Komponen Sistem Peradilan Pidana Menurut Pancasila

SUDUT HUKUM | Terkait dengan tujuan dari Sistem Peradilan Pidana tersebut, masing-masing andal aturan sanggup mempunyai pendapat yang berbeda terkait komponen yang sanggup dibebankan sebagai institusi pegawapemerintah penegak hukum, dalam ranah aturan pidana. untuk mencapai tujuan dari Sistem Peradilan Pidana tersebut maka komponen-komponen di dalamnya wajib untuk bekerja sama, terutama instansi-instansi (badan-badan) dikenal dengan:[1]
  1. Kepolisian;
  2. Kejaksaan;
  3. Pengadilan; dan
  4. Lembaga Pemasyarakatan.
Keterpaduan dari empat instansi merupakan ranah administratif bediri sendiri-sendiri. Sebab Kepolisian sebagai organ pemerintah yang setingkat dengan Kementerian atau instansi non-Kementerian dibawah Presiden. Sedangkan Kejaksaan mempunyai puncak kekuasaan pada Kejaksaan Agung, dimana Kejaksaan Agung merupakan organ Pemerintah yang berada di bawah Presiden dan merupakan forum non-Kementerian. Dan Pengadilan masing-masing berdiri sanggup berdiri diatas kaki sendiri secara fungsional tetapi diarahkan oleh Mahkamah Agung. Serta Lembaga Pemasyarakatan yang berada dibawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

 Terkait dengan tujuan dari Sistem Peradilan Pidana tersebut Komponen Sistem Peradilan Pidana Berdasarkan Pancasila


Sedangkan komponen sistem peradilan pidana yang lazim diakui baik dalam pengetahuan mengenai kebijakan pidana maupun dalam lingkup praktek penegakan hukum, terdiri atas unsur Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, serta Pembentuk Undang-Undang.[2] artinya dalam bidang-bidang itu mempunyai kekuasaan penyidikan, kekuasaan penuntutan, kekuasaan mengadili selanjutnya sesuai proses menjatuhkan pidana, dan kekuasaan sanksi atau pelaksanaan pidana.

Sebagaimana diketahui bahwa kekuasaan penyidikan dimiliki oleh Kepolisian, kekuasaan penuntutan dimiliki oleh Kejaksaan, dan kekuasaan mengadili selanjutnya menjatuhkan pidana dimiliki oleh Pengadilan, tapi Apakah kekuasaan eksekusi  pidana dimiliki oleh Kejaksaan atau dimiliki oleh Lembaga Pemasyarakatan? Karena Lembaga Pemasyarakatan, secara de jure dan de facto, tidak sanggup disebut sebagai institusi yang mempunyai kekuasaan sanksi atau pelaksanaan pidana, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 wacana Pemasyarakatan.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, maka sanggup disimpulkan bahwa komponen dari Sistem Peradilan Pidana menjadi 3 (tiga) unsur besar, yaitu:
  • Unsur Primer
Unsur Primer, yang dalam pandangan akademis pada tingkat penal policy yaitu Pembentuk Undang-Undang, yaitu Presiden bersama DPR, sebagaimana diungkapkan oleh Romli Atmasasmita. Penyusunan unsur primer ini didasarkan kepada pandangan bahwa bekerjanya Sistem Peradilan Pidana, sangat bergantung dengan bagaimana suatu Negara menerapkan sistem hukum yang valid. Sistem aturan yang dianut suatu Negara akan mewarnai bagaimana Pembentuk Undang-Undang melaksanakan perancangan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan di suatu negara merupakan suatu cuilan integral atau sub sistem dari suatu sistem aturan di negara tersebut. Sebagai suatu cuilan integral atau sub sistem dalam sistem aturan suatu negara peraturan perundang-undangan tidak sanggup berdiri sendiri terlepas dari sistem aturan Negara tersebut.[3]

Oleh lantaran itu, pembentukan peraturan perundang-undangan mengenai Sistem Peradilan Pidana, sangat bergantung bagaimana Pembentuk Undang-Undang mengimplementasikan politik aturan Indonesia ke dalam sebuah rancangan peraturan perundang-undangan. dimungkinkan adanya efek sistem aturan negara lain dalam menjabarkan politik aturan ke dalam sebuah rancangan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut nampak pada penyusunan RKUHAP, dimana tim RKUHAP banyak melaksanakan kunjungan ke negara-negara lain, baik yang mempunyai kesamaan sistem aturan maupun yang berbeda sistem hukumnya. 

Secara akademik mengenai apakah perlu Indonesia mengadopsi KUHAP dari negara-negara lain ataukah cukup dengan menjabarkan nilai-nilai Pancasila dan aturan yang sudah usang hidup di dalam masyarakat (the living law), berdasarkan ekonomis penulis untuk mengadopsi hukum negara-negara lain perlu adanya pemikiran dan pemahaman secara mendalam dan penting untuk menyelaraskan dengan jiwa Pancasila, lantaran Pembentukan peraturan perundang-undangan pidana merupakan cuilan dari kebijakan legislatif aturan pidana (penal policy) menjadi salah satu syarat utama dalam membentuk pembangunan aturan nasional yang hanya sanggup terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku, dan standar dengan tidak bertentangan dengan Hukum Dasar yakni Undang-Undang Dasar 1945 (Doelmatige) yang di dalamnya memuat berdasarkan falsafah Ideologi yang dianut Indonesia.

