IPS
Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Pembahasan kali ini membahas wacana dekrit presiden 5 juli 1959, isi dekrit presiden 5 juli, isi dekrit 5 juli 1959, isi dekrit presiden tanggal 5 juli 1959. isi dekrit presiden tanggal 5 juli 1959.
Menjelang tahun 1959 Indonesia banyak mengalami permasalahan. Dalam bidang politik, sering terjadi pergantian kabinet.
Rakyat semakin mencicipi partai politik lebih mengutamakan kepentingan sendiri dan ketidakmampuan konstituante melakukan tugasnya.
Konstituante tidak berhasil menyusun Undang-Undang Dasar gres guna menggantikan UUDS. Dengan anggota yang berjumlah 542 orang dan berasal dari banyak partai mengakibatkan konflik dalam tubuh konstituante sulit dihindarkan.
Dalam bidang keamanan, terjadi pergolakan yang ditimbulkan oleh pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, Kalimantan, dan Sulawesi Selatan serta pemberontakan PRRI dan Permesta.
Pemberontakan-pemberontakan dipicu oleh ketidakpuasan tempat kepada pemerintah pusat. Situasi dalam negeri yang semakin tidak menentu mendorong Presiden Soekarno mengajukan konsepsi yang berisi hal-hal berikut ini.
Konsepsi tersebut mengakibatkan pro dan kontra antarpartai politik. Dalam suasana pro
dan kontra ini, pada tanggal 25 April 1959 Presiden Soekarno memberikan amanat di depan anggota konstituante, yang berisi tawaran untuk kembali pada Undang-Undang Dasar 1945.
Amanat ini menjadi perdebatan di konstituante sehingga diputuskan untuk diadakan pemungutan suara. Ternyata, hasil pemungutan bunyi memberikan bahwa kurang dari 2/3 anggota konstituante menyetujui untuk kembali pada Undang-Undang Dasar 1945.
Kegagalan konstituante untuk menyusun dan menetapkan sebuah Undang-Undang Dasar serta perdebatan- perdebatan di dalamnya, mengakibatkan situasi politik semakin tidak menentu.
Kondisi ini mendorong Presiden Soekarno mengambil langkah yang sesungguhnya bertentangan dengan undang-undang (inkonstitusional).
Pada tanggal 5 Juli 1959 dalam suatu program resmi di Istana Merdeka, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang selanjutnya dikenal sebagai Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Inti dari Dekrit Presiden ini sebagai berikut.
Dengan dekrit ini, berarti Kabinet Parlementer di bawah pimpinan Perdana Menteri Djuanda dinyatakan demisioner.
Kabinet digantikan oleh Kabinet Presidensial yang eksklusif dipimpin oleh Presiden Soekarno. Dalam perkembangannya, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menjadi tonggak bagi pelaksanaan demokrasi terpimpin di Indonesia.
Pada masa demokrasi terpimpin, Presiden Soekarno mempunyai kekuasaan yang besar. Bahkan, pada tanggal 5 Maret 1960 Presiden Soekarno mempunyai kemampuan untuk membubarkan dewan perwakilan rakyat hasil pemilu 1955.
Selain itu, melalui Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959, Presiden Soekarno membentuk MPRS yang anggota-anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Menjelang tahun 1959 Indonesia banyak mengalami permasalahan. Dalam bidang politik, sering terjadi pergantian kabinet.
Rakyat semakin mencicipi partai politik lebih mengutamakan kepentingan sendiri dan ketidakmampuan konstituante melakukan tugasnya.
Konstituante tidak berhasil menyusun Undang-Undang Dasar gres guna menggantikan UUDS. Dengan anggota yang berjumlah 542 orang dan berasal dari banyak partai mengakibatkan konflik dalam tubuh konstituante sulit dihindarkan.
Dalam bidang keamanan, terjadi pergolakan yang ditimbulkan oleh pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, Kalimantan, dan Sulawesi Selatan serta pemberontakan PRRI dan Permesta.
Isi Dekrti Presiden |
Pemberontakan-pemberontakan dipicu oleh ketidakpuasan tempat kepada pemerintah pusat. Situasi dalam negeri yang semakin tidak menentu mendorong Presiden Soekarno mengajukan konsepsi yang berisi hal-hal berikut ini.
- Sistem demokrasi parlementer secara Barat tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia alasannya itu harus diganti dengan sistem demokrasi terpimpin.
- Untuk melakukan demokrasi terpimpin perlu dibuat Kabinet Gotong Royong yang anggotanya terdiri atas semua partai atau organisasi menurut perimbangan kekuatan dalam masyarakat.
- Pembentukan Dewan Nasional terdiri atas golongan-golongan fungsional yang bertugas sebagai penasihat kabinet.
Konsepsi tersebut mengakibatkan pro dan kontra antarpartai politik. Dalam suasana pro
dan kontra ini, pada tanggal 25 April 1959 Presiden Soekarno memberikan amanat di depan anggota konstituante, yang berisi tawaran untuk kembali pada Undang-Undang Dasar 1945.
Amanat ini menjadi perdebatan di konstituante sehingga diputuskan untuk diadakan pemungutan suara. Ternyata, hasil pemungutan bunyi memberikan bahwa kurang dari 2/3 anggota konstituante menyetujui untuk kembali pada Undang-Undang Dasar 1945.
Kegagalan konstituante untuk menyusun dan menetapkan sebuah Undang-Undang Dasar serta perdebatan- perdebatan di dalamnya, mengakibatkan situasi politik semakin tidak menentu.
Kondisi ini mendorong Presiden Soekarno mengambil langkah yang sesungguhnya bertentangan dengan undang-undang (inkonstitusional).
Pada tanggal 5 Juli 1959 dalam suatu program resmi di Istana Merdeka, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang selanjutnya dikenal sebagai Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Inti dari Dekrit Presiden ini sebagai berikut.
- Pembubaran konstituante.
- Berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950.
- Pembentukan MPRS dan DPAS.
Dengan dekrit ini, berarti Kabinet Parlementer di bawah pimpinan Perdana Menteri Djuanda dinyatakan demisioner.
Kabinet digantikan oleh Kabinet Presidensial yang eksklusif dipimpin oleh Presiden Soekarno. Dalam perkembangannya, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menjadi tonggak bagi pelaksanaan demokrasi terpimpin di Indonesia.
Pada masa demokrasi terpimpin, Presiden Soekarno mempunyai kekuasaan yang besar. Bahkan, pada tanggal 5 Maret 1960 Presiden Soekarno mempunyai kemampuan untuk membubarkan dewan perwakilan rakyat hasil pemilu 1955.
Selain itu, melalui Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959, Presiden Soekarno membentuk MPRS yang anggota-anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh presiden.