Konservasi
Satwa Liar, Lepas Liar Atau Kandang?
Akhir-akhir ini dunia konservasi Indonesia kembali dikejutkan oleh kabar yang kurang menyenangkan. Diketahui terdapat beberapa pejabat kita yang ternyata memelihara satwa langka yang dilindungi di kediaman langsung mereka. Bahkan diantara pejabat-pejabat tersebut, terdapat pejabat kehutanan yang memelihara satwa dilindungi tanpa dengan izin yang seharusnya. Lalu, apakah dengan memelihara satwa liar merupakan salah satu cara yang sempurna untuk mencegahnya dari kepunahan?
Pada dasarnya terdapat beberapa alasan mengapa orang-orang bahagia memelihara satwa liar. Ada yang alasannya yaitu untuk menaikkan harga diri, menyatakan kekuasaan dan kekuatan, merasa iba, atau untuk kesenangan dan keseruan belaka. Beberapa pengusaha minyak di timur tengah diketahui gemar memelihara singa, cheetah, dan harimau untuk memperlihatkan betapa kayanya mereka. Beberapa pekerja di perkebunan kelapa sawit mengaku memelihara orang utan dikarenakan iba akhir verbal wajah binatang tersebut yang nampak sedih.
Kehadiran kebun binatang turut menjadi perdebatan diantara para pakar konservasi. Pada awalnya kehadiran kebun binatang yaitu sebagai sarana edukasi bagi para masyarakat kota untuk sanggup lebih mengenal dan memahami satwa liar. Lebih lanjut lagi, kebun binatang juga berfungsi sebagai sarana penelitian bagi para ilmuan untuk mempelajari tingkah laris satwa liar. Konsep edukasi menyerupai ini pun hasilnya dikembangkan dengan tujuan meningkatkan populasi satwa-satwa langka di dunia dengan memakai konsep penangkaran. Contoh keberhasilan dari aktivitas ini antara lain yaitu meningkatnya populasi burung Jalak bali di Pulau Bali dan populasi rino Sumatera di Sumatera Rhino Sanctuary (SRS). Namun hal ini mulai menjadi konflik dikala kebun binatang tidak bisa mengelola satwa koleksi mereka dengan baik. Sebut saja maut harimau Sumatera dan jerapah di Kebun Binatang Surabaya yaitu salah satu contohnya.
Pada hakikatnya satwa liar membutuhkan habitat aslinya yang kompleks untuk sanggup bertahan hidup. Hal ini meliputi faktor fisik, biologi, dan kimia di lingkungannya. Kebun binatang dan sentra penangkaran binatang berusaha mereplikasi keadaan orisinil habitat satwa koleksi mereka. Namun tetap saja terdapat beberapa komponen habitat orisinil yang tidak bisa disajikan dalam lingkungan kebun binatang, misalkan daya jelajah. Oleh alasannya yaitu itu, sebaik-baiknya kebun binatang, habitat alami masih menjadi kawasan terbaik bagi satwa liar hidup. Namun terkadang menjaga habitat alami satwa liar yaitu tantangan tersulit yang harus dihadapi.
Lalu, apakah hal ini berarti bahwa kebun binatang sebaiknya ditutup? Tidak juga. Hal ini dikarenakan kebun binatang dan sentra penangkaran satwa juga memperlihatkan bantuan positif dalam dunia konservasi yaitu melalui fungsi edukasi dan peningkatan populasi yang dilakukannya. Namun untuk mewujudkan kedua fungsi tersebut bukanlah kasus yang mudah. Dibutuhkan perjuangan keras serta kerjasama banyak sekali stake holder, termasuk pemerintah. Apabila suatu kebun binatang tidak bisa mewujudkannya, maka justru memperlihatkan pengaruh negatif terhadap upaya konservasi satwa liar. Jadi, mewujudkan kebun binatang yang ideal saja susah, apalagi jikalau satwa liar tersebut dipelihara sendiri di dalam kandang.
Penulis: Dendy Suryo Abaddy
Referensi:
- Alikodra, H. (2002). Pengelolaan Satwaliar. Bogor: Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- Alikodra. H.S., et al. (2013). Teknik Konservasi Badak Indonesia. Jakarta: Literati-books.