Prinsip-Prinsip Toleransi Antar Umat Beragama

SUDUT HUKUM | Dalam melakukan toleransi beragama kita harus mempunyai sikapatau prinsip untuk mencapai kebahagiaan dan ketenteraman. Adapun prinsip tersebut adalah:
  • Kebebasan Beragama

Hak asasi insan yang paling esensial dalam hidup adalah hakkemerdekaan/kebebasan baik kebebasan untuk berfikir maupun kebebasan untuk berkehendak dan kebebasan di dalam memilih kepercayaan/agama. Hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT dalam Q.S Al-Baqarah : 256
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam) ; sesungguhnya telah terang jalan yang benar daripada jalan yang sesat.”
Kebebasan merupakan hak yang mendasar bagi manusia sehingga hal iniyang sanggup membedakan insan dengan makhluk yang lainnya.

sikapatau prinsip untuk mencapai kebahagiaan dan ketenteraman Prinsip-Prinsip Toleransi Antar Umat Beragama


Kebebasan beragama sering kali disalahartikan dalam berbuatsehingga insan ada yang memiliki agama lebih dari satu. Yang dimaksudkan kebebasan beragama di sini bebas menentukan suatu kepercayaan atau agama yang berdasarkan mereka paling benar dan membawa keselamatantanpa ada yang memaksa atau menghalanginya, kemerdekaan telah menjadisalah satu pilar demokrasi dari tiga pilar revolusi di dunia. Ketiga pilar tersebut yaitu persamaan, persaudaraan dan kebebasan.

Kebebasan beragama atau rohani diartikan sebagai suatu ungkapanyang memperlihatkan hak setiap individu dalam menentukan keyakinan suatu agama.

Di Indonesia dalam peraturan UUD disebutkan padapasal 29 ayat 2 yang menyatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat berdasarkan agamanya dan kepercayaannya itu “. Hal ini jelas bahwa negara sendiri menjamin penduduknya dalam menentukan dan memeluk agama/keyakinannya masing-masing serta menjamin dan melindungi penduduknya di dalam menjalankan peribadatan menurut agama dan keyakinannya masing-masing.
  • Penghormatan dan Eksistensi Agama lain

Islam mengakui keberadaan agama lain tanpa mengakui kebenaran ajaran agama tersebut, sebagaimana pada masa Nabi juga diakui eksistensi agama selain Islam, antara lain Yahudi, Nasrani, Mjusi.

Etika yang harus dilaksanakan dari perilaku toleransi setelahmemberikan kebebasan beragama yaitu menghormati eksistensi agama lain dengan pengertian menghormati keragaman dan perbedaan ajaran-ajaran yang terdapat pada setiap agama dan kepercayaan yang ada baik yang diakui negara maupun belum diakui oleh negara.

Menghadapi realitas ini setiap pemeluk agama dituntut agar senantiasamampu menghayati sekaligus memposisikan diri dalam konteks pluralitas dengan didasari semangat saling menghormati dan menghargai eksistensi agama lain.Dalam bentuk tidak mencela atau memaksakan maupun bertindak sewenang-wenangnya dengan pemeluk agama lain.
  • Agree in Disagreement

“Agree in Disagreement“ (setuju di dalam perbedaan) adalah prinsipyang selalu didengugkan oleh Prof. DR. H. Mukti Ali. Perbedaan  tidak harus ada permusuhan, alasannya perbedaan selalu ada di dunia ini, dan perbedaan tidak harus menjadikan pertentangan.

Dari sekian banyak pedoman atau prinsip yang telah disepakatibersama, Said Agil Al Munawar mengemukakan beberapa pedoman atau prinsip, yang perlu diperhatikan secara khusus dan perlu disebarluaskan ibarat tersebut di bawah ini.

