  1. Teori adonan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup dapatnya dipertahankanya tata tertib masyarakat.
  2. Teori adonan yang mengutamakan proteksi tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana.