Bhs Indonesia
Menerangkan Sifat-Sifat Tokoh Dari Kutipan Novel “Salah Asuhan”
Novel merupakan salah satu genre (bagian) sastra yang paling representatif (mewakili) dari masyarakat dan peradabannya.
Sebagaimana dikemukakan oleh Teeuw bahwa kehadiran karya sastra tidak dalam kondisi kosong, artinya karya sastra hadir selalu menggambarkan kondisi zamannya.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika kalian mendengarkan pembacaan kutipan novel di antaranya konsentrasi yang cukup. Hal ini diharapkan lantaran sifat pembacaan novel hanya sekali ucap.
Jika konsentrasi tidak kalian lakukan dengan baik, kalian akan kehilangan data-data yang diharapkan terkait dengan isi novel tersebut. Untuk itulah, kesabaran dalam hal mendengarkan sesuatu juga sangat mutlak diperlukan.
Pada ketika pembacaan kutipan novel sedang berlangsung, buatlah catatan-catatan kecil. Catatan-catatan kecil itu akan membantu kalian mendeskripsikan sifat-sifat tokoh yang terdapat dalam novel serta membantu kalian menyimpulkan isi novel tersebut.
Untuk meningkatkan kemampuan kalian, simaklah pembacaan kutipan novel yang akan dilakukan salah seorang teman.
“Syafei jangan diceraikan dengan ibunya, Bu!”
“Maksud Ibu, kalau ia tiba bersamasama dengan Rapiah.”
Air muka Hanafi segera berubah pula, kemudian berkata dengan tetap, ”Janganlah Ibu mengenang-ngenangkan juga hal yang serupa itu. Istriku hanyalah Corrie!”
Ibunya berdiam diri pula; dan sejak itu verbal Hanafi bagai terkatup pula dan tiadalah ia memberi jalan kepada ibunya buat berunding-runding lagi.
Perangainya mulai menguatirkan pula. Makannya mulai kurang; dan setiap malam hampir-hampir tak tidurlah ia. Mukanya makin pucat, sedang matanya cekung, berwarna biru selingkarannya. Ke sawah ia sudah jarang-jarang, kebanyakan ia tinggal berkubur saja di dalam kamarnya.
Pada suatu malam, bersahabat hendak Subuh, terperanjatlah ibu Hanafi mendengar anaknya mengerang. Oleh lantaran Hanafi tidak pernah mengunci pintu kamarnya, dengan gampang orang renta itu sudah masuk ke dalam, kemudian terkejut melihat keadaan anaknya.
Hanafi tidur manangkup, kepalanya menjulur ke luar daerah tidur. Sedang sprei dan tikar pandannya yang ada di muka daerah tidurnya sudah penuh berlumur darah.
“Hanafi! Hanafi! Anakku! Apakah yang sudah terjadi atas dirimu?” demikian ibunya sudah menjerit.
“Tidak berarti, Bu … sakit perut. Tapi … sudah mulai baik.” Seketika ibunya sudah membetuli tidurnya.
“Engkau muntah-muntah darah, Hanafi! Oh, Anakku, siapakah kiranya yang khianat memberi engkau makanan berbisa?”
“Sudah penyakitku … serupa itu, Bu. Dahulu sekali … di Betawi.” ….
Tapi belum sampailah Hanafi kepada meminum segala obat-obat penawar itu, maka datanglah dokter dengan tergopoh-gopoh....
Hanafi memandang segala perbuatan dokter itu dengan senyum, kemudian berkata di dalam bahasa Belanda, “Apakah Tuan … tidak tahu … penyakitku?”
“Tahu betul, Tuan Han!”
“Nah … sublimat, bukan … terminum dengan … kesalahan … tapi … sengaja.”
“Benar, tapi saya wajib menolong Tuan.”
“Sia-sia … banyak kutelan … Tuan tidak berhak … saya sengaja … mau pergi!”
“Tuan harus kasihan kepada ibu Tuan, kepada anak bini Tuan. Perbuatan serupa ini perbuatan kasar, laris … pengecut! Maaf Tuan Han, kalau saya berkata kasar. Tapi laris tersebut bukanlah laris orang yang berani.”
“Memang … kasihan! … Ah ibuku … saya pengecut tapi hidupku kosong … habislah impian … baik enyah!”
