Asuransi Syariah
Sejarah Perkembangan Asuransi Syariah
SUDUT HUKUM | Secara historis, kajian wacana “pertanggungan” telah dikenal semenjak zaman dahulu dan telah dipraktikkan di tengah-tengah masyarakat, walaupun dalam bentuk yang sangat sederhana.Ini dikarenakan nilai dasar penopang dari konsep “pertanggungan” yang terwujud dalam bentuk bersama-sama sudah ada bersama dengan adanya manusia.
Asuransi pada awalnya yaitu suatu kelompok yang bertujuan membentuk arisan untuk meringankan beban individu dan menghindari kesulitan pembiayaan.Secara umum konsep asuransi merupakan persiapan yang dibuat sekelompok orang yang masing-masing menghadapai kerugian yang tidak sanggup diduga. Apabila kerugian itu menimpa salah seorang dari mereka yang menjadi anggota perkumpulan itu, maka kerugian itu akan ditanggung bersama oleh mereka.
Kesepakatan kelompok itulah yang menjadi cikal bakal forum asuransi dikemudian hari. Hal yang paling terlihat dalam acara ini yaitu suatu peristiwa yang tidak sanggup diprediksi sebelumnya dan menimbulkan resiko, sehingga mereka berusaha untuk mengalihkan kemungkinan terjadinya resiko tersebut dengan mengikuti sejenis kelompok-kelompok pertanggungan menyerupai tersebut di atas, Transfer of risk begitu nampak di sini.
Jika ditelusuri dalam buku-buku asuransi klasik, maka didapatkan keterangan bahwa asal muasal dari asuransi konvensional yaitu kebiasaan masyarakat Babilonia (4000-3000 SM) yang dikenal dengan perjanjian Hammurabi, dikumpulkan oleh Raja Babilonia dalam 282 ketentuan (code of Hammurabi) pada tahun 2250 SM. Kemudian bermetamorfosis praktik perjanjian Bottomry (Bottomry Contract) sekitar 1600-1000 SM yang dipraktekkan di masyarakat Yunani.
Bottomry yaitu uang atau barang dipinjamkan kepada pedagang untuk tujuan perdagangan, atau sanggup sebagai pinjaman murni dengan membebankan imbalan tertentu atau bunga, dan/atau keduanya, membebankan bunga atas pinjaman uang dan sebagai modal akan mendapat kepingan laba dari hasil perdagangan. Dasar transaksi antara peminjam dengan yang meminjam yaitu atas dasar saling pengertian, yaitu bagi peminjam berkewajiban membayar bunga uang kepada pemberi pinjaman dan peminjam harus dilindungi (dibebaskan) dari kewajiban jikalau dalam melaksanakan perdagangan terjadi kecelakaan atau musibah.Pembayaran bunga dalam bottomry sanggup disamakan dengan premi, peminjam merupakan tertanggung dan yang meminjamkan bertindak sebagai penanggung (asuransi). Kaprikornus praktik yang di lakukan dalam asuransi konvensional yaitu kelanjutan dari praktik bottomry contract semenjak tahun 1600-1000 SM.
Pada catatan sejarah dunia Barat,di kalangan bangsa Romawi muncul gagasan melaksanakan perjanjian asuransi bahari pada era II, lalu memencar dibeberapa kawasan Eropa pada era XIV. Pada tahun 1680 di London bangun asuransi kebakaran sebagai akhir peristiwa kebakaran besar di London pada tahun 1666 yang melahap lebih dari 13.000 rumah dan 100 gereja. Pada era XVIII bermunculan perusahaan asuransi kebakaran di beberapa Negara, menyerupai Perancis dan Belgia di Eropa, dan Amerika.Pada era XIX asuransi jiwa bagi awak kapal mulai dikenal, yang berarti mulanya asuransi jiwa merupakan kepingan dari asuransi laut.Perusahaan asuransi jiwa meluas dan berkembang pada era XX sampai sekarang.Perusahaan bahari dan kebakaran yang pertama kali muncul di Indonesia yaitu bataviansche zee e Brand Assurantie Maatshappij, didirikan pada tahun 1843.Pada tahun 1912 lahir perusahaan asuransi jiwa Bumiputera sebagai perjuangan peribumi.
