Itikad Baik Dalam Ketentuan Aturan Adat

SUDUT HUKUM | Hukum etika merupakan suatu rangkaian norma-norma aturan yang menjadi pegangan bersama dalam kehidupan masyarakat. Berbeda dengan normanorma aturan tertulis yang dituangkan dalam kehidupan bermasyarakat yang secara tegas dibentuk oleh penguasa legislatif dalam bentuk perundang-undangan dimana norma-norma hukum etika tidak tertulis.

Jual beli tanah dalam hokum etika yakni salah satu bentukperalihan hak tas tanah. Menurut pengertian jual beli tanah berdasarkan aturan etika yakni suatu perbuatan hukum, yang mana pihak penjual menyerahkan tanah yang. dijualnya kepada pembeli untuk selama-lamanya, pada waktu pembeli membayar harga (walaupun gres sebagian) tanah tersebut kepada penjual. Sejak itu hak atas tanah telah beralih dari penjual kepada pembeli.

Dari sini sanggup disimpulkan pembeli telah menerima hak milik atas tanah, semenjak saat, terjadi jual beli. Makara jual beli menurut hukum etika yakni suatu perbuatan pemindahan hak antara penjual kepada pembeli. Dalam hal jual beli yang pembayarannya belum lunas (baru dibayar sebagian), sisa harganya itu merupakan hutang pembeli kepada campur tangan pihak resmi, tidak perlu terjadi dihadapan pejabat, cukup dilakukan dengan lisan. Hal ini tentunya tidak termasuk didalam jual beli, benda-benda tertentu, terutama mengenai obyek benda-benda tidak bergerak yang pada umumnya memerlukan suatu sertifikat jual beli yang resmi.

Berlakunya aturan etika dalam masyarakat merupakan manifestasi aspirasi yang berkembang dalam masyarakat. Keberadaan hukum etika sebagai aturan yang hidup dalam masyarakat sangat tergantung pada basis social yang mendukungnya yaitu masyarakat etika itu sendiri. Namun demikian berlakunya hukum etika tidak terlepas dari banyak sekali imbas dari kekuatan yang ada dalam masyarakat termasuk imbas dari banyak sekali kekuatan politik dimana sebagian diantaranya telah diformulasikan melalui banyak sekali ketentuan perundangundangan. Dalam penyusunan aturan tanah nasional aturan etika diberi kedudukan yang istimewa yaitu dengan menjadikan aturan etika sebagai dasar pembentukannya.

Semua aturan tanah memiliki obyek pengaturan yang sama yaitu hakhak penguasaan atas tanah. Hak-hak penguasaan atas tanah macamnya bermacam-macam yang disebabkan lantaran perbedaan konsepsi yang melandasi hukum negara yang bersangkutan, kondisi yang dihadapi dan kebutuhan yang harus dipenuhi. Pembangunan aturan tanah nasional dilandasi konsepsi aturan adat, yaitu komunalistik religius, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung kebersamaan. Menurut UUPA semua tanah dalam wilayah RI yakni tanah bersama seluruh rakyat Indonesia yang telah bersatu menjadi bangsa Indonesia.

Setiap WNI sebagai anggota bangsa Indonesia, memiliki hak untuk menguasai dan memakai sebagian tanah bersama tersebut guna memenuhi kebutuhan langsung dan keluarganya, dengan hak-hak yang bersifat sementara, hingga dengan hak yang tanpa batas (hak milik). Pengggunaan tanah tersebut dihentikan hanya berpedoman pada kepentingan langsung semata-mata, melainkan juga harus diingat kepentingan bersama yaitu kepentingan bangsa Indonesia.

Pengertian jual beli tanah berdasarkan Hukum Adat merupakan perbuatan pemindahan hak, yang sifatnya tunai, riil dan terang. Sifat tunai berarti bahwa penyerahan hak dan pembayaran harganya dilakukan pada ketika yang sama. Sifat riil berarti bahwa dengan mengucapkan kata-kata dengan verbal saja belum lah terjadi jual beli, hal ini dikuatkan dalam Putusan MA No. 271/K/Sip/1956 dan No. 840/K/Sip/1971. 

