Perjuangan Kemerdekaan Palestina

SUDUT HUKUM | Bangsa arab yang selama ratusan tahun sanggup hidup tenang di Jerusalem, Palestina, berdampingan dengan bangsa lainnya, termasuk pemeluk Yahudi dan Nasrani, makin terpojok usai perpindahan kekuasaan Jerusalem dari Turki Utsmani ke Inggris. Apalagi, sesudah dideklarasikannya Negara Israel pada 14 Mei 1948, maka bangsa Arab semakin diasingkan di tanah yang telah sekian usang ditinggali dan dimakmurkannya.

Sementara bangsa-bangsa Arab di wilayah lainnya sanggup memperoleh kemerdekaannya usai Perang Dunia I atau perang dunia II, bangsa Arab di Palestina tak juga bisa keluar dari cengkraman bangsa Yahudi, atau kemudian Negara Israel. Bahkan, semakin hari justru posisi Arab Palestina semakin tersisih. Di sisi lain, negara-negara Arab lainnya sibuk untuk memakmurkan rakyatmya masing-masing, atau sekedar menjaga stabilitas dalam negerinya. Dalam hal itu, usaha bangsa Arab Palestina pun tak kunjung menemukan jalan keluarnya.

 Bangsa arab yang selama ratusan tahun sanggup hidup tenang di Jerusalem Perjuangan Kemerdekaan Palestina


Segala upaya telah dilakukan, baik melalui kekerasan (perang) maupun cara-cara halus (diplomasi, politik). Upaya perang pernah terjadi dengan meletusnya Perang Arab-israel 1948 dan 1967. Sehari sesudah deklarasi Negara Israel, 15 Mei 1948, deklarasi perang tiba dari Mesir, Suriah, Irak, Lebanon, Yordania dan Arab Saudi. Deklarasi perang ini diikuti invasi pasukan Arab ke wilayah Yahudi. Setelah jual beli serangan selama 9 bulan, tercapai genjatan senjata antara Israel dengan Mesir, Lebanon, Yordania dan Suriah, di antara hasil persetujuan genjatan senjata, Israel berhasil menguasai 78 persen wilayah Palestina yang diperebutkan, termasuk Jerusalem Barat. Sementara itu, mesir menguasai jalur gaza, sedangkan Yordania mendapat Tepi Barat dan Jerusalem Timur. Namun, dampak jelek perang itu justru dirasakan bangsa Arab penduduk Palestina, dimana 750 ribu di antaranya harus mengungsi ke luar palestina.

Kota Gaza telah menjadi ladang pembunuhan bagi rakyat Palestina. Kurang lebih 312 orang meninggal dunia termasuk didalamnya yaitu perempuan dan anak-anak. Selain itu, juga menyisakan 1300 korban luka-luka. Tentara Israel dengan kekuatan militernya penuh baik dengan jet-jet tempur telah menjatuhkan 50 ton com dan tank-tank yang ditopang 6 ribu pasukan militer telah memporak- porandakan jalur Gaza selama 2 dasarwasa sebanyak 8900 orang telah meninggal dunia.

Kekuatan militer Israel yang sangat berpengaruh tentu tidak sebanding dengan kekuatan Palestina. Masyarakat Palestina khususnya yang tinggal di Gaza hanya bisa melempari tentara Israel dengan kerikil ketika melihat kebringasan tentara Israel yang menghancur leburkan rumah-rumah mereka. Kebrutalan tentara Israel yang telah memakan ratusan korban sipil di Gaza tentunya tidak bisa dilepaskan dengan kuatnya lobi Yahudi yang di sebut AIPAC (American Israeli Political Activity Committe) di Amerika Serikat serta lemahnya Dewan Keamanan PBB  dan Liga Arab.