“Setiap orang tiadalah hidup buat impian saja, tapi terutama buat kewajiban. Kewajiban pada ibunya, kewajiban pada anak istrinya.”
“Dokter tahu … hal saya?”
“Tahu betul, Tuan Han! Anak-anak kampung pun tidak ada yang mengetahuinya.”
“Nah … kewajiban itu … sudah … usang kusia … siakan.”
“Itulah sebabnya maka Tuan kini lebih daripada wajib pula memperbaiki segala kealpaan itu. Marilah obat-obat sudah siap. Saya mesti memompa isi perut keluar. Lihatlah keadaan ibu Tuan yang sangat pula kuatirnya. Jika Tuan tidak memberi sempat kepada saya buat bekerja dengan selesai, tentu saya terpaksa menggunakan kekerasan.”
“Pompalah dokter … kasihan ibuku … Dokter ... jangan dikatakan … saya ini mi … num sublimate.”
“Mari kuikhtiarkan buat menolong jiwa Tuan. Kewajiban Tuan, kewajiban saya sendiri akan melaksanakan segala ikhtiar, supaya Tuan sembuh kembali.”
“Dokter … tahu percintaan?”
“Tuan Han, bagi Tuan amat melarat, kalau berkata-kata panjang. Baiklah Tuan mendengarkan saja apa yang hendak saya tuturkan, sebagai dokter dan sebagai manusia.
Kita berhadapan sebagai orang yang samasama terpelajar, sama-sama sopan, sama-sama muda, dan sudah tentu sama-sama pula mengetahui dan menderita akan arti cinta. Dengarlah! Sepanjang pendapat saya, cinta itu akan berbukti benar, bila yang menaruhnya tahu menaruh sabar, tahu menegakkan kepalanya di dalam segala rupa mara ancaman serta rintangannya.
Cinta itu tahu memberi korban, kalau perlu. Jika orang yang bercinta seketika saja sudah menundukkan kepala atau mencari jalan hendak … lari, setiap bertemu rintangannya, tidak sucilah cinta itu.
Ingatlah, selain daripada istri yang hilang, Tuan masih punya ibu dan memiliki anak. Kedua makhluk itu berhak pula atas cinta Tuan, dan tak yaitu beringin besar daerah berlindung, tiang teguh daerah bersandar bagi mereka, hanyalah Tuan. Kewajiban terhadap anak yang masih kecil dan kepada ibu yang sudah renta itu harus dijadikan suatu impian yang besar, dan tersesatlah Tuan secara Tuan berkata tadi, bahwa hidup Tuan sudah kosong, tidak menaruh impian lagi, seperti hendak mencucikan dan hendak meneguhkan cinta Tuan kepada seseorang perempuan yang sungguh Tuan cintai, haruslah Tuan terlebih dahulu memegang teguh akan segala kewajiban lantaran insan yang tahu kewajiban itulah saja yang boleh dikatakan manusia, yang layak menaruh dan mendapatkan cinta.
Setelah mendengarkan pembacaan kutipan novel di atas, kalian sanggup menyebutkan tokoh, memilih sifat-sifat tokoh, dan menyimpulkan isi novel. Kalian sanggup menuliskan perincian hal-hal tersebut, sebagaimana berikut ini.
1. Tokoh-tokoh dalam novel “Salah Asuhan” di atas yaitu Hanafi, ibu, dan dokter.
2. Sifat-sifat tokoh yang sanggup kau identifikasi yaitu berikut.
a. Hanafi adalah sosok yang gampang frustasi lantaran sesuatu yang dicita-citakannya tidak tercapai kemudian ia mencari jalan pintas, mengakhiri hidup dengan meminum sublimate (racun pembunuh kuman).
b. Ibu adalah sosok yang menginginkan kehidupan anaknya bahagia, meskipun terkadang apa yang dilakukan oleh ibu belum tentu bisa diterima anaknya.
c. Dokter adalah sosok yang mau berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan hidup dan kehidupan orang lain, meskipun ia tahu bahwa kesempatannya kecil, tapi ia tida berputus asa.
