Dissenting Opinion Dalam Sistem Common Law

SUDUT HUKUM | Sistem common law lahir di Inggris sekitar kala XIII serta berkembang dan dianut di negara-negara anglo saxon. Common law secara luas sanggup diartikan : “In a broad sense, common law may designate all that part of the positive law, juristic theory and ancient of any state or nation of wich is general and universal applications, this marking off special or local rules or customs”. Dalam sistem common law, sumber hukum yang paling utama yaitu case law sebab hal ini tidak sanggup dilepaskan dari sejarah common law itu sendiri yang bersifat yudisial.

 Sistem common law lahir di Inggris sekitar kala XIII serta berkembang dan dianut di negar Dissenting Opinion dalam Sistem Common Law


Dissenting opinion lahir dan berkembang dalam negara-negara yang memakai sistem aturan common law, menyerupai di Amerika Serikat  yang banyak menerima efek dan mengikuti seriatim practice dari Inggris. Seriatim Practice yaitu suatu praktik dimana hakim- hakim memberikan pendapat secara sendiri-sendiri atau terpisah mengenai suatu perkara. Hal  tersebut dilakukan untuk memperkuat dapat dipercaya pengadilan melalui  kebebasan individual hakim dalam mengemukakan pendapat atau argumen dan tanggungjawab individual atas argumen yang menjadi putusannya. 

Pada tahun 1801, seriatim practice ditinggalkan dan diganti dengan praktik caucus opinion yang merupakan keputusan bundar majelis. Akan tetapi empat tahun kemudian, hakim- hakim pada Mahkamah Agung Amerika mulai kembali dengan individual opinion mereka, baik berupa concuring maupun dissenting opinion. Sejak era Perang Dunia II, dissenting opinion semakin banyak terdapat dalam putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat sedangkan putusan dengan bunyi bundar (unanimous) semakin sedikit.

Sebagaimana halnya di Australia yang memakai sistem common law, peranan pengadilan (hakim) sangat penting dalam pe mbentukan hukum. Keputusan hakim mengikat hakim yang lebih rendah dalam kasus dengan fakta yang mirip. Mahkamah Agung sebagai pengadilan tinggi dan mempunyai tugas membuat hukum baru. Hakim- hakim Mahkamah Agung dipilih oleh Jaksa Agung dan cenderung menentukan hakim yang mempunyai perilaku sesuai dengan kebijakan masing- masing partainya. Pengaruh perilaku eksklusif hakim- hakim sanggup dilihat dalam putusan mereka yang berbeda.  Bahkan dalam kasus Northen Sanblasting versus Harris menghasilkan putusan dengan tujuh pendapat yang berbeda di Mahkamah Agung, dengan 76 teks yang lebih dari 40.000 kata dan 366 catatan kaki.

Dalam sistem common law, dissenting opinion merupakan konsekuensi dari dianutnya sistem tersebut. Dimana negara-negara yang memakai sistem aturan ini, hakim selain sebagai pelaksana hukum, ia juga sebagai pembentuk aturan (judge made law). Peranan hakim sangat penting dalam pembentukan aturan sebab sistem common law menganut prinsip “the law develops and derives through judicial decisions”. 

Dalam rangka pembentukan atau inovasi aturan ini, hakim mempunyai keleluasaan untuk menyusun argumen atau pendapat (opinion) sebagai dasar bagi norma hukum yang dibuatnya melalui putusan pengadilan. Dengan demikian, hakim di negara yang memakai sistem common law secara individual mempunyai pertanggungjawaban budpekerti yang penuh kepada masyaraka atas putusan yang dibuatnya. Karena pertanggungjawaban hakim secara individual leb ih tinggi dibandingkan pertanggungjawaban secara kolektif, maka kalau hakim merasa berbeda pendapat diperkenankan untuk tetap menjaga tingkat kemandiriannya (independensi) dengan mencantumkan perbedaan pendapatnya dalam putusan.