Mengingat semua forum yang berwenang menciptakan peraturan perundang-undangan. Maka pembentukan aturan menjadi rangkaian awal dari penegakkan aturan yang sangat penting untuk diperhatikan. Melalui praktek pembentukan aturan di kenal beberapa abjad diantaranya karakter-karakter yang dikemukan oleh Moh. Mahfud MD yaitu:[4]
  1. Proses pembentukan aturan partisifatit atau responsif yaitu pembentukan aturan yang memperlihatkan peranan besar dan partisispasi penuh kelompok sosial atau individu didalam masyarakat Hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan keolmpok sosial atau individu dalam masyarakat. Pembentukan aturan dengan partisipasi masyarakat akan mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi impian masyarakat.Pembentukan aturan ibarat ini dilakukan pada produk aturan yang responsif.
  2. Pembentukan Hukum non partisipatif atau berlawanan dengan aturan responsif, yaitu produk aturan ortodoks lebih tertutup terhadap tuntutan-tuntutan kelompok termasuk individu-individu di dalam masyarakat. Dalam pembuatan hukumnya peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil. Produk aturan konservatif/ortodoks/elitis yaitu produk aturan yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elit politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah bersifat positivis-instrumentalis yakni menjadi alat pelaksanaan ideologi dan kegiatan negara.
Sedangkan berdasarkan CFG. Sunarjati Hartono, bahwa Setelah 17 Agustus 1945, idealnya politik aturan yang berlaku yaitu politik aturan nasional, artinya telah terjadi unifikasi aturan (berlakunya satu sistem hukum di seluruh wilayah Indonesia), lantaran sistem aturan nasional harus dibangun berdasarkan dan untuk memperkokoh sendi-sendi Proklamasi, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.[5]

  • Unsur Sekunder (Sub System)
Unsur Sekunder ini lebih dikenal dalam aneka macam literatur mengenai Sistem Peradilan dengan istilah “sub-sistem”. Secara umum, intinya institusi yang digolongkan ke dalam unsur kedua ini adalah:
  1. Kepolisian;
  2. Kejaksaan;
  3. Pengadilan; dan
  4. Lembaga Pemasyarakatan.

Jika kita memperhatikan perkembangan perjalanan institusi-institusi aparatur penegak hukum, telah terjadi pengembangan guna memenuhi kebutuhan praktek akan penegakan hukum yang efektif dan effesien. Dimana, di dalam ranah kekuasaan penyidikan telah dikembangkan satu forum yang sejenis, yaitu Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) dan adanya penambahan baik dari kiprah profesi yaitu Advokat adapula pendekatan sekarang dengan hak warga negara sanggup membantu keberhasilan dari suatu Sistem Peradilan Pidana. Maka Penulis, hendak menegaskan bahwa Masyarakat harus diasumsikan sebagai suatu cuilan dari sub-sistem dari Sistem Peradilan Pidana. 

Sehingga komponen yang termasuk ke dalam ruang lingkup sub-sistem pada Sistem Peradilan Pidana adalah:
  1. Kepolisian;
  2. Kejaksaan;
  3. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
  4. Pengadilan;
  5. Lembaga Pemasyarakatan; dan
  6. Advokat/Penasehat Hukum
  7. Masyarakat.
  8. Unsur Tertier (supporting system), ibarat Bea Cukai, OJK, Interpol dan sebagainya.
Di dalam supporting system ini, Penulis mencoba ilustrasikan berdasarkan sub-sub Sistem Peradilan Pidana dengan memperhatikan persatuan dalam menegakkan aturan sebagaimana unsur sila ke-3 (tiga) Pancasila. Lembaga-lembaga atau institusi pemerintahan yang lain pun mempunyai peranan yang cukup strategis dalam memperlihatkan masukan data-data penunjang bagi proses penegakan aturan di Indonesia.

Penting untuk digarisbawahi apabila berkaitan dengan institusi penunjang yang dibagi ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu:
  1. Lembaga Konvensional, dalam hal ini terdiri Kementerian, Non-Kementerian dan Pemerintah Daerah
  2. Lembaga Ekstra Struktural
Kedua jenis forum tersebut mempunyai peranan yang cukup penting sebagai penopang dari unsur sub-sistem. Pemerintah Daerah, misalnya, mempunyai peranan cukup penting dalam melaksanakan pendataan kependudukan di wilayah kewenangannya. Yang kemudian sanggup dipakai oleh pegawapemerintah penegak hukum untuk sanggup dengan segera melaksanakan identifikasi individu, baik sebagai tersangka/pelaku tindak pidana maupun sebagai korban kejahatan.