Sebagaimana dikemukakan oleh Teeuw bahwa kehadiran karya sastra tidak dalam kondisi kosong, artinya karya sastra hadir selalu menggambarkan kondisi zamannya.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika kalian mendengarkan pembacaan kutipan novel di antaranya konsentrasi yang cukup. Hal ini diharapkan lantaran sifat pembacaan novel hanya sekali ucap.
Jika konsentrasi tidak kalian lakukan dengan baik, kalian akan kehilangan data-data yang diharapkan terkait dengan isi novel tersebut. Untuk itulah, kesabaran dalam hal mendengarkan sesuatu juga sangat mutlak diperlukan.
Pada ketika pembacaan kutipan novel sedang berlangsung, buatlah catatan-catatan kecil. Catatan-catatan kecil itu akan membantu kalian mendeskripsikan sifat-sifat tokoh yang terdapat dalam novel serta membantu kalian menyimpulkan isi novel tersebut.
Untuk meningkatkan kemampuan kalian, simaklah pembacaan kutipan novel yang akan dilakukan salah seorang teman.
Kutipan Novel Salah Asuhan
Novel Salah Asuhan |
“Maksud Ibu, kalau ia tiba bersamasama dengan Rapiah.”
Air muka Hanafi segera berubah pula, kemudian berkata dengan tetap, ”Janganlah Ibu mengenang-ngenangkan juga hal yang serupa itu. Istriku hanyalah Corrie!”
Ibunya berdiam diri pula; dan sejak itu verbal Hanafi bagai terkatup pula dan tiadalah ia memberi jalan kepada ibunya buat berunding-runding lagi.
Perangainya mulai menguatirkan pula. Makannya mulai kurang; dan setiap malam hampir-hampir tak tidurlah ia. Mukanya makin pucat, sedang matanya cekung, berwarna biru selingkarannya. Ke sawah ia sudah jarang-jarang, kebanyakan ia tinggal berkubur saja di dalam kamarnya.
Pada suatu malam, bersahabat hendak Subuh, terperanjatlah ibu Hanafi mendengar anaknya mengerang. Oleh lantaran Hanafi tidak pernah mengunci pintu kamarnya, dengan gampang orang renta itu sudah masuk ke dalam, kemudian terkejut melihat keadaan anaknya.
Hanafi tidur manangkup, kepalanya menjulur ke luar daerah tidur. Sedang sprei dan tikar pandannya yang ada di muka daerah tidurnya sudah penuh berlumur darah.
“Hanafi! Hanafi! Anakku! Apakah yang sudah terjadi atas dirimu?” demikian ibunya sudah menjerit.
“Tidak berarti, Bu … sakit perut. Tapi … sudah mulai baik.” Seketika ibunya sudah membetuli tidurnya.
“Engkau muntah-muntah darah, Hanafi! Oh, Anakku, siapakah kiranya yang khianat memberi engkau makanan berbisa?”
“Sudah penyakitku … serupa itu, Bu. Dahulu sekali … di Betawi.” ….
Tapi belum sampailah Hanafi kepada meminum segala obat-obat penawar itu, maka datanglah dokter dengan tergopoh-gopoh....
Hanafi memandang segala perbuatan dokter itu dengan senyum, kemudian berkata di dalam bahasa Belanda, “Apakah Tuan … tidak tahu … penyakitku?”
“Tahu betul, Tuan Han!”
“Nah … sublimat, bukan … terminum dengan … kesalahan … tapi … sengaja.”
“Benar, tapi saya wajib menolong Tuan.”
“Sia-sia … banyak kutelan … Tuan tidak berhak … saya sengaja … mau pergi!”
“Tuan harus kasihan kepada ibu Tuan, kepada anak bini Tuan. Perbuatan serupa ini perbuatan kasar, laris … pengecut! Maaf Tuan Han, kalau saya berkata kasar. Tapi laris tersebut bukanlah laris orang yang berani.”
“Memang … kasihan! … Ah ibuku … saya pengecut tapi hidupku kosong … habislah impian … baik enyah!”
“Setiap orang tiadalah hidup buat impian saja, tapi terutama buat kewajiban. Kewajiban pada ibunya, kewajiban pada anak istrinya.”
“Dokter tahu … hal saya?”
“Tahu betul, Tuan Han! Anak-anak kampung pun tidak ada yang mengetahuinya.”
“Nah … kewajiban itu … sudah … usang kusia … siakan.”
