Alat Bukti
Teori Perihal Sistem Pembuktian
SUDUT HUKUM | Menurut kamus Bahasa Indonesia, pembuktian secara etimologi, berarti perjuangan memperlihatkan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan.18Sedangkan berdasarkan Van Bemmelen Moeljatno, mengambarkan ialah menawarkan kepastian yang lauak berdasarkan budi tentang:
- Apakah hal tertentu itu sungguh-sungguh terjadi dan
- Apa sebabnya demikian.
Senada dengan hal tersebut, Martiman Prodjohamidjodjo mengemukakan “membuktikan” mengandung maksud dan perjuangan untuk menyatakan kebenaran atas suatu insiden sehingga sanggup diterima budi terhadap kebenaran insiden tersebut.
Selanjutnya berdasarkan M. Yahya Harahap pembuktian adalah:
Ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman wacana caracara yang dibenarkan undang-undang mengambarkan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan uandang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikn kesalahan yang didakwakan.
Pembuktian merupakan duduk masalah yang memegang proses investigasi disidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila dengan hasil pembuktian dengan alat alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktian kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, apabila kesalahan terdakwa sanggup dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut Pasal 144 KUHAP terdakwa dinyatakan bersalah, kepadanya akan dijatuhkan hukuman.
Menurut Adami Chazawi, pembuktian dalam proses sebelum penuntutan dalam hal penyidikan terfokus pada kegiatan mengumpulkan bukti incasu dari alat-alat bukti yang intinya ialah kegiatan mecari/mengumpulkan bukti dan kemudian mengurai, menganalisis, menilai dan menyimpulkannya dalam suatu surat yang disebut Resum (berkas perkara, penulis).
Sedangkan kegiatan pembuktian dalam sdang pengadilan, tidak terfokus lagi pada pencarian alat-alat bukti (yang memuat bukti-bukti) dan mengurai bukti-bukti, akan tetapi menyidik alat-alat bukti yang sudah terlebih dahulu disiapkan oleh penyidik dan diajukan oleh jaksa penuntut umum dalam sidang untuk diperiksa bersama 3 pihak yaitu: Hakim, Jaksa, dan Terdawa atau Penasehat Hukumnya.
Seluruh rangkaian kegiatan dalam sidang pengadilan yang dijalankan bersama oleh 3 pihak tersebut dengan kendali pada majelis hakim itulah yang dalam peraktek dan demikian juga dalam banyak literatur hukum disebut dengan kegiatan pembuktian.
Hukum pembuktian merupakan suatu proses mencari kebenaran suatu tindak pidana yang dilakukan terdakwa melalui alat-alat bukti yang diakui oleh aturan pidana formil tersebut sehingga daat diketahu apakah terdakwa tersebut benarbenar telah melaksanakan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan atau tidak terbukti sama sekali. Dengan demikian pembuktian menjadi duduk masalah yag penting dalam suatu proses pradilan pidana, lantaran melalui pembuktian yang bermakna sebgai titik sentral investigasi di sidang pengadilan, sanggup memilih posisi terdakwa, apakah telah memenuhi unsur-unsur yang ditentukan dalam huku program pidana.
Pada tahap pembuktian inilah dibutuhkan kecermatan hakim untuk mempertimbangkan fakta-fakta dan seluruh alat-alat bukti yang ditentukan oleh ketentuan undang-undang shingga berdasarkan alat-alat bukti tersebut nantinya akan ditentukan nasib terdakwa oleh hakim, apakah terdakwa bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atau tidak bersalah.
Menurut M. Yahya Harahap sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrim. Seorang terdakwa gres sanggup dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang di dakwakan kepadanya sanggup dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurt undang-undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan itu dibarengi dengan keyakinan hakim. Bertitik tolak dari uraian diatas, untuk memilih salah atau tidaknya seorang terdakwa berdasarkan sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat 2 komponen:
- Pembuktian harus dilakukan berdasarkan cara dan dengan alat bukti yang sah berdasarkan undang-undang .
- Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat bukti yang sah berdasarkan undang-undang.
Sistem ini memadukan unsur objektif dan subjektif dalam memilih salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling lebih banyak didominasi diantara kedua unsur tersebut. Jika salah satu diantara 2 unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan tersebut.
Sistem pembuktian negatif sangat ibarat dengan sistem pembuktian conviction in raisonne. Hakim dalam mengambil keputusan mengenai salah atau tidaknya seorang terdakwa terikat dengan alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang dan keyakinan hakim sendiri. Jadi, didalam sistem negatif ada 2 hal yang merupakan syarat untuk mengambarkan kesalahan terdakwa, yakni:
- Wettelijk: adanya alat bukti yang sah dan telah ditetapkan oleh undangundang.
- Negatief: adanya keyakinan (nurani) dari hakim, yakni berdasarkan buktibukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa.
