Prinsip, Metode, Dan Teknik Isolasi Dna


Molekul DNA dalam suatu sel sanggup diekstraksi atau diisolasi untuk banyak sekali macam keperluan menyerupai amplifikasi dan analisis DNA melalui elektroforesis. Isolasi DNA dilakukan dengan tujuan untuk memisahkan DNA dari materi lain menyerupai protein, lemak, dan karbohidrat. Prisnsip utama dalam isolasi DNA ada tiga yakni penghancuran (lisis), ektraksi atau pemisahan DNA dari materi padat menyerupai selulosa dan protein, serta pemurnian DNA (Corkill dan Rapley, 2008; Dolphin, 2008). Menurut Surzycki (2000), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses isolasi DNA antara lain harus menghasilkan DNA tanpa adanya kontaminan menyerupai protein dan RNA; metodenya harus efektif dan bisa dilakukan untuk semua spesies metode yang dilakukan dihentikan mengubah struktur dan fungsi molekul DNA; dan metodenya harus sederhana dan cepat.

Isolasi DNA tanaman, isolasi DNA buah, isolasi DNA bakteri, dan isolasi DNA binatang intinya mempunyai prinsip yang sama. Prisnsip isolasi DNA pada banyak sekali jenis sel atau jaringan pada banyak sekali organisme intinya sama namun mempunyai modifikasi dalam hal teknik dan materi yang digunakan. Bahkan beberapa teknik menjadi lebih gampang dengan memakai kit yang diproduksi oleh suatu perusahaan sebagai tumpuan kit yang digunakan untuk isolasi DNA pada tumbuhan menyerupai Kit Nucleon Phytopure sedangkan untuk isolasi DNA pada binatang digunakan GeneJETTM Genomic DNA Purification Kit. Namun tahapan-tahapan isolasi DNA dalam setiap langkahnya mempunyai protokol sendiri yang diadaptasi dengan keperluan. Penggunaan teknik isolasi DNA dengan kit dan manual mempunyai kelebihan dan kekurangan. Metode konvensional mempunyai kelebihan harga lebih murah dan digunakan secara luas sementara kekurangannya membutuhkan waktu yang relatif usang dan hasil yang diperoleh tergantung jenis sampel. 


Silahkan baca juga: Isolasi RNA


1. Tahapan Lisis

Tahap pertama dalam isolasi DNA ialah proses perusakan atau penghancuran membran dan dinding sel. Pemecahan sel (lisis) merupakan tahapan dari awal isolasi DNA yang bertujuan untuk mengeluarkan isi sel (Holme dan Hazel, 1998). Tahap penghancuran sel atau jaringan mempunyai beberapa cara yakni dengan cara fisik menyerupai menggerus sampel dengan memakai mortar dan pestle dalam nitrogen cair atau dengan memakai metode freezing-thawing dan iradiasi (Giacomazzi et al., 2005). Cara lain yakni dengan memakai kimiawi maupun enzimatik. Penghancuran dengan memakai kimiawi menyerupai penggunaan detergen yang sanggup melarutkan lipid pada membran sel sehingga terjadi destabilisasi membran sel (Surzycki, 2000). Sementara cara enzimatik menyerupai memakai proteinase K menyerupai untuk melisiskan membran pada sel darah (Khosravinia et al., 2007) serta mendegradasi protein globular maupun rantai polipeptida dalam komponen sel (Brown, 2010; Surzycki (2000). 

Pada proses lisis dengan memakai detergen, sering digunakan sodium dodecyl sulphate (SDS) sebagai tahap pelisisan membran sel. Detergen tersebut selain berperan dalam melisiskan membran sel juga sanggup berperan dalam mengurangi kegiatan enzim nuklease yang merupakan enzim pendegradasi DNA (Switzer, 1999). Selain digunakan SDS, detergen yang lain menyerupai cetyl trimethylammonium bromide (CTAB) juga sering digunakan untuk melisiskan membran sel pada isolasi DNA tumbuhan (Bettelheim dan Landesberg, 2007). Parameter keberhasilan dalam penggunaan CTAB bergantung pada beberapa hal. Pertama, Konsentrasi NaCl harus di atas 1.0 M untuk mencegah terbentuknya kompleks CTAB-DNA. Karena jumlah air dalam pelet sel sulit diprediksi, maka penggunaan CTAB sebagai pemecah larutan harus dengan NaCl dengan konsentrasi minimal 1.4 M. Kedua, ekstrak dan larutan sel yang mengandung CTAB harus disimpan pada suhu ruang lantaran kompleks CTAB-DNA bersifatinsolublepada suhu di bawah 15°C. Ketiga, penggunaan CTAB dengan kemurnian yang baik akan memilih kemurnian DNA yang didapatkan dan dengan sedikit sekali kontaminasi polisakarida. Setelah ditambahkan CTAB, sampel diinkubasikan pada suhu kamar. Tujuan inkubasi ini ialah untuk mencegah pengendapan CTAB lantaran CTAB akan mengendap pada suhu 15°C. Karena efektivitasnya dalam menghilangkan polisakarida, CTAB banyak digunakan untuk purifikasi DNA pada sel yang mengandung banyak polisakarida menyerupai terdapat pada sel tumbuhan dan kuman gram negatif menyerupai Pseudomonas, Agrobacterium, dan Rhizobium (Surzycki, 2000). 

