hukum
Pengertian ”Sengketa Pilkada”
SUDUT HUKUM | Sengketa terjadi lantaran adanya benturan kepentingan. Oleh lantaran itu seiring dengan perkembangan masyarakat muncul hukum yang berusaha untuk meminimalisir aneka macam benturan kepentingan dalam masyarakat. Beberapa kurun yang kemudian spesialis filsafat yang berjulukan Cicero mengatakan, “Ubi Societas Ibi Ius” artinya, dimana ada masyarakat maka di situ ada hukum. Pernyataan ini sangat sempurna sekali lantaran adanya aturan itu ialah berfungsi sebagai kaidah atau norma dalam masyarakat. Kaidah atau norma itu ialah patokan-patokan mengenai sikap yang dianggap pantas. Kaidah berkhasiat untuk menyelaraskan tiap kepentingan anggota masyarakat. Sehingga di masyarakat tidak akan terjadi benturan kepentingan antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya.
Menurut Van Kan, kepentingan-kepentingan insan sanggup saling bertumbukan jikalau tidak dikendalikan oleh kaidah, sehingga lahirlah kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan sebagai perjuangan insan untuk menyelaraskan kepentingan-kepentingan itu. Tetapi, ketiga kaidah di atas ternyata memiliki kelemahan:
- Kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan belum cukup melindungi kepentingan-kepentingan insan dalam masyarakat lantaran ketiga kaidah ini tidak memiliki hukuman yang tegas dan sanggup dipaksakan.
- Kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan belum mengatur secara keseluruhan kepentingan-kepentingan insan ibarat kepentingan insan dalam bidang pertanahan, kehutanan, kelautan, udara dan lain-lain.
Oleh lantaran itu, diharapkan satu kaidah lagi yang sanggup menjawab dua kelemahan di atas. Kaidah tersebut ialah kaidah hukum. Kaidah hukum memiliki sifat pemaksa artinya jikalau seseorang melanggar kepentingan orang lain maka ia akan dipaksa oleh aturan untuk mengganti rugi atau bahkan dicabut hak kebebasannya dengan jalan dimasukan ke penjara biar kepentingan orang lain itu tidak terganggu. Lain dengan ketiga kaidah sebelumnya yang tidak memiliki hukuman yang sanggup dipaksakan.
Kaidah aturan juga mengisi kelemahan ketiga kaidah tadi yaitu dengan jalan berusaha mengatur seluruh peri kehidupan yang bekerjasama dengan insan sebagai anggota masyarakat maupun sebagai individu. Contohnya, aturan mulai mengatur dari insan itu dilahirkan hingga meninggal dunia. Hukum juga mengatur ihwal kepentingan manusia/masyarakat terhadap tanahnya, kepentingan dari segi administrasinya, hak-hak dan lain-lain. Sehingga di dalam masyarakat yang komplek kepentingannya, maka aturan pun akan turut mengimbanginya.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan Dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yang dimaksud dengan pemilihan kepala kawasan dan wakil kepala kawasan yang selanjutnya disebut pemilihan ialah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota menurut Pancasila danUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 untuk menentukan kepala kawasan dan wakil kepala daerah.
Dasar aturan ialah Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dengan ditetapkannya Undang-undang ini, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah memiliki tugas yang sangat strategis dalam rangka pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, kesejahteraan masyarakat, memelihara hubungan yang harmonis antara Pemerintah dan Daerah serta antar Daerah untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan Pasal 106 ayat (1) Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala kawasan dan wakil kepala kawasan hanya sanggup diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari sesudah penetapan hasil pemilihan kepala kawasan dan wakil kepala daerah. Kemudian ayat (2) menyatakan: Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan hasil perhitungan bunyi yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. Ayat (3) menyatakan: Pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pengadilan tinggi untuk pemilihan kepala kawasan dan wakil kepala kawasan provinsi dan kepada pengadilan negeri untuk pemilihan kepala kawasan dan wakil kepala kawasan kabupaten/kota. Ayat (4) menyatakan: Mahkamah Agung memutus sengketa hasil penghitungan bunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 14 (empat belas) hari semenjak diteirmanya permohonan keberatan oelh Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung. Ayat (5) menyatakan: Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat final dan mengikat. Ayat (6) menyatakan: Mahkamah Agung dalam melakukan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sanggup mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi untuk memutus sengketa perhitungan bunyi pemilihan kepala kawasan dan wakil kepala kawasan kabupaten dan kota. Ayat (7) menyatakan: Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) bersifat final.
Selanjutnya ketentuan Pasal 106 di atas diulang secara utuh dalam Pasal 94 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 ihwal Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pasal 94 selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
(1) keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan hanya sanggup diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari sesudah penetapan hasil pemilihan.
(2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan hasil perhitungan bunyi yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.
(3) Pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sanggup disampaikan kepada pengadilan tinggi untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dan Pengadilan Negeri untuk pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota.
(4) Mahkamah Agung memutus sengketa hasil penghitungan bunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 14 (empat belas) hari semenjak diterimanya permohonan keberaatn oleh Pengdailan Negeri/Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung.
(5) Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat final dan mengikat.
(6) Mahkamah Agung dalam melakukan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sanggup mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi untuk memutus sengketa hasil perhitungan bunyi pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota.
(7) Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) bersifat final dan mengikat.
Dasar aturan yang terakhir ialah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005 ihwal Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada Dari KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota.
Pangkal sengketa ialah objek atau wilayah kompetensi yang sanggup dikategorikan sebagai sengketa Pilkada. Pangkal sengketa ini kerap disalah artikan oleh para penegak hukum. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, bentuk-bentuk pelanggaran pemilu ibarat kecurangan, tidak terdaftar sebagai pemilih dan bentuk kecurangan lainya di laporkan ke Komite Pengawas Pemilu yang dilanjutkan ke tingkat kepolisian.
Pasal 106 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ihwal Pemerintahan Daerah menyebutkan "Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) hanya berkenaan dengan hasil perhitungan bunyi yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon". Hal serupa juga terlihat pada Pasal 94 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dan juga Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005 ihwal Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada Dari KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota. Ayat tersebut terperinci dan tegas menyatakan bahwa yang jadi pokok keberatan yang akan dilayani ialah mengenai hasil perhitungan bunyi yang berarti proses simpulan dari Pilkada.
Rujukan
- Soerjono Soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum (Bandung : Alumni, 1986)
- J. Van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta : PT Pembangunan Ghalia Indonesia, 1982).