Wujud Independensi Kekuasaan Kehakiman

SUDUT HUKUM | Independensi kekuasaan kehakiman sanggup dibedakan ke dalam empat bentuk, yaitu:

  • independensi konstitusional (Constitutionele Onafhankelijkheid).

Independensi ini merupakan independensi yang dihubungkan dengan dogma Trias Politica dengan sistem pembagian kekuasaan berdasarkan Montesquieu, dimana forum kekuasaan kehakiman harus independen dalam arti kedudukan kelembagaannya harus bebas dari imbas politik.

  • independensi fungsional (Zakelijke of Functionele Onafhankelijkheid).

Independensi ini berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh hakim saat menghadapi suatu sengketa dan harus memperlihatkan putusan sehingga setiap hakim sanggup menjalankan kebebasannya untuk menafsirkan undang- undang apabila undang-undang tidak memperlihatkan pengertian yang jelas. Akan tetapi hal ini juga dibatasi oleh Independensi substansial, dimana hakim tidak boleh memutus suatu masalah tanpa dasar hukum. Hakim juga sanggup mencabut suatu ketentuan perundang-undangan yang dianggap bertentangan dengan keadilan atau konstitusi.

  • independensi personal hakim (Persoonlijke of Rechtspositionele Onafhankelijkheid).

Independensi ini mengenai kebebasan hakim secara individual saat berhadapan dengan suatu sengketa. Hakim sebagai mesin penggagas forum kekuasaan kehakiman harus benar-benar bebas dari segala bentuk tekanan, pengekangan, ancaman, intimidasi dan lain sebagainya, baik dari forum struktur organisasi peradilan, maupun berasal dari luar forum peradilan yang membuat jiwa dan perasaan hakim merasa tidak nyaman, tidak bebas dalam menjalankan tugasnya.

  • independensi simpel (Praktische of Feitelijke Onafhankelijkheid).

Independensi ini ialah independensi hakim untuk tidak berpihak (imparsial). Hakim harus mengikuti perkembangan pengetahuan masyarakat yang sanggup dibaca atau disaksikan dari media. Hakim tidak boleh dipengaruhi oleh berita-berita tersebut, hakim juga harus bisa menyaring desakan-desakan dalam masyarakat untuk dipertimbangkan dan diuji secara kritis dengan ketentuan hukum yang sudah ada. Hakim harus mengetahui hingga sejauh mana sanggup menerapkan norma-norma sosial ke dalam kehidupan bermasyarakat.

Dengan   demikian   dapat disimpukan   bahwa kemandirian kekuasaan kehakiman sanggup dilihat dari tiga jenis:

a. kemandirian lembaganya atau institusinya.
Kemandirian dalam hal ini merupakan kemandirian yang berkaitan dengan forum peradilannya itu sendiri. Para meter berdikari atau tidaknya suatu institusi peradilan sanggup dilihat dari apakah adanya ketergantungan dengan forum lainnya atau kekerabatan hierarkhis ke atas secara formal dimana forum atasannya sanggup campur tangan dan menghipnotis kebebasan atau kemandirian terhadap forum peradilan tersebut.

b. kemandirian proses persidangannya.
Kemandirian dalam hal ini dimulai dari proses investigasi perkara, pembuktian hingga pada putusan yang dijatuhkannya. Parameter berdikari atau tidaknya suatu proses peradilan ditandai dengan ada atau tidakanya campur tangan dari pihak lain diluar kekuasaan kehakiman yang dengan banyak sekali upaya menghipnotis jalannya proses peradilan baik secara pribadi maupun tidak langsung.

c. kemandirian hakim.
Kemandirian dalam hal ini dibedakan tersendiri, lantaran hakim secara fungsional merupakan tenaga inti penegakan aturan dalam menyelenggarakan proses peradilan. Parameter berdikari atau tidaknya hakim dalam menyidik masalah sanggup dilihat dari kemampuan dan ketahanan hakim dalam menjaga integritas moral dan kesepakatan kebebasan profesinya dalam menjalankan kiprah dan wewenangnya dari adanya campur tangan pihak lain dalam proses peradilan.