Secara umum asuransi berdasarkan pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang esensinya yaitu suatu perjanjian yang dengan perjanjian tersebut penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung untuk memperlihatkan penggantian kepadanya lantaran suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan laba yang diperlukan yang mungkin dideritanya lantaran suatu peristiwa yang tidak tertentu.Selain itu pengertian asuransi sanggup dilihat dalam Undang-Undang nomor 2 Tahun 1992. Dalam Pasal 1 ayat (1) tercantum asuransi atau pertanggungan yaitu perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri dengan tertanggung lantaran kerugian, kerusakan, atau kehilangan laba yang diharapkan, atau tanggung jawab aturan kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa tidak niscaya atau untuk memperlihatkan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Kebutuhan akan kehadiran jasa asuransi yang berdasarkan syari’ah diawali dengan mulai beroperasinya bank-bank syari’ah. Hal tersebut sesuai dengan UU No.7 tahun 1992 Tentang Perbankan dan Ketentuan Pelaksanaan Bank Syari’ah.7Pentingnya berasuransi dirasakan oleh masyarakat semakin mendesak seiring perkembangan jaman.Manfaat dalam berasuransi diharapakan masyarakat sanggup mengurangi penderitaan yang diakibatkan dari peristiwa alam yang telah terjadi. Disamping itu keberadaan asuransi akrab hubungannya dengan dunia perbankan sendiri, contohnya dicantumkan klausula perjanjian antara bank dengan nasabah berupa keharusan bagi nasabah untuk mengasuransikan barang yang menjadi jaminan kredit atau pembiayaannya.
Asuransi atau pertanggungan merupakan forum keuangan bukan bank yang sampai ketika ini masih menimbulkan pro dan kontra (debatable) di kalangan para jago hukum Islam.Hal ini lebih disebabkan lantaran di dalam al-Quran dan al-Hadis tidak ada satu pun ketentuan yang secara eksplisit mengatur wacana asuransi. Secara garis besar pendapat para jago aturan Islam terhadap asuransi sanggup dibedakan menjadi empat pandangan, yaitu:
- Mengharamkan asuransi dalam segala macam dan bentuknya menyerupai kini ini. Kelompok ini antara lain Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh al-sunnah, Abdullah al-Qalqili, Muhammad Yusuf al-Qardhawi, dan Muhammad Bakhit al-Mu’thi. Alasan mereka asuransi pada hakikatnya sama dengan judi, mengandung unsur tidak pasti, riba dan eksploitasi, asuransi termasuk aqad shanfi, yaitu tukar-menukar mata uang tidak dengan uang tunai, hidup matinya insan dijadikan objek bisnis, berarti mendahului takdir Tuhan.
- Membolehkan semua asuransi dalam praktiknya cukup umur ini. Pendapat ini dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf, Mustafa Ahmad Zarqa, Muhammad yusuf Musa. Alasan mereka yaitu tidak adanya nash al-Qur’an dan al-Hadits yang melarang asuransi, pihak-pihak dalam asuransi melakukannya dengan kerelaan dan penuh tanggung jawab, intinya asuransi menguntungkan dua belah pihak, asuransi mengandung kepentingan umum dengan meninvestasikan premi yang terkumpulpada proyek produktif, asuransi termasuk aqad mudharabah dan syirkah ta‟awuniyah.
- Membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang bersifat komersial semata. Dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah. Beliau mengadopsi dua pandangan wacana asuransi di atas.
- Menganggap bahwa asuransi bersifat syubhat lantaran tidak ada dalil-dalil syar’i yang secara terang mengharamkan atau menghalalkannya. Konsekuensinya yaitu umat Islam ditentukan untuk berhati-hati (al-ihtiyah) dalam menghadapi asuransi. Umat Islam gres sanggup mendirikan perusahaan asurasi apabila dalam keadaan darurat.
