fiqh
Pengertian Gadai
SUDUT HUKUM | Dalam istilah bahasa Arab “gadai” di istilahkan dengan rahn (gadai) dan sanggup juga dinamai dengan al-habsu. Secara etimologis rahn berarti “tetap atau lestari”, sedangkan al-habsu berarti “penahanan”. Dalam istilah bahasa Arab “gadai” diistilahkan dengan al-Rahnu. Ar-Rahnu dalam etimologi artinya: “tetap dan kekal”. Misalnya ucapan:"ماء راهن " (air yang tenang) dan “نعمة راهنة ” (kenikmatan yang infinit dan tetap). Menurut sebagian ulama, ar-Rahnu berarti penahanan. Menurut syara yaitu kalimat rahn itu artinya mengakibatkan harta sebagai pengukuh/penguat alasannya yakni adanya utang.
Dalam al-Qur‟an Allah berfirman:
Jika kau dalam perjalanan sedang kau tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang. Akan tetapi kalau sebagian kau mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kau menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya dia yakni orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kau kerjakan (Q.S: al-Baqarah: 283).
Istilah yang dipakai fikih untuk gadai yakni al-rahn. Ia yakni sebuah kesepakatan utang piutang yang disertai dengan jaminan (agunan). Sesuatu yang dijadikan sebagai jaminan disebut marhun, pihak yang menyerahkan jaminan disebut rahin, sedangkan pihak yang mendapatkan jaminan disebut murtahin.
Ada beberapa definisi ar-rahn yang dikemukakan para ulama fiqh. Ulama Malikiyah mendefinisikannya dengan:
Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat.
Pernyataan Imam Malik tersebut contohnya barang perabot rumah tangga, dan berdasarkan Malik, yang dijadikan barang jaminan (agunan) bukan saja harta yang bersifat materi, tetapi juga harta yang bersifat manfaat tertentu menyerupai hak menggunakan sapi sebagai kendaraan atau untuk menggarap sawah. Harta yang dijadikan barang jaminan (agunan) tidak harus diserahkan secara aktual, tetapi boleh juga penyerahannya secara hukum, menyerupai mengakibatkan sawah sebagai jaminan (agunan), maka yang diserahkan itu yakni surat jaminannya (sertifikat sawah).
Ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan:
Menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) itu, baik seluruhnya maupun sebagiannya.
Sedangkan ulama Syafi'iyah dan Hanabilah mendefinisikan ar-rahn dengan;
Menjadikan bahan (barang) sebagai jaminan utang, yang sanggup dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak sanggup membayar utangnya itu.
Definisi yang dikemukakan Syafi'iyah dan Hanabilah ini mengandung pengertian bahwa barang yang boleh dijadikan jaminan (agunan) utang itu hanyalah harta yang bersifat materi; tidak termasuk manfaat sebagaimana yang dikemukakan ulama Malikiyah, sekalipun bahwasanya manfaat itu, berdasarkan mereka (Syafi'iyah dan Hanabilah), termasuk dalam pengertian harta.
Sejalan dengan keterangan di atas Sayid Sabiq memaparkan:
Menurut bahasanya (dalam bahasa Arab) rahn adalah: tetap dan lestari, menyerupai juga dinamai al-Habsu, artinya; penahanan. Seperti dikatakan: ni’matun rahinah, artinya: karunia yang tetap dan lestari. Adapun dalam pengertian syara‟, gadai berarti : mengakibatkan barang yang memiliki nilai harta berdasarkan pandangan syara‟ sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang atau dia sanggup mengambil sebagian (manfaat) barangnya itu. Demikian berdasarkan yang didefinisikan para ulama. Apabila seseorang ingin berhutang kepada orang lain, dia mengakibatkan barang miliknya baik berupa barang tak bergerak atau berupa ternak berada di bawah kekuasaanya (pemberi pinjaman) hingga dia melunasi hutangnya. Demikian yang dimaksudkan gadai berdasarkan syara.
Menurut Masjfuk Zuhdi, gadai ialah perjanjian (akad) pinjam meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang. Sementara Syaikh Muhammad Ibn Qasim al-Ghazzi berpandangan, gadai yakni mengakibatkan barang yang sebangsa uang sebagai kepercayaan hutang dimana akan terbayar dengannya kalau terpaksa tidak sanggup melunasi (hutang tersebut). Sedangkan Cholil Uman menyatakan gadai yakni perjanjian (akad) pinjam meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang. TM. Hasbi Ash Shiddieqy menegaskan rahn ialah kesepakatan yang obyeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran dengan tepat darinya.
Bertitik tolak pada rumusan-rumusan di atas sanggup penulis simpulkan bahwa gadai yakni kesepakatan yang menempel pada utang piutang dimana suatu barang untuk jaminan membayar hutang. Sedangkan dalam konteks KUH Perdata, gadai yakni hak yang dikuasai pemegang gadai terhadap barang bergerak sebagai jaminan membayar hutang.
Berdasarkan keterangan di atas, bila dibandingkan rahn dan gadai, maka sanggup ditarik persamaan dan perbedaan, di antaranya, persamaannya antara lain: (1) hak gadai atau rahn berlaku atas proteksi uang; (2) adanya agunan sebagai jaminan hutang; (3) dihentikan mengambil manfaat dari barang yang digadaikan, contohnya menggunakan kendaraan beroda empat yang digadaikan untuk kepentingan langsung atau bisnis; (4) biaya (pajak) barang yang digadaikan ditanggung oleh debitur; (5) apabila batas waktu proteksi uang telah habis, barang yang digadaikan boleh dijual atau dilelang. Perbedaannya antara lain, rahn dilakukan secara sukarela atas dasar tolong menolong tanpa mencari keuntungan. Sedangkan gadai, di samping berprinsip tolong menolong juga menarik laba melalui bunga atau sewa modal yang ditetapkan.