Kepastian Hukum

SUDUT HUKUM | Nilai kepastian aturan merupakan nilai yang pada prinsipnya memperlihatkan dukungan aturan bagi setiap warga negara dari kekuasaan yang bertindak sewenang-wenang, sehingga hukum memperlihatkan tanggung jawab pada negara untuk menjalankannya. Nilai itu mempunyai relasi yang dekat dengan instrumen aturan positif dan peranan negara dalam mengaktualisasikannya dalam aturan positif.

Dalam hal ini kepastian aturan berkedudukan sebagai suatu nilai yang harus ada dalam setiap aturan yang dibentuk dan diterapkan. Sehingga aturan itu sanggup memperlihatkan rasa keadilan dan sanggup mewujudkan adanya ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Kepastian mengandung beberapa arti, diantaranya adanya kejelasan, tidak mengakibatkan multitafsir, tidak mengakibatkan kontradiktif, dan sanggup dilaksanakan. Hukum harus berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung keterbukaan sehingga siapapun sanggup memahami makna atas suatu ketentuan hukum. Hukum yang satu dengan yang lain dihentikan kontradiktif sehingga tidak menjadi sumber keraguan.

Untuk tercapainya nilai kepastian di dalam hukum, maka dibutuhkan syarat-syarat sebagai berikut:
  • Tersedia aturan-aturan hukum yang terang atau jernih, konsisten dan gampang diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara;
  • Bahwa instansi-instansi negara penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan aturan tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;
  • Bahwa secara umum dikuasai warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan sebab itu menyesuaikan sikap mereka terhadap aturan-aturan tersebut;
  • Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang berdikari dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan aturan tersebut secara konsisten sewaktu mereka menuntaskan sengketa hukum; dan
  • Bahwa putusan peradilan secara konkrit sanggup dilaksanakan.

Kelima syarat yang dikemukakan tersebut memperlihatkan bahwa kepastian aturan sanggup dicapai jikalau substansi hukumnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Aturan aturan yang bisa membuat kepastian aturan yakni aturan yang lahir dari dan mencerminkan budaya masyarakat. Kepastian hukum yang menyerupai ini yang disebut sebagai kepastian aturan yang tolong-menolong (realistic legal certainly), yaitu mensyaratkan adanya keharmonisan antara negara dengan rakyat dalam berorientasi dan memahami sistem hukum. 

Menurut Lon Fuller aturan itu sanggup memenuhi nilai-nilai kepastian apabilah di dalamnya terdapat 8 (delapan) asas, yang sanggup diuraikan sebagai berikut:
  1. Suatu sistem aturan yang terdiri dari peraturan-peraturan, tidak menurut putusan-putusan sesaat untuk hal-hal tertentu;
  2. Peraturan tersebut diumumkan kepada public;
  3. Tidak berlaku surut, sebab akan merusak integritas;
  4. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;
  5. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan;
  6. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan;
  7. Tidak boleh sering diubah-ubah;
  8. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.

Asas-asas tersebut mengandung makna bahwa aturan sanggup dikatakan akan mempunyai nilai kepastian jikalau aturan itu ada atau dibentuk sebelum perbuatan yang diatur dalam aturan tersebut ada (asas legalitas). Kepastian ini juga menjadi tujuan dari aturan disamping tujuan yang lain yaitu keadilan dan kemanfaatan.

Namun demikian, jikalau aturan diidentikkan dengan perundang-undangan, maka salah satu kesannya sanggup dirasakan yakni kalau ada bidang kehidupan yang belum diatur dalam perundang-undangan, maka dikatakan aturan tertinggal oleh perkembangan masyarakat. Demikian juga kepastian aturan tidak identik dengan dengan kepastian undang-undang. Apabila kepastian aturan diidentikkan dengan kepastian undang-undang, maka dalam proses penegakan aturan dilakukan tanpa memperhatikan kenyataan aturan (Werkelijkheid) yang berlaku.

Para penegak aturan yang hanya bertitik tolak dari substansi norma aturan formil yang ada dalam undang-undang (law in book’s), akan cenderung mencederai rasa keadilan masyarakat. Seyogyanya penekanannya di sini, harus juga bertitik tolak pada aturan yang hidup (living law). Lebih jauh para penegak aturan harus memperhatikan budaya aturan (legal culture) untuk memahami sikap, kepercayaan, nilai dan keinginan serta aliran masyarakat terhadap aturan dalam sistim aturan yang berlaku.