“Itulah sebabnya maka Tuan kini lebih daripada wajib pula memperbaiki segala kealpaan itu. Marilah obat-obat sudah siap. Saya mesti memompa isi perut keluar. Lihatlah keadaan ibu Tuan yang sangat pula kuatirnya. Jika Tuan tidak memberi sempat kepada saya buat bekerja dengan selesai, tentu saya terpaksa menggunakan kekerasan.”
“Pompalah dokter … kasihan ibuku … Dokter ... jangan dikatakan … saya ini mi … num sublimate.”
“Mari kuikhtiarkan buat menolong jiwa Tuan. Kewajiban Tuan, kewajiban saya sendiri akan melaksanakan segala ikhtiar, supaya Tuan sembuh kembali.”
“Dokter … tahu percintaan?”
“Tuan Han, bagi Tuan amat melarat, kalau berkata-kata panjang. Baiklah Tuan mendengarkan saja apa yang hendak saya tuturkan, sebagai dokter dan sebagai manusia.
Kita berhadapan sebagai orang yang samasama terpelajar, sama-sama sopan, sama-sama muda, dan sudah tentu sama-sama pula mengetahui dan menderita akan arti cinta. Dengarlah! Sepanjang pendapat saya, cinta itu akan berbukti benar, bila yang menaruhnya tahu menaruh sabar, tahu menegakkan kepalanya di dalam segala rupa mara ancaman serta rintangannya.
Cinta itu tahu memberi korban, kalau perlu. Jika orang yang bercinta seketika saja sudah menundukkan kepala atau mencari jalan hendak … lari, setiap bertemu rintangannya, tidak sucilah cinta itu.
Ingatlah, selain daripada istri yang hilang, Tuan masih punya ibu dan memiliki anak. Kedua makhluk itu berhak pula atas cinta Tuan, dan tak yaitu beringin besar daerah berlindung, tiang teguh daerah bersandar bagi mereka, hanyalah Tuan. Kewajiban terhadap anak yang masih kecil dan kepada ibu yang sudah renta itu harus dijadikan suatu impian yang besar, dan tersesatlah Tuan secara Tuan berkata tadi, bahwa hidup Tuan sudah kosong, tidak menaruh impian lagi, seperti hendak mencucikan dan hendak meneguhkan cinta Tuan kepada seseorang perempuan yang sungguh Tuan cintai, haruslah Tuan terlebih dahulu memegang teguh akan segala kewajiban lantaran insan yang tahu kewajiban itulah saja yang boleh dikatakan manusia, yang layak menaruh dan mendapatkan cinta.
(Salah Asuhan, Abdoel Moeis, 1987)
Setelah mendengarkan pembacaan kutipan novel di atas, kalian sanggup menyebutkan tokoh, memilih sifat-sifat tokoh, dan menyimpulkan isi novel. Kalian sanggup menuliskan perincian hal-hal tersebut, sebagaimana berikut ini.
1. Tokoh-tokoh dalam novel “Salah Asuhan” di atas yaitu Hanafi, ibu, dan dokter.
2. Sifat-sifat tokoh yang sanggup kau identifikasi yaitu berikut.
a. Hanafi adalah sosok yang gampang frustasi lantaran sesuatu yang dicita-citakannya tidak tercapai kemudian ia mencari jalan pintas, mengakhiri hidup dengan meminum sublimate (racun pembunuh kuman).
b. Ibu adalah sosok yang menginginkan kehidupan anaknya bahagia, meskipun terkadang apa yang dilakukan oleh ibu belum tentu bisa diterima anaknya.
c. Dokter adalah sosok yang mau berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan hidup dan kehidupan orang lain, meskipun ia tahu bahwa kesempatannya kecil, tapi ia tida berputus asa.
Kesimpulan isi novel
Isi novel berkisah perihal kehidupan seseorang yang menderita jawaban cinta. Semestinya dengan kekuatan cinta, ia sanggup menikmati hidup dan berbahagia. Sementara itu, pihak orang renta terus berharap biar anaknya sanggup menikah dengan perempuan pilihannya. Namun, Hanafi tetap bersikukuh bahwa istrinya yaitu Corrie. Hanafi rela mengakhiri hidupnya demi memegang teguh cintanya.