Hate Speech Dalam Internet

SUDUT HUKUM | Etika dalam dunia online perlu ditegaskan, mengingat dunia online merupakan hal yang sudah dianggap penting bagi masyarakat dunia. Namun, semakin banyak pihak yang menyalahgunakan dunia maya untuk menyebarluaskan hal-hal yang tidak lazim mengenai sesuatu, menyerupai suku bangsa, agama, dan ras. 

Penyebaran isu yang sifatnya fitnah di dunia Internet, misalnya, menjadi hal yang patut diperhatikan. Internet Service Provider (ISP) biasanya menjadi pihak yang dianggap bertanggung jawab atas segala isi yang mengandung fitnah. Sesungguhnya, isi yang mengandung fitnah berada di luar tanggung jawab ISP; terlebih ada pihak ke tiga yang memasukkannya tanpa sepengetahuan ISP. 

Sama halnya menyerupai administrasi dalam toko buku, dunia Internet membedakan tugas antara agen dan publisher. Dalam hal ini, ISP sekadar bertindak sebagai publisher yang mengontrak agen untuk mengelola jaringan mereka. Hal di ataslah yang sering disebut dengan Libel yakni sebuah pernyataan ataupun verbal seseorang yang mengakibatkan rusaknya reputasi orang lain dalam komunitas tertentu alasannya ekspresinya itu. 

Ataupun bisa dalam bentuk pembunuhan karakter dan dalam dunia professional sekalipun. Dalam bukunya yang berjudul ‘The New Communication Technology’, Mirabito menyatakan ada 12 ribu pengguna Internet yang menjadi korban kejahatan di Internet yang berkenaan dengan: suku bangsa, ras, agama, etnik, orientasi seksual, sampai gender. Nyatanya, kemajuan Internet berjalan seiring dengan peningkatan teror di dunia maya. 

Contoh masalah pada seorang anak muda berusia 19 tahun yang memakai komputer di sekolahnya untuk mengirim surat elektronik berisi bahaya pembunuhan pada 62 siswa lain yang keturunan Asia-Amerika. Contoh masalah di atas ialah salah satu teladan masalah mengenai istilah hate yang sering dihadapi oleh Amerika dan merupakan sebuah dilema dari kebebasan berekspresi dari first amandment mereka. 

Kejahatan Hate merupakan masalah serius yang dihadapi oleh Amerika, pada tahun 2001 sendiri terdapat 12.000 individu yang menjadi korban dari kejahatan Hate ini biasanya dikarenakan ras, etnis, negara asal, agama atau kepercayaan mereka, orientasi sex, atau bahkan alasannya gender mereka. Di Amerika, pernah muncul sebuah agresi yang berjulukan The Hate Crime Prevention Act of 2003 yang masih diperdebatkan dalam kongres yang ke-108. 

Jika agresi ini disahkan kedalam hukum, maka pinjaman dari hate speech akan semakin terjamin dari forum federal. Aksi tersebut didasarkan pada premis legal yaitu: o Individu yang menjadi sasaran Hate Crime akan mencoba untuk pergi keluar batas negara supaya tidak menjadi korban penghinaan. o Pelaku kejahatan Hate Crime akan mencoba untuk pergi melewati batas negara untuk melaksanakan penghinaan terhadap korban. o Pelaku mungkin memakai artikel, termasuk komputer yang bisa berbagi informasi ke banyak sekali negara, untuk melaksanakan Hate Crime.

Kapolri Jenderal, Badrodin Haiti menerbitkan Surat Edaran (SE) untuk mengatasi ujaran kebencian atau hate speech. SE ber-Nomor SE/06/X/2015 itu diteken pada 8 Oktober 2015 kemudian dan telah dikirim ke Kepala Satuan Wilayah (Kasatwil) di seluruh Indonesia untuk dipedomani. Salinan SE yang diterima dari Divisi Pembinaan dan Hukum (Divbinkum) Polri, disebutkan dilema ujaran kebencian semakin mendapat perhatian masyarakat baik nasional atau internasional seiring meningkatnya kepedulian terhadap pinjaman hak asasi insan (HAM). Berikut poin dari SE Kapolri, Jenderal Badrodin Haiti terkait ujaran kebencian: 

Pada Nomor 2 abjad (f) SE disebutkan, ujaran kebencian sanggup berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk antara lain: 

  1. Penghinaan. 
  2. Pencemaran nama baik. 
  3. Penistaan.
  4. Perbuatan tidak menyenangkan. 
  5. Memprovokasi. 
  6. Menghasut. 
  7. Menyebarkan isu bohong dan semua tindakan di atas mempunyai tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial. 

Selanjutnya pada abjad (g) disebutkan, ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas, bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan atau kelompok masyarakat, dalam banyak sekali komunitas yang dibedakan dari aspek: 

  1. Suku. 
  2. Agama. 
  3. Aliran keagamaan. 
  4. Keyakinan atau kepercayaan. 
  5. Ras. 
  6. Antargolongan. 
  7. Warna kulit. 
  8. Etnis. 
  9. Gender. 
  10. Kaum difabel. 
  11. Orientasi seksual. 

Pada abjad (h) disebutkan, ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas sanggup dilakukan melalui banyak sekali media, antara lain: 

  1. Dalam orasi acara kampanye.
  2. Spanduk atau banner. 
  3. Jejaring Media sosial. 
  4. Penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi) 
  5. Ceramah keagamaan. 
  6. Media masa cetak atau elektronik. 
  7. Pamflet. 
Pada abjad (i) disebutkan, dengan memperhatikan pengertian ujaran kebencian di atas, perbuatan ujaran kebencian apabila tidak ditangani dengan efektif, efisien, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, akan berpotensi memunculkan konflik sosial yang meluas, dan berpotensi mengakibatkan tindak diskriminasi, kekerasan, dan atau penghilangan nyawa. Penegakan hukum atas dugaan terjadinya tindak pidana ujaran kebencian dengan mengacu pada ketentuan: 
  1. Pasal 156 KUHP. 
  2. Pasal 310 KUHP. 
  3. Pasal 311 KUHP. 
  4. Pasal 28 jis. Pasal 45 ayat (2) UU nomor 11 tahun 2008 wacana Informasi dan Transaksi Elektronik. 
  5. Pasal 16 UU Nomor 40 Tahun 2008 wacana Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.