Penemuan Spesies Gres Orang Utan Paling Langka Di Bumi

Orangutan yaitu primata berukuran besar yang satu-satunya di Asia dengan penyebaran hanya di Pulau Sumatra dan Kalimantan. Spesies ini termasuk jenis satwa yang dilindungi menurut Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 perihal Konservasi Sumber Daya Alam Hayati. Sebelumnya, genus Orangutan hanya ada dua yakni Orangutan Sumatra (Pongo abelii) dan Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus). Di Kalimantan terdapat 3 subspesies yakni Pongo pygmaeus pygmaeusPongo pygmaeus wurmbii, dan Pongo pygmaeus morio.


   Baca juga: Daftar Primata di Indonesia TERBARU


Penemuan spesies simpanse besar terbaru yakni Orangutan Tapanuli denga nama ilmiah Pongo tapanuliensis yang berada di ekosistem Batang Toru, Sebelah Selatan Danau Toba, Tapanuli, Sumatra Utara. Awalnya, Orangutan Tapanuli dikelompokkan Orangutan Sumatra. Studi genetik dengan memakai marka molekuler pada mitokondria dan mikrosatelit menandakan Orangutan Tapanuli mempunyai perbedaan yang besar dengan populasi Orangutan yang berada di sebelah utara Danau Toba sehingga sempat diajukan menjadi subspesies dari Pongo abelii. Setelah dilakukan penelitian yang mendalam melalui pendekatan morfometrik, perilaku, dan genomik, maka Orangutan Tapanuli dinobatkan menjadi spesies baru. Penelitian tersebut dipubikasikan dalam Jurnal Current Biology pada tanggal 2 November 2017.

Gambar 1. Orang utan Tapanuli (Pongo tapanuliensis). Credit photo: Tim Laman

Morfologi Pongo tapanuliensis 

Secara morfologi, bentuk tubuh Pongo tapanuliensis lebih seakan-akan dengan Pongo abelii sementara warna rambut di tubuhnya lebih coklat muda dibandingkan dengan Pongo pygmaeus. Rambut tubuh Pongo tapanuliensis memiliki tekstur keriting serta alas pipi yang datar yang dipenuhi rambut halus. Pada jantan yang lebih renta mempunyai ukuran alas pipi yang lebih besar sehingga seakan-akan dengan Pongo pygmaeus. Pada spesies jantan, mempunyai kumis sedangkan pada spesies betina terdapat rambut pada bab dagu yang membedakannya dengan Pongo pygmaeus.

Gambar 2. Perbandingan morfologi genus Pongo.

Morfometri Tengkorak, Gigi, dan Rahang
Berdasarkan morfometri tengkorak, Pongo tapanuliensis berbeda dengan kedua jenis orang utan lainnya antara lain: ukuran tengkorak lebih kecil; ukuran gigi taring atas lebih lebar; cekungan wajah lebih dangkal; jarak antar tulang pterygoid lebih sempit; tabung timpani lebih pendek; sendi pada temporomandibular lebih pendek; formasi gigi seri bab atas lebih sempit; jarak antara langit-langit (palatum) dengan gigi molar pertama lebih dekat; panjang simfisis mandibular secara horizontal lebih pendek; ukuran inferior transverse torus (diukur dari permukaan anterior simfisis) lebih kecil; dan lebar ramus ascendens pada mandibula lebih lebar.

Gambar 2. Holotipe tengkorak dan rahang Pongo tapanuliensis.

Analisis Genomik

Berdasarkan penelitian tersebut, data genomik yang dipakai yaitu whole-genome (genom utuh) dan genom pada mitokondria (mitogenomik) yang dikumpulkan dari banyak sekali populasi Orangutan di Pulau Kalimantan dan Sumatra sebanyak 37 individu (Gambar 3). Berdasarkan data genomik tersebut, analisis statistik diversitas genom pada sampel memakai teknik Analisis Komponen Utama (principal component analysis).

Gambar 3. Area sampel yang dipakai dalam penelitian.


Diversitas genom pada semua sampel (Gambar 4) menawarkan bahwa diversitas genomik antara sampel dari Pulau Kalimantan dan Sumatra (PC1) serta memisahkan P. tapanuliensis dari P. abelii (PC2). Pola pengelompokan yang sama juga ditemukan dalam analisis struktur populasi berbasis model (Gambar 5). Hasil ini konsisten dengan penelitian genetika sebelumnya yang menganalisis sejumlah sampel non-invasif yang dikumpulkan dengan memakai penanda molekuler mikrosatelit.

Pendekatan pengelompokan semacam itu sangat berpengaruh dalam mendeteksi struktur populasi yang masih ada, riwayat populasi dan spesiasi namun pendekatan tersebut tidak sanggup disimpulkan, alasannya metode ini tidak sesuai untuk membedakan antara divergensi usang pedoman gen (gene flow) dan kasus divergensi terbaru yang bersamaan dengan isolasi. Untuk mengatasi dilema ini dan menyidik lebih lanjut waktu pemisahan populasi dan pedoman gen, maka dipakai pemodelan komplementer dan pendekatan filogenetik yang berbeda.


