Bahasa Indonesia
Nilai-Nilai Kehidupan Dalam Cerpen ‘Emak’
Bagaikan cermin, dongeng atau prosa yang ditulis melalui proses kreatif seorang pengarang merupakan rekaman bencana di masyarakat yang dipantulkan kembali kepada para penikmat sastra.
Melalui dongeng tersebut, pengarang berharap sanggup memperlihatkan nilai-nilai kehidupan melalui kisah-kisah cerita. Nilai kehidupan juga merupakan unsur intrinsik dari sebuah dongeng yaitu merupakan bentuk lain dari amanat.
Baik nilai kehidupan maupun amanat harus disimpulkan sendiri oleh penikmat dongeng melalui proses perenungan atas isi cerita.
Oleh alasannya itulah, pada pembelajaran ini kalian akan dilatih bagaimana menemukan nilai kehidupan yang terdapat pada sebuah dongeng pendek
Bacalah dongeng pendek berikut!
Emakku yakni sosok perempuan yang kukagumi di dunia ini. Dia sangat sabar. Apalagi menghadapi kelakuan Mbak Ika, yang satu tahun belakangan ini mulai memburuk padanya sejak ditinggal Bapak. Kerjanya setiap hari hanya murka dan murka melulu.
“Ratih...Ratih....Bangun!” teriak Mbak Ika. Kulihat jam dinding masih memperlihatkan angka 4, ya, pagi.
“Malas,” jawabku ogah-ogahan sambil merapatkan kembali selimut.
“Ayo bangun! Jangan malas-malasan begitu,” ucapnya seraya merih selimutku kasar.
“Kenapa sih, sirik amat,” ucapku sambil mengucek-ucek mata.
“Kamu tahu nggak kunci yang saya taruh di meja makan kemarin?” tanyanya.
“Enggak,” jawabku singkat dan mengangkat bahu.
“Pasti ia lagi,” sungutnya.
“Dia lagi, ia lagi siapa?”
“Yaah siapa lagi jikalau bukan Emak? Biang keladi semua persoalan di rumah ini,” jawabnya sinis.
“Hush!! Nggak baik bilang menyerupai itu pada orang tua, kualat nanti.”
“Biarin saja,” seenaknya ia menjawab sambil berlalu.
“Maak Emaak!” teriak Mbak Ika lantang.
“Ada apa, Nduk?” tanya Emak.
“Tahu nggak kunci yang saya taruh di meja ini kemarin? Itu lho kunci warna putih yang ada gantungannya berbentuk mawar,” tanyanya sedikit membentak.
“O ituu. Kemarin emak simpan di laci meja itu mungkin. Emak juga agak lupa,” jawab Emak pelan.
“Makanya! Kalau sudah merasa pikun, jangan membenahi barang-barang yang bukan milik Emak. Yang punya barang jadi abnormal alasannya gundah mencarinya,” sungut Mbak IKa.
“Sudah-sudah. Gitu saja ribut. Yang penting kuncinya sudah ketemu. Nggak pantas didengar tetangga, setiap hari ribuuut... melulu,” leraiku.
“Bukannya ‘gitu. Aku kan nggak akan murka jikalau Emak nggak salah. Dasar orang tua! Sudah mulai pikun,” umpatnya.
Aku hanya geleng-geleng kepala sedangkan Emak segera beranjak ke dapur dengan wajah sedih. Pulang sekolah dengan wajah jengkel saya memasuki halaman rumah.....
“Mak!! Emak!!!” teriak Mbak Ika.
“Pasti ada yang tidak beres,” gumamku.
“Lihat baju ini!” teriaknya sambil menyodorkan sebuah baju ke hadapan Emak.
“Ada apa dengan baju ini?” tanya Emak.
“Ada apa, ada apa, masa nggak lihat ada apa di baju ini. Lihat! Apa ini?” tanyanya dengan membentak.
“Emak tidak tahu, Nduk.”
“Nggak tahu, nggak tahu gimana? Tadi, ketika saya basuh nggak ada noda kayak gini. Tapi kok kini ada? Siapa tadi yang mengambil dari jemuran?”
“Emak.”
“Nah! Sekarang ngaku saja jikalau memang Emak yang menciptakan noda di baju ini,” bentaknya kasar.
“Benar, Nduk. Emak memang nggak tahu. Untuk apa Emak bohong sama kamu?”
