Penumpasan Penghianatan G 30 S Pki

Karena Presiden Sukarno berada di lapangan terbang Halim Perdanakusuma yang dikuasai Gerakan 30 September, sehingga tidak sanggup dimintai atas petunjuk atau pemerintahannya, maka Panglima Kostrad memutuskan untuk segera menumpas gerakan.

Keputusan tersebut diambil dengan doktrin bahwa Gerakan 30 September pada hakikatnya yaitu suatu pemberontakan, terutama sesudah adanya siaran pengumuman dekrit Dewan Revolusi dan pendemisioneran Kabinet Dwikora melalui radio.

Penumpasan G 30 S PKI

Operasi militer dimulai pada sore hari tanggal 1 Oktober 1965 pukul 19.00 ketika pasukan RPKAD di bawah pimpinan Komandannya Kolonel Sarwo Edhie Wibowo mendapatkan perintah dari Panglima Kostrad untuk merebut kembali studio RRI Pusat dan kantor sentra Telekomunikasi.

Hanya dalam waktu kurang lebih 20 menit, dua sentra komunikasi vital tersebut sanggup direbut dan beberapa ketika kemudian Mayor Jenderal Soeharto selaku pimpinan sementara Angkatan Darat telah mengumumkan lewat RRI.

Isi pengumuman yang disampaikan Mayjen Suharto antara lain:

a. Adanya kudeta terhadap pemerintah oleh Gerakan 30 September.

b. Gerakan 30 September telah menculik enam perwira tinggi Angkatan Darat.

c. Bahwa Presiden Sukarno dan Menko Hankam/Kasad A.H. Nasution dalam keadaan dan sehat.

d. Rakyat dianjurkan untuk tetap damai dan waspada.


Sore hari tanggal 2 Oktober 1965 sesudah berhasil menguasai kembali keadaan kota Jakarta, Mayor Jenderal Soeharto menemui Presiden di Istana Bogor.

Dalam pertemuan tersebut Presiden memutuskan untuk secara pribadi memegang tampuk pimpinan Angkatan Darat, yang sejak tanggal 1 Oktober 1965 untuk sementara dipegang Mayor Jenderal Soeharto.

Sebagai pelaksana harian Presiden menunjuk Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudro. Untuk menyelenggarakan pemulihan keamanan-ketertiban menyerupai sedia kala ditunjuk Mayor Jenderal Soeharto, Panglima Kostrad.

Keputusan di atas disiarkan oleh Presiden dalam pidato melalui RRI Pusat Jakarta, pada dini hari pukul 01.30 tanggal 3 Oktober 1965.

Pengangkatan Mayor Jenderal Soeharto sebagai Panglima Operasi Keamanan dan Ketertiban serta pembentukan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) kemudian diatur dengan keputusan Presiden /Pangti ABRI/KOTI Nomor 142/ KOTI/1965 tanggal 1 November 1965, Nomor 165/KOTI/1965 tanggal 12 November 1965 dan Nomor 179/KOTI/1965 tanggal 6 Desember 1965.

Tugas Pokok Kopkamtib yaitu memulihkan keamanan dan ketertiban dari akibatakibat insiden Gerakan 30 September serta menegakkan kembali kewibawaan Pemerintah pada umumnya dengan jalan operasi fisik, militer, dan mental.

Operasi-operasi penumpasan segera dilancarkan baik di Jakarta maupun di daerahdaerah, terutama di Jawa Tengah. Di samping RPKAD, penumpasan G 30 S/PKI di Jakarta dibantu oleh Batalyon Para Kujang/Siliwangi. Sedangkan penumpasan G 30 S/PKI di Jawa Tengah dipimpin oleh Panglima Kodam VII/Diponegoro Suryo Sumpeno.

Dalam operasi militer Panglima Kodam VII Diponegoro memerintahkan komandan-komandan kesatuan yang berada di Magelang yang terdiri dari satuan-satuan Kavaleri, Zeni Tempur, Artileri Medan, dan Infanteri untuk mengadakan penyerbuan ke Semarang dan kota-kota lain di Jawa Tengah.

Dalam perjuangan penumpasan gerakan pemberontakan ini, di mana-mana Tentara Nasional Indonesia menerima derma dari rakyat dan bekerja sama dengan organisasi-organisasi politik dan organisasi-organisasi massa yang setia kepada Pancasila.

Pahlawan Revolusi

Pengambilan Jenazah Para Korban G 30 S/PKI di Lubang Buaya

Karena mengalami kesulitan dalam berafiliasi dengan tempat penanaman Jenazah di Lubang Buaya, perjuangan pengambilan kembali mayat para perwira tinggi dan perwira pertama korban insiden G-30-S/PKI gres berhasil diselesaikan pada tanggal 4 Oktober 1965.

Tempat tersebut yaitu sebuah sumur bau tanah yang bergaris tengah kurang dari satu meter dengan kedalaman 12 meter. Pengambilan dilakukan oleh anggota-anggota RPKAD dan KKO-AL (sekarang Korps Marinir TNI-AL) dengan memakai peralatan khusus.

Keadaan mayat sangat rusak dan munurut keterangan dokter pemeriksa, luka-luka yang terdapat pada mayat mengatakan penganiayaan yang sangat kejam.

Jenazah dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (sekarang Rumah Sakit Gatot Subroto) dan kemudian disemayamkan di Markas Besar Angkatan Darat, Jalan Merdeka Utara, Jakarta.

Pemakaman Jenazah Pahlawan Revolusi

Pada tanggal 5 Oktober 1965, dengan penghormatan dari segenap lapisan masyarakat dimakamkan mayat para Perwira Tinggi dan seorang Perwira Pertama Angkatan Darat korban G-30-S/PKI di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Berdasarkan Keputusan Presiden/Pangti ABRI/KOTI NO. 111/KOTI/1965 tanggal 5 Oktober 1065, keenam perwira tinggi dan seorang perwira pertama Angkatan Darat tersebut dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi.

Penganugerahan gelar itu dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa para perwira tersebut telah mengabdikan darma bakti mereka tanpa kunjung padam kepada revolusi bangsa Indonesia dengan semangat kepahlawanan sejati dan gugur sebagai akhir petualangan Gerakan 30 September.

Para Pahlawan Revolusi tersebut telah diberikan pada kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi secara anumerta.