Gambar 4. Analisis komponen utama diversitas genom pada genus Pongo. Label pada sumbu menawarkan persentase varians total yang dijelaskan oleh dua komponen utama. Bar berwarna pada sisipan mewakili distribusi diversitas nukleotida pada genom di area sampel.


Gambar 5. Analisis klaster berbasis model-bayesian terhadap struktur populasi dengan memakai aktivitas ADMIXTURE. Tiap kafe vertikal menggambarkan sebuah individu, dengan warna yang merepresentasikan proporsi ansestor yang disimpulkan dengan adanya jumlah bab dari klaster genetik (K, bab horisontal) 

Dalam penelitian ini memakai pendekatan approximate Bayesian computation (ABC) dengan tujuan untuk memilih perbandingan mode demografi yang kompleks secara acak menurut perbandingan data genomik yang diamati dengan simulasi genetika populasi yang beragam.

Hasil analisis menawarkan adanya tiga garis keturunan evolusioner yang terdapat pada orangutan yang masih ada ketika ini. Skenario dari garis keturunan tersebut menawarkan adanya kolonisasi di Sumatera utara dan Borneo dari populasi nenek moyang yang paling mungkin terletak di sebelah selatan Danau Toba di Sumatra. Awal mula kolonisasi pada waktu terjadinya pemisahan paling awal pada genus Pongo terjadi antara garis keturunan yang mengarah ke P. abelii dan P. tapanuliensis.

Gambar 6. Estimasi waktu pemisahan jalur evolusi Orangutan.


Waktu terjadinya pemisahan antara populasi Orangutan di Batang Toru dengan pupolasi Orangutan di bab utara Danau Toba terjadi sekitar 3,38 juta tahun yang kemudian sementara pemisahan populasi Orangutan Batang Toru dengan populasi Orangutan di Kalimantan terjadi sekitar 674 ribu tahun yang kemudian (Gambar 6).

Beradasarkan rekonstruksi paleogeogaf, diperkirakan orangutan berasal dari daratan Asia utama yang kemudian memasuki Sunda Besar bab selatan yang ketika ini berupa Danau Toba di Sumatra. Nenek moyang ini yakni P. tapanuliensis adalah keturunan eksklusif yang kemudian menyebar ke Sumatra Utara dan Kalimantan.


Perilaku 

Perilaku yang diamati dalam penelitian ini yaitu mengumpulkan data bunyi panggilan jarak jauh (long call) pada Orangutan jantan. Orangutan Tapanuli melaksanakan panggilan jarak jauh dengan durasi panjang dan keras; panggilan jarak jauh Orangutan Tapanuli mempunyai teriakan yang berbeda dari panggilan jarak jauh yang dilakukan oleh Orangutan Sumatera dan Orangutan Kalimantan.

Distribusi dan Habitat

Orangutan Tapanuli menempati di Ekosistem Batang Toru dengan luas 150.000 hektar namun wilayah yang meliputi Orangutan Tapanuli kurang dari 110.000 hektar. Populasi primata ini terbagi menjadi dua daerah utama yakni blok barat dan blok timur akibat.

Gambar 7. Peta ekosistem Batang Toru. Sumber: http://www.batangtoru.org


Status Konservasi

Berdasarkan survei menawarkan bahwa populasi Orangutan Tapanuli yang berada di alam liar kurang dari 800 individu. Hal ini menyebabkan Orangutan Tapanuli yaitu simpanse besar paling langka di dunia. Jika dimasukkan dalam IUCN Red List, maka masuk dalam kategori sangat terancam punah” (Critically Endangered).


Penulis: Mh Badrut Tamam, M. Sc.

Referensi:
Nater, A., M.P. Greminger, A. Nurcahyo, M.G. Nowak, M. de Manuel Montero, T. Desai, C.P. Groves, M. Pybus, T.B. Sonay, C. Roos, A.R. Lameira, S.A. Wich, J. Askew, M. Davila-Ross, G.M. Fredriksson, G. de Valles, F. Casals, J. Prado-Martinez, B. Goossens, E.J. Verschoor, K. S. Warren, I. Singleton, D. A. Marques, J. Pamungkas, D. Perwitasari-Farajallah, P. Rianti, A. Tuuga, I.G. Gut, M. Gut, P. OrozcoterWengel, C.P. van Schaik, J. Bertranpetit, M. Anisimova, A. Scally, T. Marques-Bonet, E. Meijaard, and M. Krützen. 2017. in press. Morphometric, behavioural, and genomic evidence for a new orangutan species. Current Biology (2017).
https://doi.org/10.1016/j.cub.2017.09.047