Dasar Aturan Impeachment

SUDUT HUKUM | Sebagai perwujudan negara aturan yang demokratis, dalam hal Presiden/Wakil Presiden RI diduga berpengaruh melaksanakan pelanggaran hukum, maka Presiden/Wakil Presiden diproses berdasarkan mekanisme katatanegaraan. Adapun wacana definisi Negara hukum, ada beberapa konsep. Salah satu diantaranya ibarat yang dikemukakan Franz Magnis Suseno (1988 :298-301) yang mendapatkannya dari ilmu politik, secara singkat (terbatas), yaitu:
  1. Kekuasaannya dijalankan sesuai dengan aturan positif yang berlaku. Bahwa sebuah Negara meupakan Negara aturan berarti bahwa alat-alat Negara mempergunakan kekuasaan mereka hanya sejauh berdasarkan aturan yang berlaku dan dengan cara yang ditentukan dalam hukum itu
  2.  Kegiatan Negara berada dibawah control kekuasaan Kehakiman yang efektif. Alat-alat Negara semua tingkat berada di bawah control Kehakiman. Dalam pelaksanaan fungsi-fungsi mereka dikontrol yang diciptakan khusus untuk tujuan itu berdasarkan undang-undang dasar, ialah masyarakat.
  3. Berdasarkan sebuah undang-undang dasar yang menjamin hak-hak asasi manusia. Negara hanya sanggup disebut Negara aturan apabila aturan yang diikutinya ialah aturan yang baik dan adil. Artinya, aturan sendiri secara adab harus sanggup dipertanggungjawabkan.
  4. Menurut pembagian kekuasaan. Pembagian kekuasaan yang sudah semenjak Aristoteles dipandang sebagai sayarat bagi keteraturan Negara yang baik dan telah saya bicarakan delam hubungan dengan teori Negara Locked an Montesqueiu merupakan jaminan atau prasyarat structural terpenting semoga Negara hukumdapat menjadi kenyataan.

Sebagai dasar aturan Impeachment, ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945, yaitu pada Pasal 24 c (2) Mahkamah Konstitusi wajib menawarkan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan Wapres berdasarkan undang-undang Dasar.

Pasal 7A
Presiden dan/atau Wapres sanggup diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat , baik apabila terbukti telah melaksanakan pelanggaran aturan berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Pasal 7B
(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wapres sanggup diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan ajakan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyidik mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wapres tidak melaksanakan pelanggaran aturan berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wapres tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wapres telah melaksanakan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wapres ialah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Pengajuan ajakan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya sanggup dilakukan dengan derma sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(4) Mahkamah Konstitusi wajib menyidik mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling usang sembilan puluh hari sesudah ajakan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.
(5) Apabila Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa Presiden dan/atau Wapres terbukti melaksanakan pelanggaran aturan berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wapres tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wapres kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk menetapkan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari semenjak Majelis Permusyawaratan Rakyat mendapatkan usul tersebut. 
(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wapres harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, sesudah Presiden dan/atau Wapres diberi kesempatan memberikan klarifikasi dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Perubahan Undang-Undang Dasar 45 mengatur wacana mekanisme pemilihan Presiden dan Wapres secara eksklusif oleh rakyat (Pasal 6A UUD’45). Kesepakatan politik yang melatarbelakangi pembentukan pasal ini ialah demokrasi dan sistem pemerintahan presidential. Kedua aspek ini diwujudkan dengan Pilpres Langsung yang mengarahkan adanya legitimasi yang berpengaruh dari rakyat terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian, rakyat yang jelas-jelas mempunyai kedaulatan terhadap Presiden dan Wakil Presiden.

  • Dalam system presidensiil, setidaknya terdapat cirri-ciri antara lain sebagai berikut:

  1. Masa jabatan Presiden yang bersifat niscaya (fixed term) yang didalam Undang-Undang Dasar 45 telah ditetapkan selama 5 (lima) tahun
  2. Presiden ialah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan
  3. Adanya mekanisme saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and balances)
  4. Adanya mekanisme impeachment

  • Presiden dan Wapres yang dipilih eksklusif oleh rakyat tidak sanggup dijatuhkan dalam masa jabatannya, kecuali melanggar aturan berdasarkan hal-hal yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 45. Dalam sejarah politik, Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid telah menjadi korban dari penafsiran atas Undang-Undang Dasar 45 yang dulunya tidak mengatur mekanisme konstitusional wacana impeachment. Oleh alasannya itu Undang-Undang Dasar 45 hasil Perubahan memasukan mekanisme konstitusional wacana impeachment semoga terlihat konsistensi penerapan negara aturan yaitu tidak ada pengecualian penerapan hukum, bahkan terhadap Presiden sekalipun.
  • Dalam Perubahan Undang-Undang Dasar 45, pengaturan wacana impeachment terpilah menjadi 2 (dua) bagian, yaitu:

  1. Alas an pemberhentian Presiden dan/atau Wapres dalam masa jabatannya (Pasal 7A Undang-Undang Dasar 45)
  2. Prosedur pemberhentian Presiden dan/atau Wapres dalam masa jabatannya (Pasal 7B Undang-Undang Dasar 45)

Ketentuan ini sanggup kita pahami dengan memakai interprestasi grammatical bahwa istilah “dan/atau” merujuk pada pemberhentian Presiden, Wakil Presiden, atau keduanya sekaligus. Meskipun pada waktu Pilpres keduanya ialah satu paket pencalonan (Pasal 6A Undang-Undang Dasar 45), namun mereka sanggup diberhentikan secara terpisah atau eksklusif kedua-duanya ekaligus. Dalam konteks prosedural, dewan perwakilan rakyat merupakan forum pertama yang mengawali proses pemberhentian (impeachment). Karenanya, dewan perwakilan rakyat harus rinci dalam mengajukan bantalan an—alasan pemberhentian terhaap Presiden dan/atau Wakil Presiden.

  • Alasan pemberhentian tehadap Presiden dan/atau Wapres yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 45, tidak bersifat politik dan focus pada pelanggaran hukum, yaitu:

  1. pengkhianatan terhadap negara
  2. korupsi dan penyuapan
  3. tindak pidana berat lainnya
  4. perbuatan tercela
  5. terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden

  • Alasan-alasan pemberhentian tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 10 ayat (3) UU No.24/2003 wacana Mahkamah Konstitusi, yaitu:

  1. pengkhianatan tehadap negara ialah tindak pidana tehadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam UU
  2. korupsi dan penyuapan ialah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam UU
  3. Tindak pidana berat lainnya ialah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5(lima) tahun atau lebih
  4. Perbuatan tercela ialah perbuatan yang sanggup merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden
  5. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wapres ialah syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 UUD.

Khusus bidang pertahanan dan keamanan, untuk mempertegas istilah “tindak pidana terhadap keamanan negara, antara lain sebagai berikut:
  1. Definisi dan ruang lingkup keamanan negara dalam UU Mahkamah Konstitusi tersebut perlu dijabarkan dalam suatuu peraturan perundang-undangan
  2. Selama ini terdapat UU No.3/2002 wacana Pertahanan Negara dan UU No.2/2002 wacana Kepolisian Negara, yang tidak membahas perihal “Keamanan Negara”. Kedua peraturan peundang-undangan tesebut hanya mendefinisikan ruang lingkup Pertahanan Negara dan Keamanan Dalam Negeri
  3. Perlu disusun RUU Pertanahan dan Keamanan Negara dengan memasukkan kategori tindak pidana terhadap keamanan negara yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.