“Halaahh!! Sudah, pokoknya kini harus dicuci hingga bersih. Awas, jikalau nanti nodanya nggak hilang, nggak saya beri uang belanja buat besok,” ancam Mbak Ika.
“Sudahlah. Biar saya saja yang mencuci baju itu,” tawarku.
“Nggak perlu! Orang bau tanah menyerupai ini perlu diberi pelajaran supaya jera,” bentaknya.
Akupun pribadi diam. ....
Sore hari ketika saya sedang menonton TV, Mbak Ika tiba -tiba memanggilku.
“Rat, tahu nggak siapa yang membuka lemariku?” tanyanya.
“Enggak tuh. Memangnya saya masuk ke kamar Mbak,” jawabku enteng.
“Emak ke mana?” tanyanya lagi.
“Sedang tidur. Jangan diganggu dulu alasannya Emak agak tidak lezat badan,” jawabku.
Lalu saya menguntitnya berjalan menuju kamar Emak.
“Mak bangun! Ada hal penting yang akan saya tanyakan,” ucap Mbak Ika kasar sambil menggoyang-goyangkan tubuh Emak.
Emak terbangun dengan geragapan.
“Emak tadi, buka-buka lemari pakaianku nggak?” tanyanya.
“Iya. Memangnya ada apa, Nduk?” tanya Emak agak gugup alasannya belum hilang rasa kagetnya.
“Nggak ada apa-apa sih. Tapi, uangku lima puluh ribu rupiah hilang. Emak yang mengambil?” tanya Mbak Ika dengan nada menuduh.
“Kalau persoalan uang, Emak tidak tahu menahu, Nduk. Dan Emak tidak mengambilnya, betul Nduk,” jawab Emak melas.
“Halaahh!! Jangan pasang muka nggak berdosa kaya gitu. Aku yakin, niscaya Emak yang mengambil, siapa lagi?? Namanya pencuri di mana-mana pun tidak akan ngaku jikalau nggak disiksa dulu,” cerocos Mbak Ika sengit.
“Aduh Nduk, kau nggak percaya,” ucap Emak yang mulai menangis.
“Iya Mbak. Masa nggak kasihan sama Emak. Jangan menuduh dulu sebelum ada bukti,” ucapku membela Emak.
“Apa belum cukup buktinya?! Ngaku saja,” bentaknya.
“Nggak, Nduk. Emak memang nggak mengambilnya,” isak Emak.
“Ngaku nggak?! Ayo ngaku, ngaku, ngaku, ngakuuu!!,” teriak Mbak Ika sambil memukuli Emak dengan gagang sapu.
“Aduh Nduk, sakiiit,” ucap Emak Kesakitan.
“Mbak!! Kamu ini punya otak nggak ha?! Dibilang sudah besar tapi nggak punya pikiran, dibilang masih kecil tapi badannya sudah bongsor. Kamu ini kejam. Sakiit tahu, sakiit. Apa kau mau dipukuli menyerupai itu,” teriakku penuh amarah.....
“Rat, Emak nggak apa-apa kan?! tanyanya sedikit gugup. Baru kali ini sanggup kulihat sinar kekhawatiran di matanya alasannya selama ini, yang ada di sana hanyalah sinar kemarahan dan kebencian.
“Rat, kau kok membisu saja sich,” ucapnya gemetar.
“Ik....Ika...,” panggil Emak lirih.
“Ya, Mak,” jawabnya pelan.
“Syukurlah jikalau kau sudah datang. Emak hanya ingin minta maaf atas segala perbuatan Emak yang kau anggap salah. Nduk, selama ini Emak merasa tidak pantas untuk menjadi ibumu. Sebenarnya Emak haus akan kasih sayangmu, Nduk, tapi bila kau memang tidak menghendaki kehadiran Emak, ya tidak apa-apa,” sunyi sekejap.
“Emak sudah memaafkan segala perbuatanmu pada Emak. Dan Emak tidak menyalahkan kamu, Nduk, alasannya itu Nduk, alasannya itu hanyalah luapan amarah semata. Emak hanya minta semoga kau nggak mengulanginya lagi. Rukun-rukunlah kau dengan adikmu,” terperinci Emak.
Kulihat wajah Emak yang penuh derita. Namun, di sana kutemui gurat-gurat kasih sayang dan kelegaan.
“Iya Mak, saya pun juga mau minta .....”