Hanya saja cukup disayangkan pentingnya pendataan kependudukan, masih dianggap sebagai keperluan kepentingan manajemen kedaerahan semata. Data kependudukan yang dimiliki Pemda masih bersifat pasial, sehingga di dalam proses penegakan hukum, pemetaan kependudukan untuk memperoleh citra sejelas wilayah-wilayah yang masih rawan tingkat kejahatan, tidak terkonfigurasi dengan baik. Walaupun pihak apartur penegak aturan sanggup meminta data-data tersebut, namun sifatnya yaitu menunggu permintaan. Aparatur penegak aturan tidak sanggup secara eksklusif mengakses data-data tersebut. Hal ini perlu dipahami, bahwa proses bekerjanya aparatur penegak aturan dalam suatu Sistem Peradilan Pidana bukan saja sebagai penindak, namun juga sebagai pengendali tingkat kejahatan.

Demikian pula, posisi forum ekstra struktural di dalam Sistem Peradilan Pidana. Lembaga Perlindungan Saksi & Korban, misalnya, mempunyai posisi yang tidak kalah pentingnya di dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, terkait dengan fungsinya sebagai forum yang memperlihatkan pertolongan aturan kepada Saksi dan Korban, seringkali justru berbenturan dengan aparatur penegak hukum. Bila pada kasus yang sebagai subyek aturan yang diletakan dalam pertolongan LPSK, menerima kontradiksi dari Kepolisian. 

Kemudian kejahatan yang sampai dikala ini belum terungkap yaitu terhadap fatwa dana Bank Century atau kejahatan pajak (BLBI). Kemudian pada kasus lain terkait pengadaan alat simulasi SIM ditambah benturan kewenangan dalam status aturan Susno Duadji dan permasalahan antara Komisaris Jendral Budi Gunawan dan Bambang Widjodjanto sebagaimana telah dikemukakan sebagi problem yang ditemukan dari tujuan pemahaman ini. Kelemahan dari adanya relasi baik melalui lintas organ pemerintah, dalam ranah Hukum Administrasi Negara, belum mempunyai relasi yang serasi dalam pembagian kekuasaan kehakiman dalam ranah Hukum Tata Negara di Indonesia, maka penting untuk diadakannya revisi dan pengkajian lebih mendalam.

Kesinambungan kinerja antar lembaga, hendaknya dipandang dari keseragaman secara fungsional, dan bukan secara administratif. Sehingga, dalam kajian fungsional kelembagaan, Mahkamah Agung sanggup melaksanakan pengawasan dan pengarahan, sehingga muncul keselarasan. Pemisahan kekuasaan antara direktur dan yudikatif secara administratif dan fungsional, justru memunculkan kerancuan dalam menjalankan amanah undang-undang. Walaupun memang di dalam Pasal 54 dan Pasal 55 pada Bab X mengenai lembaga-lembaga yang terkait dengan fungsi kekuasaan kehakiman dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 wacana Kekuasaan Kehakiman yaitu:
  1. Penyelidikan dan Penyidikan
  2. Penuntutan;
  3. Pelaksanaan Putusan;
  4. Pemberian jasa hukum; dan
  5. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Ketertarikan yang unik untuk dicermati yaitu posisi dari seorang advokat di dalam Sistem Peradilan Pidana. Secara hipotesis yang mendukung pentingnya posisi Advokat sebagai pejabat pengadilan (officer of court). Untuk menilai sejauh mana memperlihatkan adanya muatan aspiratif untuk mempertimbangkan bagaimana seseorang Advokat berafiliasi dengan pengadilan dengan manifestasi melaksanakan dan tetap sebagai petugas pengadilan, jikalau belum ditunjuk oleh pengadilan untuk membantu dalam manajemen keadilan, namun profesi Advokat tidak sanggup mewakili kliennya secara penuh lantaran hanya sanggup menyaksikan tanpa mempunyai hak sesuai tindakan aturan pada dikala penyidik sedang mengiterogasi kliennya. Juga termasuk kiprah mewakili, Advokat bagi pengadilan hanya sebatas identitas sebagai petugas pengadilan sehingga butuh waktu untuk menyelaraskan sebagai paradigma gres dalam sistem peradilan pidana. 

Demikian pula ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 wacana Advokat, yang menjelaskan sebagai berikut: “Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan sanggup berdiri diatas kaki sendiri yang dijamin oleh aturan dan peraturan perundang-undangan.” Dengan demikian, terang sudah secara yuridis, Advokat yaitu cuilan dari sub-sistem. Walaupun secara faktanya seorang Advokat lebih sering berdiri pada posisi kepentingan klien saja.

Rujukan:

  1. Mardjono Reksodiputro , Buku Kedua, Op.cit., hlm. 141.
  2. Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bina Cipta, Bandung, 1996. hlm. 16-18.
  3. Ibid, Romli Atmasasmita, hlm. 16-18.
  4. Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, LP3ES, Jakarta. 2006, hlm.  25.
  5. CFG. Sunarjati Hartono, Mencari Bentuk dan Sistem Hukum Perjanjian Nasional Kita, Alumni, Bandung , 1974, hlm. 57.