Hakim ialah salah satu predikat yang menempel pada seseorang yang mempunyai pekerjaan dengan spesifikasi khusus dalam bidang aturan dan peradilan sehingga banyak bersinggungan dengan duduk masalah mengenai kebebasan dan keadilan secara legal dalam konteks putusan atas masalah yang dibuat.  Setiap kebebasan selalu menempel pada individu insan sebagai salah satu hak  dasar yang dimilikinya sebagaimana hakim yang menyidik dan memutus masalah menjadi bentuk pertanggungjawaban hakim baik secara moral maupun sesuai dengan hati nurani terhadap setiap putusan, yang mewajibkan hakim dengan memperlihatkan pendapat pada setiap masalah yang diputus.
Jangkauan kebebasan hakim dalam melaksanakan fungsi Independensi kekuasaan kehakiman ialah kebebasan yang terbatas dan bermakna:

  1. bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya, sehingga kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan fungsi peradilan harus bangkit sendiri, tidak berada di bawah subordinasi atau berada dibawah imbas dan kendali tubuh eksekutif, legislatif, atau tubuh kekuasaan lainnya.
  2. bebas dari paksaan, direktiva, atau rekomendasi yang tiba dari pihak ekstra yudisial. Sehingga hakim dalam melaksanakan fungsi peradilan tidak boleh dipaksa untuk mengambil putusan yang dikehendaki pihak yang memaksa. Paksaan yang tiba dari siapapun dan dalam bentuk apapun tidak dibenarkan. Begitupula pengarahan dan rekomendasi yang tiba dari luar lingkungan peradilan tidak dibenarkan. Hakim harus mempunyai keberanian nurani yang sungguh melaksanakan fungsi dan kewenangan peradilan.
  3. kebebasan untuk melaksanakan wewenang yudisial (peradilan) yaitu :


a. menerapkan aturan yang bersumber dari pera turan perundang-undangan yang sempurna dan benar dalam menuntaskan masalah masalah yang sedang diperiksa.
b. menafsirkan hukum yang sempurna melalui cara-cara pendekatan penafsiran (penafsiran sistemik, sosiologi, bahasa, analogis dan a contrario)
c. mencari dan menemukan hukum, dasar-dasar, asas-asas aturan melaui dogma ilmu hukum, norma aturan tidak tertulis (hukum adat), yurisprudensi maupun melalui pendekatan realism yakni mencari dan menemukan aturan yang terdapat pada nilai ekonomi, moral, agama, kepatutan dan kelaziman.

Kebebasan hakim menjelaskan bahwa tidak boleh adanya intervensi dari pihak-pihak extra judicial lainnya dalam peradilan, sehingga sanggup mendukung terciptanya kondisi yang aman bagi hakim dalam menjalankan tugas-tugasnya di bidang yudisial. Dengan demikian sanggup membuat putusan hakim yang berkualitas, mengandung unsur keadilan, kepastian aturan dan kemanfaatan.

Akan tetapi kebebasan hakim tidak sekedar berarti imparsialitas hakim dari imbas eksekutif, legislatif, bahkan dari internal lemba ga yudikatif itu sendiri. Independensi tidak hanya bermakna merdeka, bebas, imparsial, atau tidak memihak dengan individu, kelompok atau organisasi kepentingan apapun, atau tidak tergantung dan dipengaruhi oleh kekuatan apapun. Independensi bermakna pula sebagai kekuatan atau power, paradigma, moral dan spirit untuk menjamin bahwa hakim akan menegakan aturan demi kepastian dan keadilan.

Indepedensi kekuasaan kehakiman akan mewujudkan suatu kebebasan individual atau kebebasan eksistensial pada hakim. Kebebasan eksistensial ialah kebebasan hakiki yang di miliki oleh setiap insan tanpa melihat predikat yang menempel padanya. Pada profesi hakim, kebebasan eksistensial menegaskan bahwa seorang hakim harus bisa memilih dirinya sendiri dalam membuat putusan pengadilan.