“Maaaaak!!” teriakku memotong ucapan Mbak Ika. Saat ia sadar apa yang telah terjadi, ia lunglai dan jatuh bersimpuh. Seketika ia pribadi menciumi kedua kaki Emak sambil tidak berhenti memanggilnya.Selesai.
Sumber : cerpen karya Widiyati dari kumpulan cerpen Kupu-Kupu di Bantimurung
Melalui dongeng tersebut, pengarang berharap sanggup memperlihatkan nilai-nilai kehidupan melalui kisah-kisah cerita. Nilai kehidupan juga merupakan unsur intrinsik dari sebuah dongeng yaitu merupakan bentuk lain dari amanat.
Baik nilai kehidupan maupun amanat harus disimpulkan sendiri oleh penikmat dongeng melalui proses perenungan atas isi cerita.
Oleh alasannya itulah, pada pembelajaran ini kalian akan dilatih bagaimana menemukan nilai kehidupan yang terdapat pada sebuah dongeng pendek
Bacalah dongeng pendek berikut!
EMAK
“Ratih...Ratih....Bangun!” teriak Mbak Ika. Kulihat jam dinding masih memperlihatkan angka 4, ya, pagi.
“Malas,” jawabku ogah-ogahan sambil merapatkan kembali selimut.
“Ayo bangun! Jangan malas-malasan begitu,” ucapnya seraya merih selimutku kasar.
“Kenapa sih, sirik amat,” ucapku sambil mengucek-ucek mata.
“Kamu tahu nggak kunci yang saya taruh di meja makan kemarin?” tanyanya.
“Enggak,” jawabku singkat dan mengangkat bahu.
Gambar: Cerpen Emak |
“Pasti ia lagi,” sungutnya.
“Dia lagi, ia lagi siapa?”
“Yaah siapa lagi jikalau bukan Emak? Biang keladi semua persoalan di rumah ini,” jawabnya sinis.
“Hush!! Nggak baik bilang menyerupai itu pada orang tua, kualat nanti.”
“Biarin saja,” seenaknya ia menjawab sambil berlalu.
“Maak Emaak!” teriak Mbak Ika lantang.
“Ada apa, Nduk?” tanya Emak.
“Tahu nggak kunci yang saya taruh di meja ini kemarin? Itu lho kunci warna putih yang ada gantungannya berbentuk mawar,” tanyanya sedikit membentak.
“O ituu. Kemarin emak simpan di laci meja itu mungkin. Emak juga agak lupa,” jawab Emak pelan.
“Makanya! Kalau sudah merasa pikun, jangan membenahi barang-barang yang bukan milik Emak. Yang punya barang jadi abnormal alasannya gundah mencarinya,” sungut Mbak IKa.
“Sudah-sudah. Gitu saja ribut. Yang penting kuncinya sudah ketemu. Nggak pantas didengar tetangga, setiap hari ribuuut... melulu,” leraiku.
“Bukannya ‘gitu. Aku kan nggak akan murka jikalau Emak nggak salah. Dasar orang tua! Sudah mulai pikun,” umpatnya.
Aku hanya geleng-geleng kepala sedangkan Emak segera beranjak ke dapur dengan wajah sedih. Pulang sekolah dengan wajah jengkel saya memasuki halaman rumah.....
“Mak!! Emak!!!” teriak Mbak Ika.
“Pasti ada yang tidak beres,” gumamku.
“Lihat baju ini!” teriaknya sambil menyodorkan sebuah baju ke hadapan Emak.
“Ada apa dengan baju ini?” tanya Emak.
“Ada apa, ada apa, masa nggak lihat ada apa di baju ini. Lihat! Apa ini?” tanyanya dengan membentak.
“Emak tidak tahu, Nduk.”
“Nggak tahu, nggak tahu gimana? Tadi, ketika saya basuh nggak ada noda kayak gini. Tapi kok kini ada? Siapa tadi yang mengambil dari jemuran?”
“Emak.”
“Nah! Sekarang ngaku saja jikalau memang Emak yang menciptakan noda di baju ini,” bentaknya kasar.
“Benar, Nduk. Emak memang nggak tahu. Untuk apa Emak bohong sama kamu?”
“Halaahh!! Sudah, pokoknya kini harus dicuci hingga bersih. Awas, jikalau nanti nodanya nggak hilang, nggak saya beri uang belanja buat besok,” ancam Mbak Ika.
“Sudahlah. Biar saya saja yang mencuci baju itu,” tawarku.