Dalam Islam, praktik asuransi pernah dilakukan pada masa Nabi Yusuf as. yaitu pada ketika ia menafsirkan mimpi dari Raja Firaun. Suatu hari sang raja bermimpi yang diartikan oleh Nabi Yusuf bahwa selama 7 tahun negeri Mesir akan mengalami panen yang berlimpah dan lalu diikuti oleh masa paceklik selama 7 tahun berikutnya. Untuk berjaga-jaga terhadap peristiwa kelaparan tersebut Raja Firaun mengikuti saran Nabi Yufus dengan menyisihkan sebagian dari hasil panen pada 7 tahun pertama sebagai cadangan materi makanan pada masa paceklik.Dengan demikian pada masa 7 tahun paceklik rakyat Mesir terhindar dari risiko peristiwa kelaparan hebat yang melanda seluruh negeri.
Dalam literatur Islam asal mula asuransi dikenal dengan konsep aqilah yang sering terjadi dalam sejarah pra-Islam dan diakui dalam literatur aturan Islam. Jika salah satu anggota suku Arab pra-Islam melaksanakan pembunuhan, maka beliau (si pembunuh) dikenakan diyat dalam bentuk blood money (uang darah) yang sanggup ditanggung oleh suku yang lain. Terkait hal tersebut, hadist Nabi uhammad SAW yang diriwayatkan Bukhari berbunyi:
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah R.A, beliau berkata: Berselisihlah dua orang perempuan dari suku Huzail, lalu salah satu perempuan tersebut melempar kerikil betu ke perempuan yang lain sehingga mengakibatkan maut perempuan tersebut beserta janin yang dikandungnya. Maka jago waris dari perempuan yang meninggal tersebut mengadukan peristiwa tersebut kepada Rasulullah SAW., maka Rasulullah SAW tetapkan ganti rugi dari pembunuhan terhadap janin tersebut dengan pembebasan seorang budak pria atau perempuan, dan tetapkan ganti rugi maut perempuan tersebut dengan uang darah (diyat) yang dibayarkan oleh aqilahnya (kerabat dari orang bau tanah laki-laki).” (H.R Bukhari)
Aqilah yaitu praktik yang biasa terjadi pada suku Arab kuno.Kata aqilah bermakna asabah, yang memperlihatkan kekerabatan kekerabatan dari pihak orang bau tanah pria pembunuh.Oleh lantaran itu, fatwa dasar wacana aqilah yaitu menyerupai itu, di mana suku Arab kuno telah menyiapkan pembayaran uang donasi untuk kepentingan si pembunuh sebagai pengganti kerugian untuk jago waris korban. Kerelaan untuk melaksanakan pembayaran uang menyerupai itu sanggup disamakan dengan pembayaran premi pada praktik asuransi, sementara itu kompensasi pembayaran di bawah aqilah sanggup disamakan dengan penggantian kerugian (indemnity) pada praktik asuranasi ketika ini,sebagai satu bentuk pinjaman dalam bidang keuangan bagi jago waris dari sebuah maut yang tidak diperlukan oleh korban. Dalam tahap selanjutnya, asuransi telah berkembang dan memasuki fase yang lebih modern lagi, lantaran lebih terorganisir dan memakai contoh administrasi yang lebih baik.
Di Indonesia berdirinya Bank Mu’amalat Indonesia pada bulan juli 1992 memunculkan fatwa gres di kalangan ulama dan praktisi ekonomi syariah ketika itu, untuk menciptakan asuransi syariah. Hal ini dikarenakan operasional bank syariah tidak sanggup terlepas dari praktik asuransi yang sesuai, tentu tidak lepas dari prinsip-prinsip syaria’ah. Pada tanggal 27 Juli 1993 dibuat tim TEPATI (Tim Pembentukan Takaful Indonesia) yang disponsori oleh Yayasan Abdi Bangsa (ICMI), Bank Mu’amalat Indonesia, Asuransi Tugu Mandiri, dan Departemen Keuangan (Depkeu). Selanjutnya beberapa orang anggota tim TEPATI berangkat ke Malaysia untuk mempelajari operasional asuransi Islam pada tanggal 7-10 September 1993. Seteah itu melaksanakan banyak sekali persiapan, termasuk melaksanakan seminar nasional bulan Oktober 1993 di Hotel Indonesia.