Transaksi Bitcoin Dalam Perspektif Islam

SUDUT HUKUM | Di kala yang sangat modern menyerupai ketika ini, memunculkan teknologi yang canggih dalam beberapa bidang kehidupan insan untuk menjalankan aktivitasnya--tak terkecuali kecanggihan yang sanggup kita rasakan dalam transaksi jual beli-- hanya dengan melalui internet. Yang paling canggih, ketika ini, telah terdapat transaksi mata uang digital yang berjulukan Bitcoin. Dalam transaksinya, Bitcoin mengatakan sistem transaksi dengan uang digital tanpa mediator pihak ketiga dalam melaksanakan pembayarannya.

Dalam perekonomian modern, peranan uang bertambah sesuai dengan bertambah fungsinya. Uang tidak lagi hanya dikenal sebagai alat pertukaran, akan tetapi dipakai sebagai penghitung nilai (unit of accounts), alat penimbun kekayaan (store of value), dan standar pembayaran tundaan (standard of deferred payments), atau bahkan lebih ekstrim uang dipakai sebagai barang komoditi.

Perkembangan teknologi dan perekonomian mendukung perubahan sistem pembayaran yang gres yaitu uang digital. Di awali dengan sistem pembayaran dengan memakai logam berharga menyerupai emas dan perak, kemudian bermetamorfosis aset kertas menyerupai cek dan uang kertas. Selanjutnya, mengalami perubahan sebagai dampak dari contoh hidup masyarakat di kota-kota besar, sebab terhimpit dengan dengan waktu, kesibukan, dan karir sehingga menciptakan fenomena gres dengan menentukan tranksaksi memakai uang elektronik.

Munculnya pandangan gres penciptaan mata uang gres tersebut berbasiskan pada cryptography. Penggunaan lain dari cryptography sanggup menunjang kehidupan masyarakat dalam bidang jual beli mata uang digital yang disebut dengan cryptocurrency. Cryptocurrency ialah mata uang digital yang tidak diberikan regulasi oleh pemerintah dan tidak termasuk mata uang resmi. Konsep inilah yang menjadi dasar dalam melahirkan mata uang digital yang ketika ini kita kenal dengan istilah Bitcoin yang dipakai sebagai alat pembayaran layaknya mata uang pada umumnya.

Perkembangan transaksi digital menyerupai ini tentu tidak sanggup dihindari oleh masyarakat, tapi juga mendapat respon yang berbeda-beda tidak hanya di Indonesia tapi di negara lain. Hingga ketika ini, hanya ada enam negara di dunia yang melegalkan transaksi Bitcoin yakni, Jepang, Amerika Serikat, Denmark, Korea Selatan, Finlandia dan Rusia.

Bitcoin merupakan salah satu dari beberapa mata uang digital yang pada awalnya muncul di tahun 2009 yang diperkenalkan oleh Satoshi Nakamoto sebagai mata uang digital yang berbasiskan cryptography. Bitcoin diciptakan oleh jaringan Bitcoin sesuai dengan kebutuhan dan ajakan Bitcoin, melalui sistematis berdasarkan perhitungan matematika secara pasti. Bitcoin juga merupakan pembayaran dengan teknologi peer-to-peer dan open source. Setiap transaksinya akan disimpan dalam database jaringan Bitcoin.

Pro dan kontra terkait penggunaan mata uang Bitcoin sebagai alat transaksi pembayaran terjadi tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain. Hal ini dikarenakan Bitcoin belum memenuhi beberapa unsur dan kriteria sebagai mata uang yang berlaku di Indonesia. Bitcoin juga bukanlah mata uang yang dikeluarkan oleh negara, akan tetapi dikeluarkan melalui sistem cryptography jaringan-jaringan komputer. Dari segi wujud, Bitcoin tidak berwujud koin, kertas, perak maupun emas.

Jika dilihat dari sudut pandang kelebihan dan kekurangan tentu Bitcoin mempunyai keduanya jikalau dipakai sebagai mata uang, yaitu tidak adanya payung hukum yang mengatur peredaran mata uang Bitcoin. Selain itu tidak ada satu forum pun yang bertanggungjawab apabila terjadi penyalahgunaan terhadap Bitcoin contohnya pencurian, money laundry, penipuan, dan tindak pidana lainnya. Dari sisi kelebihannya, Bitcoin tidak mengenal batas negara, tidak terpengaruh sebab kondisi politik di pemerintahan, berperan sebagai nilai lindung dari inflasi, dan sebagai salah satu bentuk gres tabungan masyarakat yang diterapkan dengan sistem yang tidak merepotkan sebab tugas bank sebagai mediator telah dihilangkan.

Penggunaan Bitcoin sebagai mata uang juga menjadi kajian yang menarik dari perspektif ekonomi Islam. Kemunculan fenomena gres dalam perekonomian tentu harus diikuti kesesuaiannya dengan hukum Islam. Penggunaan Bitcoin sebagai mata uang perlu diperhatikan apakah sudah sempurna atau belum?

Dalam hadis dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika emas dibarter dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum bur (gandum halus) ditukar dengan gandum bur, gandum syair (kasar) ditukar dengan gandum syair, korma ditukar dengan korma, garam dibarter dengan garam, maka takarannya harus sama dan tunai. Jika benda yang dibarterkan berbeda maka takarannya boleh sesuka hati kalian asalkan tunai” (HR. Muslim 4147)

Dari hadis tersebut ditafsirkan lebih banyak didominasi ulama menyepakati bahwa emas dan perak diberlakukan aturan riba sebab memliki status sebagai alat tukar dan alat ukur nilai benda lainnya. Sehingga dalam kondisi tersebut bukan terfokus pada nilai instrinsik bendanya melainkan kegunaannya.