Jual beli dianggap telah terjadi dengan penulisan kontrak jual beli di muka Kepala Kampung serta penerimaan harga oleh penjual, meskipun tanah yang bersangkutan masih berada dalam penguasaan penjual. Sifat terperinci dipenuhi pada umumnya pada ketika dilakukannya jual beli itu disaksikan oleh Kepala Desa, lantaran Kepala Desa dianggap orang yang mengetahui aturan dan kehadiran Kepala Desa mewakili warga masyarakat desa tersebut. Sekarang sifat terperinci berarti jual beli itu dilakukan berdasarkan peraturan tertulis yang berlaku.

Sejak berlakunya PP No. 10 Tahun 1961 perihal Pendaftaran Tanah, jual beli dilakukan oleh para pihak di hadapan PPAT yang bertugas menciptakan aktanya. Dengan dilakukannya jual beli di hadapan PPAT, dipenuhi syarat terperinci (bukan perbuatan aturan yang gelap, yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi). Akta  jual beli yang ditandatangani para pihak menandakan telah terjadi pemindahan hak dari penjual kepada pembelinya dengan disertai pembayaran harganya, telah memenuhi syarat tunai dan memperlihatkan bahwa secara faktual atau riil perbuatan aturan jual beli yang bersangkutan telah dilaksanakan. 

Akta tersebut menandakan bahwa benar telah dilakukan perbuatan hukum pemindahan hak untuk selama-lamanya dan pembayaran harganya. Karena perbuatan aturan yang dilakukan merupakan perbuatan aturan pemindahan hak, maka sertifikat tersebut menandakan bahwa peserta hak (pembeli) sudah menjadi pemegang haknya yang baru. Akan tetapi, hal itu gres diketahui oleh para pihak dan hebat warisnya, karenanya juga gres mengikat para pihak dan hebat warisnya lantaran manajemen PPAT sifatnya tertutup bagi umum.

Bentuk-bentuk jual bell tanah dalam aturan etika antara lain yaitu:
  • Jual lepas

Jual lepas merupakan proses pemindahan hak atas tanah yang bersifat terperinci dan tunai, di mana semua ikatan antara bekas penjual dengan tanahnya menjadi lepas sama sekali. Biasanya, pada jual lepas, calon pembeli memperlihatkan sesuatu tanda jadi sebagai pengikat yang disebut uang sebagai jaminan. Meskipun telah ada jaminan uang di muka, perjanjian pokok belum terealisasi hanya dengan uang sebagai jaminan semata-mata. 

Dengan demikian uang sebagai jaminan di sini fungsinya hanya sebagai tanda jadi akan dilaksanakannya jual beli. Apabila telah ada panjer, konsekuensinya manakala jual beli tidak jadi dilaksanakan, akan ada dua kemungkinan, yaitu bila yang ingkar si calon pembeli, maka uang sebagai jaminan tersebut menetap pada si calon penjual, bila keingkaran itu ada pada pihak si calon penjual, maka ia harus mengembalikan panjernya pada si calon pembeli, adakalanya bahkan dua kali lipat nilainya dari uang muka semula. 

Fungsi uang sebagai jaminan itu sendiri dalam jual lepas yakni :
  1. Pembicaraan yang mengandung kesepakatan saja tidak menjadikan suatu kewajiban. Tetapi adakalanya kesepakatan lisan yang diikuti dengan pembayaran sesuatu (uang/benda) sanggup mengakibatkan suatu kewajiban, namun hanya ikatan moral untuk berbuat sesuatu, contohnya untuk menjual atau untuk membeli.
  2. Tanpa jaminan uang, orang tidak merasa terikat. Sebaliknya dengan uang sebagai jaminan orang merasa memiliki ikatan moral untuk melaksanakan apa yang ditentukan dalam kesepakatan tersebut (pada angka 1 diatas).
  3. Perjanjian pokok (jual beli) belum terealisasi hanya dengan santunan uang sebagai jaminan. Setelah tidak digunakannya hak ingkar oleh para pihak, jual beli gres sanggup dilaksanakan.