Dalam penggunaan buffer CTAB seringkali ditambahkan reagen-reagen lain menyerupai NaCl, EDTA, Tris-HCl, dan 2-mercaptoethanol. NaCl berfungsi untuk menghilangkan polisakarida sementara 2-mercaptoethanol befungsi untuk menghilangkan kandungan senyawa polifenol dalam sel tumbuhan (Ranjan et al., 2010). 2-mercaptoethanol sanggup menghilangkan polifenol dalam sel tumbuhan dengan cara membentuk ikatan hidrogen dengan senyawa polifenol yang kemudian akan terpisah dengan DNA (Lodhi et al., 1994). Senyawa polifenol perlu dihilangkan biar diperoleh kualitas DNA yang baik (Moyo et al., 2008). Polifenol juga sanggup menghambat reaksi dari enzim Taq polimerase pada dikala dilakukan amplifikasi. Disamping itu polifenol akan mengurangi hasil ektraksi DNA serta mengurangi tingkat kemurnian DNA (Porebskiet al., 1997). Penggunaan 2-mercaptoethanol dengan pemanasan juga sanggup mendenaturasi protein yang mengkontaminasi DNA (Walker dan Rapley, 2008). 

Konsentrasi dan pH dari bufer yang digunakan harus berada dalam rentang pH 5 hingga 12. Larutan buffer dengan pH rendah akan mengkibatkan depurifikasi dan mengakibatkan DNA terdistribusi ke fase fenol selama proses deproteinisasi. Sedangkan pH larutan yang tinggi di atas 12 akan mengakibatkan pemisahan untai ganda DNA. Fungsi larutan buffer ialah untuk menjaga struktur DNA selama proses penghancuran dan purifikasi sehingga memudahkan dalam menghilangkan protein dan RNA serta mencegah kegiatan enzim pendegradasi DNA dan mencegah perubahan pada molekul DNA. Untuk mengoptimalkan fungsi larutan buffer, diperlukan konsentrasi, pH, kekuatan ion, dan penambahan inhibitor DNAase dan detergen (Surzycki 2000). 



2. Tahapan Ekstraksi

Pada tahapan ekstraksi DNA, seringkali digunakan chelating agent menyerupai ethylenediamine tetraacetic acid (EDTA) yang berperan menginaktivasi enzim DNase yang sanggup mendenaturasi DNA yang diisolasi, EDTA menginaktivasi enzim nuklease dengan cara mengikat ion magnesium dan kalsium yang diperlukan sebagai kofaktor enzim DNAse (Corkill dan Rapley, 2008). DNA yang telah diekstraksi dari dalam sel selanjutnya perlu dipisahkan dari kontaminan komponen penyusun sel lainnya menyerupai polisakarida dan protein biar DNA yang didapatkan mempunyai kemurnian yang tinggi. Fenol seringkali digunakan sebagai pendenaturasi protein, ekstraksi dengan memakai fenol mengakibatkan protein kehilangan kelarutannya dan mengalami presipitasi yang selanjutnya sanggup dipisahkan dari DNA melalui sentrifugasi (Karp, 2008). Bettelheim dan Landesberg (2007) menyebutkan bahwa sehabis sentrifugasi akan terbentuk 2 fase yang terpisah yakni fase organik pada lapisan bawah dan fase aquoeus (air) pada lapisan atas sedangkan DNA dan RNA akan berada pada fase aquoeus sehabis sentrifugasi sedangkan protein yang terdenaturasi akan berada pada interfase dan lipid akan berada pada fase organik (Gambar 1). Selain fenol, sanggup pula digunakan adonan fenol dan kloroform atau adonan fenol, kloroform, dan isoamil alkohol untuk mendenaturasi protein. Ekstrak DNA yang didapat seringkali juga tercemar oleh RNA sehingga RNA sanggup dipisahkan dari DNA ekstrak dengan cara pemberian RNAse (Birren, et al., 1997; Clark, 2010). 