Dalam suatu hadis pula diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab pernah berkeinginan menciptakan uang dari kulit unta, akan tetapi dibatalkan sebab dikhawatirkan unta akan punah. Hadis tersebut mengisyaratkan bolehnya mengakibatkan suatu hal selain emas dan perak sebagai alat tukar.

Dapat disimpulkan sementara bahwa penggunaan bitcoin sebagai mata uang secara aturan Islam diperbolehkan. Akan tetapi, penggunaannya tidak legal di Indonesia sebab kebijakan Bank Indonesia dalam tetapkan mata uang yang diakui di Indonesia hanya mata uang Rupiah.

Dalam tinjauan fiqh, muamalah terhadap transaksi Bitcoin dalam prosesnya memakai kesepakatan Sharf. Sharf merupakan kegiatan jual beli mata uang dengan mata uang, baik yang sejenis maupun yang tidak sejenis, menyerupai jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, atau emas dengan perak. Namun dalam praktiknya, kesepakatan Sharf harus memenuhi rukun dan syaratnya yaitu, serah terima objek kesepakatan sebelum kedua pihak yang berakad berpisah, sejenis, tidak ada khiyar dan tidak ditangguhkan.

Ditinjau dari ketentuan jenis transaksi, maka transaksi Bitcoin termasuk dalam jenis transaksi spot. Transaksi spot atau Spot Transaction merupakan transaksi pembelian dan penjualan valuta ajaib untuk penyerahan pada ketika itu, dengan waktu penyelesaiannya sekitar dua hari. Hukumnya boleh, sebab dianggap tunai sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian terhadap transaksi internasional.

Kriteria pemenuhan kesepakatan sharf yang sah berdasarkan DSN-MUI Nomor 28/DSN-MUI/III/2002 wacana Jual Beli Mata Uang (Sharf) yaitu, tidak untuk spekulasi (untung-untungan), ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan), apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (taqanudh), dan apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada ketika transaksi dilakukan dan secara tunai.

Realita yang ada hari ini, penggunaan Bitcoin untuk tujuan spekulasi tidak sanggup dinilai utuh sebab kembali pada eksklusif masing-masing yang menjalankannya. Artinya, transaksi Bitcoin boleh dipakai selama tidak untuk tujuan spekulasi. Selain tidak adanya motif spekulasi, syarat lain ialah kebutuhan untuk berjaga-jaga (simpanan) yang sanggup dilakukan dalam kepemilikan Bitcoin sehingga syarat kedua terpenuhi apabila masyarakat mengakibatkan bitcoin sebagai instrument investasi.

Syarat ketiga yang mengharuskan mata uang sejenis dan nilainya harus sama dan tunai juga terpenuhi sebab transaksi Bitcoin menukarkan antar mata uang Bitcoin. Syarat keempat, pengecualian apabila berlainan jenis maka bitcoin sanggup ditukar dengan mata uang Dolar Amerika Serikat. Sehingga hampir keempat syarat tersebut terpenuhi, tanpa adanya motif spekulasi.

Pandangan ulama yang tergabung dalam DSN-MUI belum mengeluarkan secara resmi ajaran terkait hukum fiqh transaksi Bitcoin. Akan tetapi jikalau ditinjau melalui aturan fiqh berdasarkan Al-Ghazali bahwa syarat-syarat suatu benda sanggup dikatakan sebagai uang yaitu, uang tersebut dicetak dan diedarkan oleh pemerintah, pemerintah menyatakan bahwa uang tersebut merupakan alat pembayaran yang resmi di suatu wilayah, dan pemerintah mempunyai cadangan emas dan perak sebagai tolak ukur dari uang yang beredar. Sehingga, transaksi Bitcoin tidak memenuhi ketiga syarat tersebut untuk disebut sebagai alat pembayaran.

Keputusan aturan fiqh dalam transaksi Bitcoin belum secara resmi dikeluarkan ajaran oleh DSN-MUI sebagai pihak yang diberikan kewenangan dalam menentukan boleh tidaknya transaksi tersebut dilakukan berdasarkan perspektif Islam, akan tetapi dari pihak Bank Indonesia telah menekan penggunaan bictcoin dan menyatakan bahwa hanya mengakui Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia, dan melarang seluruh penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk memakai mata uang virtual melalui peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016.

Dalam beberapa pandangan tersebut, kita sanggup melihat bahwa transaksi Bitcoin sanggup memenuhi empat syarah sah kesepakatan sharf tanpa ada motif spekulasi. Dari sudut pandang penggunaan Bitcoin sebagai alat pembayaran tidak memenuhi ketiga syarat yang ada berdasarkan aturan fiqh berdasarkan Al-Ghazali.

Selain itu, tidak adanya regulasi, dan berpotensi terhadap penyalahgunaan Bitcoin cukup besar sehingga transaksi bitcoin masih mempunyai potensi ke mudharatan yang lebih besar jikalau dibandingkan dengan laba yang didapat. Transaksi Bitcoin tidak disarankan dalam penggunaannya ketika ini hingga ada yang mengatur regulasi secara resmi, bertanggung jawab, dan dikeluarkannya aturan fiqh oleh pihak DSN-MUI dalam kegiatan muamalah tersebut. Perlu diperhatikan bahwa intinya dalam segala kondisi kaidah yang perlu diterapkan ialah “Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada menarik kemaslahatan”.

Oleh: Nadia Putri Adityo