Pengertian Kenakalan Anak

SUDUT HUKUM | Kenakalan anak diambil dari istilah gila Juvennile Delinquency (JD), yang secara etimologis sanggup dijabarkan bahwa Juvenile artinya young, anakanak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda sifat-sifat khas pada periode remaja. Delinquency artinya doing wrong, terabaikan/mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak sanggup diperbaiki lagi, durjana, dursila dan lain-lain. Dapat juga JD secara etimologis yakni kejahatan anak dan dilihat dari pelakunya maka JD yang berarti penjahat atau anak jahat.

Ada banyak sekali macam definisi yang dikemukakan oleh para ilmuwan ihwal JD, sebagai berikut :
  • Paul Moedikno memperlihatkan perumusan pengertian JD yaitu:

  1. Semua perbuatan dari orang remaja merupakan suatu kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinquency. Contoh hal ini menyerupai mencuri, menganiaya, membunuh dan lain-lain;
  2. Semua perbuatan penyelewengan dari norma-norma kelompok tertentu yang menjadikan keonaran dalam masyarakat;
  3. Semua perbuatan yang mengambarkan kebutuhan pertolongan bagi sosial, termasuk gelandangan, pengemis dan lain-lain.

  • Kartini Kartono menyatakan JD sebagai berikut : Perlaku jahat/dursila, atau kejahatan anak muda, merupakan tanda-tanda sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka membuatkan bentuk pengabaian tingkah laris yang menyimpang. 
  • Maud A. Merril merumuskan JD sebagai berikut : ”A child is classified as a delinquent when his anti social tendencies appear to so grave that become or ought to become the subject of official action” (Seorang anak digolongkan delinquency apabila tampat adanya kecenderungan-kecenderungan anti sosial yang demikian memuncaknya sehingga yang berwajib terpaksa atau hendaknya mengambil tindakan terhadapnya, dalam arti menahannya atau mengasingkannya).
  • Romly Atmasasmita memperlihatkan perumusan sebagai berikut :Setiap perbuatan atau tingkah laris seseorang anak di anak-anak 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta sanggup membahayakan perkembangan langsung si anak bersangkutan.

Dari pendapat-pendapat di atas, sanggup disimpulkan bahwa JD yakni : ”sustu tindakan atau perbuatan pelanggaran norma baik norma aturan maupun norma sosial yang dilakukan oleh anak-anak usia muda”. Pengertian tersebut cenderung sebagai kenakalan anak daripada kejahatan anak, lantaran rasanya terlalu ekstrim kalau seorang anak yang melaksanakan tindak pidana dikatakan sebagai penjahat. Kenakalan anak timbul sebagai akhir proses alami setiap insan yang harus mengalami kegoncangan semasa menjelang kedewasaannya. 

Tingkah laris yang menjurus kepada perkara JD, berdasarkan Adler, antara lain sebagai berikut :
  • Kebut-kebutan dijalanan;
  • Perilaku ugal-uggalan, mengacau ketenteraman lingkungan sekitarnya;
  • Perkelaian antar geng, antar sekolah, tawuran;
  • Membolos sekolah;
  • Kriminalitas anak/remaja;
  • Berpesta sambil mabuk-mabukan;
  • Agresivitas seksual;
  • Kecanduan dan ketagihan narkotika;
  • Perjudian, permainan;
  • Perbuatan a-sosial lantaran gangguan kejiwaan.

Memberi pengertian Juvennile Delinquency (JD) sebagai kejahatan anak sanggup diinterpretasikan berdampak negatif secara psikologis terhadap anak yang menjadi pelakunya, pengertian secara etimologis telah mengalami pergeseran, yakni istilah kejahatan menjadi kenakalan. Oleh lantaran itu B. Simanjuntak menegaskan lebih suka memakai istilah kenakalan untuk menggantikan JD.

Menurut Singgih D. Gunarsa, bahwa istilah kenakalan anak mengambarkan pada suatu tingkah laris yang menjadikan perkara bagi orang lain, dan di dalam kenakalan anak sanggup dibagi menjadi dua macam perkara kenakalan dari yang ringan atau berat yang ditimbulkannya. Oleh lantaran itu terdapat dua macam kenakalan anak yaitu kenakalan semu dan kenakalan sebenarnya. 

Kenakalan semu yaitu kenakalan di mana bukan merupakan kenakalan bagi pihak-pihak lain, walupun tingkah laris yang agak berlebihan akan tetapi masih dalam batas-batas normal dan sesuai dengan nilai-nilai normal. Kenakalan semu dalam bahasa sehari-hari disebut ”kenakalan” dan dinyatakan keterlaluan, tetapi bergotong-royong masih terletak dalam batas-batas normal. 

Hanya dalam kenakalan semu ini sering menjadikan kekesalan dan ketidaksabaran orang tua. Contohnya kenakalan semu contohnya anak suka merusak mainannya. Kenakalan bergotong-royong yakni tingkah laku, perbuatan anak yang merugikan dirinya sendiri atau orang lain, dan melanggar nilainilai normal maupun nilai-nilai sosial. Misalnya anak sering berbohong, suka mencuri dan sebagainya. 

Istilah kenakalan anak dipakai dalam Undang-Undang Nomor: 3 Tahun 1997 ihwal Pengadilan Anak, bahwa kenakalan anak mengandung pengertian anak yang bandel dan kenakalan yang dilakukan anak tersebut. Yang dimaksud Anak Nakal di Indonesia berdasar Undang-Undang Nomor : 3 Tahun 1997 ihwal Pengadilan Anak, ditentukan yaitu anak yang berumur antara 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin, yang melaksanakan tindak pidana, atau perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik berdasarkan peraturan perundang-undangan maupun berdasarkan peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Secara umum mereka dianggap ada dalam satu periode transisi dengan tingkah laris anti-sosial yang potensial, disertai dengan banyak perkara hati atau kekisruhan batin pada fase-fase remaja. Maka segala tanda-tanda kebrandalan dan kejahatan yang muncul itu merupakan akhir perkembangan langsung anak yang mengandung unsur dan usaha:
  1. Kedewaaan seksual;
  2. Pencarian suatu identitas kedewasaan;
  3. Adanya ambisi meteriil yang tidak terkendali;
  4. Kurang atau tidak adanya disiplin diri.

Maka dalam konteks perspektif gres dari periode keremajaan, gang delinquent tadi mereka interpretasikan sebagai manifestasi kebudayaan remaja, dan tidak dilihat sebagai serpihan dari gang kriminal orang-orang dewasa. Menurut Kartini kartono, bahwa kejahatan anak-anak remaja ini merupakan produk sampingan dari:
  1. Pendidikan masal yang tidak menekankan pendidikan tabiat dan kepribadian anak;
  2. Kurangnya perjuangan orang renta dan orang remaja menanamkan moralitas dan keyakinan beragama pada anak-anak muda;
  3. Kurang ditumbuhkannya tanggung jawab sosial pada anak-anak remaja.


Anak-anak remaja yang melaksanakan kejahatan itu pada umumnya kurang mempunyai kontrol diri, atau justru menyalahgunkan kontrol diri tersebut, dan suka menegakan standar tingkah laris sendiri, di samping meremehkan keberadaan orang lain. Kejahatan yang mereka lakukan itu pada umumnya disertai unsur-unsur mental dengan motif-motif subyektif, yaitu untuk mencapai satu subyek tertentu dengan disertai kekerasan dan agresi. Pada umumnya anak-anak muda tadi sangat egois, dan suka sekali menyalahgunakan atau melebih-lebihkan harga-dirinya.