Kebebasan eksistensial pada hakikatnya tersendiri dalam kemampuan insan untuk memilih dirinya sendiri. Sifatnya positif, artinya kebebasan itu tidak menekankan segi bebas dari apa, melainkan bebas untuk apa. Kebebasan tersebut ialah tanda dan ungkapan martabat manusia. Karena kebebasannya insan ialah makhluk otonom, yang memilih diri sendiri, yang sanggup mengambil sikapnya sendiri. Itulah sebabnya kebebasan ialah mahkota martabat sebagai manusia.

Kebebasan eksistensial seorang hakim ialah kebebasan untuk memilih sebuah keputusan pengadilan atas masalah yang diadili, yang mensyaratkan bahwa keputusan yang diambil harus mempertimbangkan objektivitas keputusan dengan tanpa tekanan dari pihak manapun. Ketika terjadi pemfokusan yang dimungkinkan akan menghipnotis keputusan yang diambil, seorang hakim harus bisa mengambarkan kebebasan eksistensialnya dengan objektivitas keputusan yang diambilnya.

Pada hakekatnya, independensi merupakan sifat pembawaan dari setiap peradilan. Tetapi kebebasan ini tidaklah mutlak, tidak berarti bahwa hakim sanggup berbuat sewenang-wenang, “Such independence implies freedom from interference by the Executive or Legialative with the exerciae of the judicial function, but does not mean that the judge entitled to act in an arbitary  manner”.

Adapun bentuk pembatasan kebebasan hakim dalam memutus  masalah antara lain:

  • hakim hanya memutus berdasarkan hukum.

Setiap putusan hakim harus sanggup mengambarkan secara tegas ketentuan aturan yang diterapkan dalam suatu masalah kongkret. Hal ini sejalan dengan asas legalitas bahwa suatu tindakan haruslah berdasarkan aturan hukum. Asas legalitas menuntut suatu kepastian huk um bahwa seseorang yang dinyatakan bersalah melaksanakan suatu perbuatan yang didakwakan kepadanya, telah ada sebelumnya suatu ketentuan  perundang-undangan yang mengatur perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang dilarang.

Segala putusan hakim atau putusan pengadilan selain harus memuat alasan- alasan dan dasar-dasar dari putusan tersebut, juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber aturan tidak tertulis yang dijadikan dasar mengadili.

  • hakim memutus untuk keadilan.


Untuk mewujudkan keadilan , hakim dimungkinkan untuk menafsirkan, melaksanakan kontruksi hukum, bahkan tidak menerapkan atau mengesampingkan suatu ketentuan yang berlaku. Apabila hakim tidak sanggup menerapkan aturan yang berlaku, maka hakim wajib menemukan aturan demi terwujudnya putusan yang adil. Karena penafsiran, konstruksi, tidak menerapkan aturan atau menemukan aturan tersebut semata- mata untuk mewujudkan keadilan, tidak sanggup dilaksanakan secara sewenang-wenang.

Undang-undang telah menggariskan bahwa hakim sebagai penegak aturan dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai- nilai aturan yang hidup didalam masyarakat.

Dalam Conferensi International Commission of Jurist juga menjelaskan bahwa kebebasan hakim pada hakekatnya diikat dan dibatasi oleh rambu-rambu tertentu. “Independence does not mean that the judge is entitled to act in an arbitary manner”. Ketentuan dari segi prosedural maupun substansial atau materiil sudah menjadi batasan bagi hakim supaya dalam melaksanakan independensinya tidak melanggar aturan dan bertindak adikara dimana hakim ialah subordinated pada aturan dan tidak sanggup bertindak contra legem. Sehingga dalam konteks kebebasan hakim haruslah diimbangi dengan pasangannya yaitu akuntabilitas peradilan.

Kekuasaan negara yang merdeka haruslah berdasarkan Pancasila maka dengan demikian nilai- nilai yang terkandung dalam Pancasila harus dipahami sebagai batas-batas pertanggungjawaban dan ukuran kebebasan hakim yang bertanggungjawab. N ilai- nilai filsafat yang terkandung dalam Pancasila sanggup dijadikan sebagai alat untuk merefleksikan makna hakiki kebebasan hakim dalam konteks rule of law di Indonesia.