Dalam sistem atau teori pembuktian yang berdasarkan secara negatif (negatief wettelijk bewijstheorie) ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda (dubbel en grondslag) berdasarkan Simons, yaitu pada peraturan undangundang dan pada keyakinan hakim, sedangkan berdasarkan undang-undang, dasar keyakinan itu bersumberkan pada perturan undang-undang.
Martiman Prodjohamidjodjo membagi teori pembuktian menjadi:
- Teori tradisional yang terdiri dari:
a. Teori Negatif
Teori ini menyampaikan bahwa hakim boleh menjatuhkan pidana, bila hakim menerima keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa telah terjad perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa.
b. Teori Positif
Teori ini menyampaikan bahwa hakim hanya boleh memilih kesalahan terdakwa bila ada bukti minimum yang dibutuhkan oleh undang-undang. Dan bila bukti minimum itu ada, hakim diwajibkan menyatakan bahwa terdakwa bersalah. Titik berat dari fatwa ini ialah positivitas. Tidak ada bukti tidak dihukum, ada bukti meskipun sedikit harus dihukum.
c. Teori Bebas
Teori ini tidak mengikat hakim kepada aturan hukum. Yang dijadikan pokok hakim dalam memilih kesalahan terdakwa berdasarkan pengalaman hakim itu sendiri.
- Teori modern dibagi menjadi:
a. Teori Pembuktian Dengan Keyakinan Belaka
Aliran ini tidak membutuhkan suatu peraturan wacana pembuktian dan menyerahkan segala sesuatunya kepada kebijaksanaan hakim dan terkesan hakim sangat bersifat subjektif. Hakim mendasarkan terbuktinya suatu keadaan atas keyakinan belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan.
b. Teori Menurut Undang-Undang Secara Positf Dalam teori ini undang-undang memutuskan alat-alat bukti mana yang sanggup digunakan oleh hakim dan bagaimana cara hakim mempergunakan alat-alat bukti serta kekuatan pembuktian dari alat-alat itu sedemikian rupa. Jika suatu keadaan telah terbukti berdasarkan alat-alat bukti, maka hakim harus memutuskan keadaan sudah terbukti, walaupun hakim mungkin berkeyakinan bahwa yang harus dianggap terbukti itu tidak benar, dan begitu juga sebaliknya.
c. Teori Menurut Undang-Undang Secara Negatif
Dalam teori ini hakim harus diwajibkan menghukum orang, apabila ia yakin bahwa perbuatan yang bersangkutan terbukti kebenarannya dan lagi bahwa keyakinan harus disertai penyebutan alasan-alasan yang berdasarkan atas suatu rangkaian buah pikiran (logika). Dan teori ini menghendaki alasan-alasan yang disebutkan oleh undang-undang sebagai alat bukti, tidak diperbolehkan menggunakan alat bukti lain yang tidak disebut dalam undang-undang dan hakim terikat dengan undang-undang wacana cara menggunakan alat bukti.
d. Teori Keyakinan Atas Alasan Logis
Dalam teori ini, hakim dalam menggunakan dan menyebutkan alasan-alasan untuk mengambil keputusan tidak terikat pada penyebutan alat-alat bukti dan cara menggunakan alat-alat bukti dalam undang-undang, melaikan hakim bebas untuk menggunakan alat-alat bukti lain asal saja semua dengan dasar alasan yang sempurna berdasarkan logika.
e. Teori Pembuktian Negatif Menurut Undang-Undang
Dalam teori ini, untuk memilih kesalahan seorang terdakwa, harus dibuktikan berdasarkan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah ditentukan oleh undang-undang serta dibarengi dengan keyakinan
hakim.
Sebagaimana yang telah diuraikan datas wacana sistem pembuktian, maka sanggup diberikan batasan wacana sistem pembuktian yaitu suatu keseluruhan dari banyak sekali ketentuan perihal kegiatan pembuktian yang saling berkaitan dan bekerjasama satu dengan yang lain yang tidak terpisahkan dan menjadi satu kesatuan yang utuh. Adapun isi sistem pembuktian terutama wacana alat-alat bukti apa yang boleh digunakan untuk pembuktian, cara bagaimana alat bukti tu boleh digunakan serta standar/kriteria yang menjadi ukuran dalam mengambil kesimpulan wacana terbuktinya sesuatu (objek) yang dibuktikan. Dengan kata lain sistem pembuktian merupakan suatu suatu rangkaianupaya yang berisi mengenai ketentuan wacana bagaimana cara dalam mengambarkan dan dtandar apa yang digunakan dalam menarik kesimpulan wacana terbuktinya suatu objek yang dibuktikan.
Beberapa teori beban pembuktian yang dikemukakan oleh ahli-ahli:
- Teori Normatif (normative Theory)
Siapa yag di bebani tanggungjawab pembuktian pada pokoknya secara normatif sanggup ditentukan tersendiri oleh undang-undang. Kalau undangundang sudah memilih pihak mana yang diberi beban pembuktian, maka pihak tulah yang bertanggungjawab membuktikan.teori normatif ini biasa disebut juga dengan Process Rechtelike Theorie.