Gambar 1. Asam nukleat berada pada lapisan air sehabis disentrifugasi pada tahapan ekstraksi (Clark, 2010). 

Asam nukleat ialah molekul hidrofilik dan bersifat larut dalam air. Disamping itu, protein juga mengandung residu hidrofobik yang mengakibatkan protein larut dalam pelarut organik. Berdasarkan sifat ini, terdapat beberapa metode deproteinisasi menurut pemilihan pelarut organik. Biasanya pelarut organik yang digunakan ialah fenol atau kloroform yang mengandung 4% isoamil alkohol. Penggunaan kloroform isoamil alkohol (CIA) menurut perbedaan sifat pelarut organik. Kloroform tidak sanggup bercampur dengan air dan kemampuannya untuk mendeproteinisasi menurut kemampuan rantai polipeptida yang terdenaturasi untuk masuk atau termobilisasi ke dalam fase antara kloroform – air. Konsentrasi protein yang tinggi pada fase antara tersebut sanggup mengakibatkan protein mengalami presipitasi. Sedangkan lipid dan senyawa organik lain akan terpisah pada lapisan kloroform (Clark, 2010). 

Proses deproteinisasi yang efektif bergantung pada besarnya fase antara kloroform-air. Proses ini sanggup dilakukan dengan membentuk emulsi dari air dan kloroform. Hal ini hanya sanggup dilakukan dengan penggojogan atau sentrifugasi yang besar lengan berkuasa lantaran kloroform tidak sanggup bercampur dengan air. Isoamil alkohol berfungsi sebagai emulsifier sanggup ditambahkan ke kloroform untuk membantu pembentukan emulsi dan meningkatkan luas permukaan kloroform-air yang mana protein akan mengalami presipitasi. Penggunaan kloroform isoamil alkohol ini memungkinkan untuk didapatkan DNA yang sangat murni, namun dengan ukuran yang terbatas (20.000–50.000 bp). Fungsi lain dari penambahan CIA ini ialah untuk menghilangkan kompleks CTAB dan meninggalkan DNA pada fase aquoeus. DNA kemudian diikat dari faseaquoeus dengan presipitasi etanol (Surzycki, 2000). 


3. Tahapan Pemisahan DNA

Setelah proses ekstraksi, DNA yang didapat sanggup dipekatkan melalui presipitasi (pemisahan). Pada umumnya digunakan etanol atau isopropanol dalam tahapan presipitasi. Kedua senyawa tersebut akan mempresipitasi DNA pada fase aquoeus sehingga DNA menggumpal membentuk struktur fiber dan terbentuk pellet sehabis dilakukan sentrifugasi (Switzer, 1999).Hoelzel (1992) juga menambahkan bahwa presipitasi juga berfungsi untuk menghilangkan residu-residu kloroform yang berasal dari tahapan ekstraksi. 

Menurut Surzycki (2000), prinsip-prinsip presipitasi antara lain pertama, menurunkan kelarutan asam nukleat dalam air. Hal ini dikarenakan molekul air yang polar mengelilingi molekul DNA di larutan aquoeus. Muatan dipole positif dari air berinteraksi dengan muatan negatif pada gugus fosfodiester DNA. Interaksi ini meningkatkan kelarutan DNA dalam air. Isopropanol sanggup bercampur dengan air, namun kurang polar dibandingkan air. Molekul isopropanol tidak sanggup berinteraksi dengan gugus polar dari asam nukleat sehingga isopropanol ialah pelarut yang lemah bagi asam nukleat; kedua, penambahan isopropanol akan menghilangkan molekul air dalam larutan DNA sehingga DNA akan terpresipitasi; ketiga, penggunaan isopropanol hambar akan menurunkan kegiatan molekul air sehingga memudahkan presipitasi DNA. 