  1. Kesaksian yang jujur dan saling menghormati (frank witness and mutual respect) Semua pihak dianjurkan membawa kesaksian yang terus terangtentang kepercayaanya di hadapan Tuhan dan sesamanya, agar keyakinannya masing-masing tidak ditekan ataupun dihapus oleh pihak lain. Dengan demikian rasa curiga dan takut sanggup dihindarkan serta semua pihak sanggup menjauhkan perbandingan kekuatan tradisi masing-masing yang sanggup menjadikan sakit hati dengan mencari kelemahan pada tradisi keagamaan lain.
  2. Prinsip kebebasan beragama (religius freedom). Meliputi prinsip kebebasan perorangan dan kebebasan sosial (individual freedom and social freedom) Kebebasan individual sudah cukup terang setiap orang memiliki kebebasan untuk menganut agama yang disukainya, bahkan kebebasan untuk pindah agama. Tetapi kebebasan individual tanpa adanya kebebasan sosial tidak ada artinya sama sekali. Jika seseorang benar-benar mendapat kebebasan agama, ia harus sanggup mengartikan itu sebagai kebebasan sosial, tegasnya supaya agama sanggup hidup tanpa tekanan sosial. Bebas dari tekanan sosial berarti bahwa situasi dan kondisi sosial menawarkan kemungkinan yang sama kepada semua agama untuk hidup dan berkembang tanpa tekanan.
  3. Prinsip penerimaan (Acceptance), Yaitu mau mendapatkan orang lain ibarat adanya. Dengan kata lain,tidak berdasarkan proyeksi yang dibentuk sendiri. Jika kita memproyeksikanpenganut agama lain berdasarkan kemauan kita, maka pergaulan antar golongan agama tidak akan dimungkinkan. Makara contohnya seorang Nasrani harus relamenerima seorang penganut agama Islam berdasarkan apa adanya, mendapatkan Hindu ibarat apa adanya.
  4. Berfikir positif dan percaya (positive thinking and trustworthy), Orang berpikir secara “positif “dalam perjumpaan dan pergaulandengan penganut agama lain, kalau beliau sanggup melihat pertama yang positif, dan yang bukan negatif. Orang yang berpikir negatif akan kesulitan dalam bergaul dengan orang lain. Dan prinsip “percaya” menjadi dasar pergaulan antar umat beragama. Selama agama masih menaruh prasangka terhadap agama lain, usaha-usaha ke arah pergaulan yang bermakna belum mungkin. Sebab isyarat etik pergaulan yaitu bahwa agama yang satu percaya kepada agama yang lain, dengan begitu obrolan antar agama antar terwujud.

Mewujudkan kerukunan dan toleransi dalam pergaulan hidup antarumat beragama merupakan potongan perjuangan membuat kemaslahatan umumserta kelancaran kekerabatan antara insan yang berlainan agama, sehinggasetiap golongan umat beragama sanggup melakukan potongan dari tuntutan agama masing-masing.

Kerukunan yang berpegang kepada prinsip masing-masing agamamenjadikan setiap golongan umat beragama sebagai golongan terbuka, sehingga memungkinkan dan memudahkan untuk saling berhubungan. Bila anggota dari suatu golongan umat beragama telah berhubungan baik dengan anggota dari golongan agama-agama lain, akan terbuka kemungkinan untukmengembangkan kekerabatan banyak sekali bentuk kerja sama dalam bermasyarakat dan bernegara.

Dalam konteks beragama dan bernegara, sesudah proklamasi 1945 Islam memandang posisi umat beragama sebagai sesama potongan warga bangsa yang terikat oleh janji kebangsaan sehingga harus hidup berdampingan secara hening dengan prinsip mu’ahadah atau muwatsaqah, bukan posisi muqatalah atau muharabah.

Walaupun insan terdiri dari banyak golongan agama, namun sistemsosial yang berdasarkan kepada kepercayaan bahwa pada hakekatnya insan yaitu kesatuan yang tunggal. Perbedaan golongan sebagai pendorong untuk saling mengenal, saling memahami dan saling berhubungan. Ini akan mengantarkan setiap golongan itu kepada kesatuan dan kesamaan pandangan dalam membangun dunia yang diamanatkan Tuhan kepadanya. Dalam istilah lain, banyak agama, satu Tuhan.

Rujukan:
  • Haji Said Agil Al Munawar, Fiqih Hubungan Antar Agama, (Jakarta: Ciputat Press, 2003).
  • Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, (Jakarta : Penerbit Erlangga, 2011).
  • Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), 
  • Abd. Al Mu’tal As Saidi, Kebebasan Berfikir dalam Islam, (Yogyakarta; Adi Wacana, 1999).
  • Ruslani, Masyarakat Dialog Antar Agama, Studi atas Pemikiran Muhammad Arkoun, (Yogyakarta: Yayasan Bintang Budaya, 2000).