- Affirmative Theory
menurut teori Affirmatif, beban pembuktian dibebankan kepada yang mengadilkan. Yang harus mengambarkan bukanlah orang yang dituduh dengan cara mengingkari tuduhan, melaikan pihakyang menuduhlah yang harus mengambarkan tuduhannya. Artinya, proses pembuktian yang dilakukan haruslah mengafirmasikan kebenaran fakta atau data apa yang dipersangkakan atau didalilkan. Menurut pandangan yang menganut teori ini, ialah sangat tidak adil membebankan kewajiban pembuktian kepada orang yang tertuduh. Oleh karna itu, seharusnya yang mengadili yang wajib mengambarkan dalilnya secara afirmatif.
- Teori Kepatutan (Billijkheid)
Menurut teori ini, yang seharusnya dibebani kewajiban untuk mengambarkan sesuatu dalil, bukanlah siapa yang mengadili ataupun yang dituduh, melaikan pihak mana yang lebih besar lengan berkuasa kedudukannya dalam pembuktian. Jika pihak yang lemah di bebani kewajiban pembuktian, tentu tidak adil, lantaran itu, pihak yang besar lengan berkuasa yang diwajibkan membuktikan.
- Subjectieve en Objectieve Rechtelike Theorie
Menurut teori ini, siapa yang mengendalikan adanya hak subjektif ataupun hak objektif tertentu yang dibantah oleh pihak lain, maka pihak yang mengadilkan itu harus mengambarkan hak subjetif atau hak objektifnya. Hak subjektif itu berkenaan dengan hak yang dianggap dimiliki oelh subjek hukum yang bersangkutan, sedangkan hak objektif ialah hak yang timbul oleh peraturan perundang-undangan tertentu. Dalam hal ini dalil atas hak tersebut diajukan oleh suatu pihak baik secara subjektif maupun menyangkut dasar normatif berdasarkan peraturan perundang-undangan materil yang berlaku.
- Teori Pressumption of Liberty
Teori ini mendarkan diri pada pra anggapan bahwa rakyat itu bebas hingga adanya pembatasan oleh undang-undang (pressumption of liberty). Jika yang dianut ialah prinsip siapa yang mengendalikan inkonstisionalitas undang-undang dialah yang harus membuktikan, berati pra anggapan yang dianut ialah prinsip pressumption of constitutionality, bukan pressumption of liberty. Dengan mengandalkan bahwa semua undang-undang sudah baik dan konstitusional berdasarkan prinsip the pressumption of constitutionality, maka pembuktian dibebankan kepada yang mengendalikan inskontitusionalitas. Namu, bila yang dianut ialah prinsip pressumption of liberty, berarti rakyat dianggap sebagai insan bebas hingga adanya ndang-undang yang membatasi kebebasannya itu.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maka mrngenai aturan pembuktian masuk kedalam kelompok aturan pidana formil (acara). Namun demikian aja juga yang beropini bahwa system pembuktian merupakan aturan pidana materil. Pendapat simpulan ini lebih dipengaruhi berdasarkan yang ada dalam aturan perdata.
Menurut Ahmad Guntur, sehabis berlakunya KUHAP melalui Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981, duduk masalah pembuktian diatur secara tegas dalam kelompok aturan pidana formil (acara). Sistem ini mengatur suatu proses terjadi dan bekerjanya alat bukti untuk selanjutnya dilakukan suatu persesuaian dengan perbuatan materiil yang dilakukan terdakwa, untuk pada karenanya ditarik kesimpulan mengenai terbukti atau tidaknya terdakwa melaksanakan perbuatan pidana yang didakwakan kepadanya. Dalam KUHAP diatur sistem pembuktian dan dari KUHAP ini pula kita sanggup mengetahui sistem pembuktian ibarat apa yang dianut oleh KUHAP.
Mengenai beban pembutian, KUHAP pun telah mengatur dan menegaskannya, hal ini sanggup dilihat dalam Pasal 66 KUHAP, yang menyatakan: ”tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”
Kemudaian Pasal 66 KUHAP ini juga berkaitan dengan Pasal 137 KUHAP yang menyatakan:
Penuntut umum berwenang melaksanakan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melaksanakan suatu tindak pidana dalam kawasan hukumnya dengan melimpahkan masalah ke pengadilan yang berwenang mengadilinya.”
Jika dilihat dari rumusan Pasal tersebut, maka hal itu merupakan visualisasi dari asas umum aturan pidana yang menyatakan siapa yang menuntut dialah yang harus mengambarkan kemudian hal ini merupakan bentuk pemberian terhadap hak-hak tersangka atau terdakwa yang merupakan konkretisasi dari asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan asas tidak mempermasalahkan diri sendiri (non self incrimination). Dengan merujuk pada Pasal 66 KUHAP dan Pasal 137 KUHAP diatas maka beban pembuktian yang dianut oleh KUHAP ialah beban pembuktian pada penuntut umum.