Pada tahapan presipitasi ini, DNA yang terpresipitasi akan terpisah dari residu-residu RNA dan protein yang masih tersisa. Residu tersebut juga mengalami koagulasinamun tidak membentuk struktur fiber dan berada dalam bentuk presipitat granular.Pada dikala etanol atau isopropanol dibuang dan pellet dikeringanginkan dalam tabung, maka pellet yang tersisa dalam tabung ialah DNA pekat.Proses presipitasikembali dengan etanol atau isopropanol sebelum pellet dikeringanginkan sanggup meningkatkan derajat kemurnian DNA yang diisolasi (Bettelheim dan Landesberg, 2007). Keller dan Mark (1989) membuktikan bahwa pembersihan kembali pellet yang dipresipitasi oleh isopropanol dengan memakai etanol bertujuan untuk menghilangkan residu-residu garam yang masih tersisa. Garam-garam yang terlibat dalam proses ekstraksi bersifat kurang larut dalam isopropanol sehingga sanggup terpresipitasi bersama DNA, oleh alasannya ialah itu diperlukan presipitasi kembali dengan etanol sehabis presipitasi dengan isopropanol untuk menghilangkan residu garam (Ausubel et al., 2003). 

Setelah dilakukan proses presipitasi dan dilakukan pembersihan dengan etanol, maka etanol kemudian dibuang dan pellet dikeringanginkan, perlakuan tersebut bertujuan untuk menghilangkan residu etanol dari pelet DNA. Penghilangan residu etanol dilakukan dengan cara evaporasi lantaran etanol gampang menguap (Surzycki, 2000). Pada tahap pembersihan biasanya etanol dicampur dengan ammonium asetat yang bertujuan untuk membantu memisahkan kontaminan yang tidak diinginkan menyerupai dNTP dan oligosakarida yang terikat pada asam nukleat (Sambrook et al., 2001). 

Setelah pellet DNA dikeringanginkan, tahap selanjutnya ialah penambahan buffer TE ke dalam tabung yang berisi pellet dan kemudian disimpan di dalam freezer dengan suhu sekitar -20ºC. Verkuil et al. (2008) menyatakan bahwa buffer TE dan penyimpanan suhu pada -20ºC bertujuan biar sampel DNA yang telah diekstraksi sanggup disimpan hingga waktu berminggu-minggu. Keller dan Mark (1989) juga menjelaskan bahwa pelarutan kembali dengan buffer TE juga sanggup memisahkan antara RNA yang mempunyai berat molekul lebih rendah dibandingkan DNA sehingga DNA yang didapatkan tidak tercemar oleh RNA dan DNA sangat stabil ketika disimpan dalam keadaan terpresipitasi pada suhu -20ºC. 



Gambar 2. Proses pufrifikasi DNA dengan memakai metode silika dan kolom kromatografi (a) proses pengikatan DNA ke silika dengan proteksi perubahan konsentrasi garam, (b) DNA dielusi untuk memperoleh DNA (Brown, 2010). 



Kit Isolasi DNA

Isolasi DNA juga sanggup dilakukan dengan memakai kit yang sudah diproduksi oleh beberapa perusahan untuk mempermudah dan mempercepat proses isolasi DNA. Kit isolasi juga diadaptasi dengan kebutuhan oleh konsumen dan jenis sel yang akan digunakan. Berikut ialah skema tumpuan isolasi DNA tumbuhan dengan memakai Kit Nucleon Phytopure yang disajikan pada Gambar 3. 



Gambar 3. Bagan isolasi DNA dengan memakai kit phytopure. 
Klik gambar untuk memperbesar.


Penulis: Mh Badrut Tamam

Referensi:
  1. Ausubel, F. M. et al. 2003. Current Protocols in Molecular Biology. 
  2. Bettelheim & Landesberg. 2007. Laboratory experiments for general organic and biochemistry. 
  3. Clark, Melody S. 1997. Plant Molecular Biology : A laboratory manual.
  4. Dolphin, W. D. 2008. Biological Investigations. 
  5. Hoelzel, A. R. 1992. Molecular Genetic Analysis of Populations. 
  6. Holme, D. J. & Hazel P. 1998. Analytical Biochemistry.
  7. Karp, Gerald. 2008. Cell and Molecular Biology.
  8. Keller, G. H. & Mark M. M. 1989. DNA probes. 
  9. Khosravinia, H. & Ramesha, K. P. 2007. Influence of EDTA and magnesium on DNA extraction from blood samples and specificity of polymerase chain reaction. African Journal of Biotechnology 6 (3), pp. 184-187
  10. Surzycki, S. 2000. Basic techniques in molecular biology.
  11. Switzer. 1999. Experimental biochemistry. 
  12. Verkuil, E. v. P., Alex van B., & John P. H. 2008. Principles and technical aspects of PCR amplification. 
  13. Walker, J. M. & Ralph R. 2008. Molecular Biomethods Handbook.