“Nggak perlu! Orang bau tanah menyerupai ini perlu diberi pelajaran supaya jera,” bentaknya.
Akupun pribadi diam. ....
Sore hari ketika saya sedang menonton TV, Mbak Ika tiba -tiba memanggilku.
“Rat, tahu nggak siapa yang membuka lemariku?” tanyanya.
“Enggak tuh. Memangnya saya masuk ke kamar Mbak,” jawabku enteng.
“Emak ke mana?” tanyanya lagi.
“Sedang tidur. Jangan diganggu dulu alasannya Emak agak tidak lezat badan,” jawabku.
Lalu saya menguntitnya berjalan menuju kamar Emak.
“Mak bangun! Ada hal penting yang akan saya tanyakan,” ucap Mbak Ika kasar sambil menggoyang-goyangkan tubuh Emak.
Emak terbangun dengan geragapan.
“Emak tadi, buka-buka lemari pakaianku nggak?” tanyanya.
“Iya. Memangnya ada apa, Nduk?” tanya Emak agak gugup alasannya belum hilang rasa kagetnya.
“Nggak ada apa-apa sih. Tapi, uangku lima puluh ribu rupiah hilang. Emak yang mengambil?” tanya Mbak Ika dengan nada menuduh.
“Kalau persoalan uang, Emak tidak tahu menahu, Nduk. Dan Emak tidak mengambilnya, betul Nduk,” jawab Emak melas.
“Halaahh!! Jangan pasang muka nggak berdosa kaya gitu. Aku yakin, niscaya Emak yang mengambil, siapa lagi?? Namanya pencuri di mana-mana pun tidak akan ngaku jikalau nggak disiksa dulu,” cerocos Mbak Ika sengit.
“Aduh Nduk, kau nggak percaya,” ucap Emak yang mulai menangis.
“Iya Mbak. Masa nggak kasihan sama Emak. Jangan menuduh dulu sebelum ada bukti,” ucapku membela Emak.
“Apa belum cukup buktinya?! Ngaku saja,” bentaknya.
“Nggak, Nduk. Emak memang nggak mengambilnya,” isak Emak.
“Ngaku nggak?! Ayo ngaku, ngaku, ngaku, ngakuuu!!,” teriak Mbak Ika sambil memukuli Emak dengan gagang sapu.
“Aduh Nduk, sakiiit,” ucap Emak Kesakitan.
“Mbak!! Kamu ini punya otak nggak ha?! Dibilang sudah besar tapi nggak punya pikiran, dibilang masih kecil tapi badannya sudah bongsor. Kamu ini kejam. Sakiit tahu, sakiit. Apa kau mau dipukuli menyerupai itu,” teriakku penuh amarah.....
“Rat, Emak nggak apa-apa kan?! tanyanya sedikit gugup. Baru kali ini sanggup kulihat sinar kekhawatiran di matanya alasannya selama ini, yang ada di sana hanyalah sinar kemarahan dan kebencian.
“Rat, kau kok membisu saja sich,” ucapnya gemetar.
“Ik....Ika...,” panggil Emak lirih.
“Ya, Mak,” jawabnya pelan.
“Syukurlah jikalau kau sudah datang. Emak hanya ingin minta maaf atas segala perbuatan Emak yang kau anggap salah. Nduk, selama ini Emak merasa tidak pantas untuk menjadi ibumu. Sebenarnya Emak haus akan kasih sayangmu, Nduk, tapi bila kau memang tidak menghendaki kehadiran Emak, ya tidak apa-apa,” sunyi sekejap.
“Emak sudah memaafkan segala perbuatanmu pada Emak. Dan Emak tidak menyalahkan kamu, Nduk, alasannya itu Nduk, alasannya itu hanyalah luapan amarah semata. Emak hanya minta semoga kau nggak mengulanginya lagi. Rukun-rukunlah kau dengan adikmu,” terperinci Emak.
Kulihat wajah Emak yang penuh derita. Namun, di sana kutemui gurat-gurat kasih sayang dan kelegaan.
“Iya Mak, saya pun juga mau minta .....”
“Maaaaak!!” teriakku memotong ucapan Mbak Ika. Saat ia sadar apa yang telah terjadi, ia lunglai dan jatuh bersimpuh. Seketika ia pribadi menciumi kedua kaki Emak sambil tidak berhenti memanggilnya.Selesai.
Sumber : cerpen karya Widiyati dari kumpulan cerpen Kupu-Kupu di Bantimurung