Tanggal 15 Mei 1948 yaitu tinggak bagi semakin krisisnya hubungan Israel dan Palestina. Pada tanggal tersebut Israel dibawah komando David Ben Gurion dan Chaim Weizmann telah memproklamirkan berdirinya negara Israqel sesudah Inggris mengahiri mandatnya di Palestina. Dalam Momen tersebut, Israel telah mendapat akreditasi kedaulatan dua negara menyerupai Amerika Serikat dan Uni Soviet.selain itu juga, Israel juga mendaptkan santunan dari Guatemala. Pada tahun 1948-1958 menjadi tahun terjadinya imigrasi skala yang sangat besar bagi bangsa Israel yang berasal dari Eropa, Afrika Utara, dan Asia untuk menempati wilayah Palestina. Fakta ini dipicu dengan adanya undang-undang Israel wacana Hak Kembali dan Menetap di Daerah Asal (Law Of Return And Asentee Property Law).

Selanjutnya, dewan keamanan PBB pernah meminta Israel untuk mundur dari Jerusalem Timur dan tepi barat pada 1967 untuk memudahkan perjanjian tenang dengan negara Arab. Namun, pemerintah Israel tak mengindahkan DK PBB dan malah pada 1980 mendeklarasikan “seluruh wilayah Jerusalem sebagai ibu kota Israel.” Deklarasi Israel tersebut sontak memicu perseteruan dengan Palestina sampai muncul pemberontakan yang dikenal sebagai Intifada pertama yang berlangsung 1987 sampai 1993. Setelah sempat mereda, kerusuhan Intifada kembali terjadi pada September 2000, dan dikenal dengan Intifada kedua. Bentrokan ini mengakibatkan sekitar 3000 orang Palestina, 1000 warga Israel, 64 orang abnormal tewas.

Sementara itu, usaha perdamaian juga ditempuh.pada tahun 1993, para pejabat Israel yang dipimpin Yitzhak Rabin dan Organisasi Pembebasan Palestina yang dipimpin Yasser Arafat berusaha untuk mencari solusi tenang melalui Perjanjian Oslo. Usaha berikutnya dilakukan Presiden AS Bill Clinton yang mengajak kedua negara untuk bertemu di Camp David pada Juli 2000. Perdana Menteri Israel Ehud Barak memberikan syarat perdamaian kepada Presiden Palestina Yasser Arafat yaitu pembagian negara Palestina nonmiliter menjadi tiga bagian, termasuk Tepi Barat, sebagian Jerusalam Timur, dan seluruh Jalur Gaza. Syarat lainnya, Israel menguasai Temple Mount di Jerusalem Timur, lembah Yordania, dan sebagian besar pemukiman Yahudi di Tepi Barat. Namun ditolak oleh Arafat.

Usaha perdamaian kembali terjadi ketika Pangeran Arab Saudi, Abdullah, memgusulkan Inisiatif Perdamaian Arab, atau The Arab Peace Intitive, di Konfrensi Tingkat Tinggi Beirut Summit pada 28 Maret 2002. Inisiatif Perdamaian Arab ini kemudian disepakati oleh Liga Arab pada KTT penarikan pasukan Israel dari seluruh wilayah yang diduduki, termasuk Dataran Tinggi Golan, mengakui kedaulatan Palestina dengan ibu kota Jerusalem Timur di tepi Barat dan Jalur Gaza, serta menciptkan solusi yang adil bagi para pengungsi Palestina. Paling mutakhir, usai invasi Israel selama 51 hari atas Jalur Gaza, 8 Juli- 27 Agustus 2014, Mesir memajukan diri untuk mendamaikan pertikaian bersenjata. Hasilnya, genjatan senjata tanpa batas waktu disepakati Palestina- Israel. Dalam hal ini, Mesir bersama Noerwegia berinisiatif menyelenggarakan Cairo International Conference on Palestine; Reconstructing Gaza pada 12 Oktober 2014. Dalam konferensi tersebut, otoritas Palestina diundang untuk mempresentasikan kebutuhan rekonstruksi Gaza dan Palestina pada umumnya.