  • Jual gadai

Jual gadai merupakan suatu perbuatan pemindahan hak secara sementara atas tanah kepada pihak lain yang dilakukan secara terperinci dan tunai sedemikian rupa, sehingga pihak yang melaksanakan pemindahan hak memiliki hak untuk menebus kembali tanah tersebut. Dengan demikian, maka pemindahan hak atas tanah pada jual gadai bersifat sementara, walaupun kadang-kadang tidak ada patokan tegas mengenai sifat sementara waktu tersebut.

Dengan penerimaan tanah itu, si pembeli gadai (penerima gadai) berhak:
  1. Menikmati manfaat yang menempel pada hak milik.
  2. Mengopergadaikan atau menggadaikan kembali di bawah harga tanah tersebut kepada orang lain jikalau sangat membutuhkan uang, lantaran ia tidak sanggup memaksa si penjual gadai untuk menebus tanahnya.
  3. Mengadakan perjanjian bagi hasil.

Transaksi ini biasanya disertai dengan perjanjian suplemen ibarat :
  1. Kalau tidak ditebus dalam masa yang dijanjikan, maka tanah menjadi milik yang membeli gadai.
  2. Tanah dihentikan ditebus sebelum satu, dua atau beberapa tahun dalam tangan pembeli gadai.

  • Jual tahunan

Jual tahunan merupakan suatu sikap aturan yang berisikan penyerahan hak atas sebidang tanah tertentu kepada subjek aturan lain, dengan mendapatkan sejumlah uang tertentu dengan ketentuan bahwa setelah jangka waktu tertentu, maka tanah tersebut akan kembali dengan sendirinya tanpa melalui sikap hukum tertentu. Dalam hal ini, terjadi peralihan hak atas tanah yang bersifat sementara waktu. Kewenangan yang diperoleh si pembeli tahunan yakni mengolah tanah, menanami dan memetik hasilnya, dan berbuat dengan tanah itu seperti miliknya sendiri dalam jangka waktu yang diperjanjikan.

  • Jual Gangsur.

Menurut Soerjono Soekanto pada jual gangsur ini, walaupun telah terjadi pemindahan hak atas tanah kepada pembeli, akan tetapi tanah masih tetap berada di tangan penjual. Artinya, bekas penjual masih tetap memiliki hak pakai, yang bersumber pada ketentuan yang disepakati oleh penjual dengan pembeli.

  • Jual beli dengan cicilan

Menurut M. Yahya Harahap jual beli cicilan, merupakan salah satu bentuk penjualan kredit, pembeli wajib membayar barang secara termein atau berkala. Sebaliknya penjual biasanya masih tetap berhak menarik barang yang dijual dari tangan si pembeli, apabila pembeli tidak sempurna waktu, membayar harga cicilan, berdasarkan termein yang dijadwalkan”.

Sementara itu jual beli berdasarkan aturan pertanahan nasional yakni perbuatan aturan pemindahan hak yang memiliki 3 (tiga) sifat, yaitu:
  1. Bersifat terang, maksudnya perbuatan aturan tersebut dilakukan dihadapan PPAT sehingga bukan perbuatan aturan yang gelap atau yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
  2. Bersifat tunai, maksudnya bahwa dengan dilakukannya perbuatan aturan tersebut, hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pihak lain yang disertai dengan pembayarannya.
  3. Bersifat riil, maksudnya bahwa sertifikat jual beli tersebut telah ditandatangani oleh para pihak yang memperlihatkan secara faktual atau riil telah dilakukannya perbuatan aturan jual beli. Akta tersebut membuktikan, bahwa benar telah dilakukannya perbuatan aturan pemindahan.

Saat mengikatnya perjanjian jual beli, yakni bersamaan dengan ketika terjadinya jual beli, dimana perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan, pada detik tercapainya kata “sepakat“ mengenai barang dan harga. Dengan kesepakatan tersebut berarti perjanjian jual beli, tersebut menganut asas konsessualisme yang ditentukan dalam, Pasal 1458 BW, yang berbunyi : 
Jual-beli itu dianggap telah mencapai setuju perihal kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu sebelum diserahkan, maupun harganya belum dibayar.”