Bhs Indonesia
Karakteristik Novel Angkatan 20-30An
Novel angkatan 20-30an sering disebut juga sebagai novel angkatan Balai Pustaka. Sebelum mulai mengolah kemampuan mendengar kalian berkaitan dengan pembacaan kutipan novel tahun 1920-an, ada baiknya kalian ingat kembali sejarah perkembangan sastra di Indonesia.
Salah satu novel yang menjadi catatan sejarah novel Indonesia periode 1920-an yaitu Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar. Novel ini mengawali perjalanan novel Indonesia modern, sungguhpun novel-novel terbitan di luar Balai Pustaka yang oleh Belanda dicap sebagai “bacaan liar” sudah terbit sebelum itu.
Menempatkan Azab dan Sengsara sebagai titik awalnya, semata-mata sebab novel itu sudah memakai bahasa Melayu tinggi. Walaupun demikian, tentu saja karya-karya Kartawinata yang terbit tahun 1897, Pangemanan, Tirto Adhi Soerjo, Boeng Djan, dan Mas Marco Kartodikromo, eksklusif ataupun tidak eksklusif telah ikut memengaruhi para pengarang Balai Pustaka.
Belum termasuk para pengarang Peranakan-Eropa dan Peranakan- Cina yang karya-karyanya pernah populer, justru sebelum Balai Pustaka lahir (Mahayana, 1992:284).
Kembali pada tujuan proses pembelajaran ini, untuk lebih mengetahui perihal penggunaan bahasa serta pokok permasalahan yang menjadi tema sentral pada masa-masa Balai Pustaka, sebagai pola silakan anda baca kutipan novel Azab dan Sengsara.
Setelah Kalian telah membaca sepenggal kutipan novel tersebut. Untuk menjelaskan karakteristik novel tahun 1920-an, kalian perlu membaca novel Layar Terkembang secara keseluruhan.
Selain membaca novel Layar Terkembang, kalian juga perlu untuk membaca karya sastra novel 20-an yang lain.
Ciri-ciri sastra periode tahun 1920-an (novel zaman Balai Pustaka-Pujangga Baru) sebagai berikut.
a. Sudah mulai tampak impian organisasi yang mengarah pada semangat membentuk persatuan Indonesia.
b. Tema dongeng sudah tidak lagi bergulat pada hal-hal yang sifatnya kontradiksi adat, tetapi sudah mulai memunculkan problem emansipasi wanita dan kesetaraan hak dan kewajiban antara pria dan wanita dalam membangun bangsa.
Bahkan oleh Amal Hamzah disebutkan bahwa isi Layar Terkembang karya St. Takdir Alisjahbana yaitu Perempuan Indonesia Modern.
c. Terlihat semangat mendidik dan mengajar di samping menghibur.
Apabila dibandingkan dengan novel seangkatan lainnya, contohnya novel Azab dan Sengsara, karya Merari Siregar, maka terdapat perbedaan dan persamaannya.
Perbedaan tersebut sanggup dilihat pada tema. Tema dalam novel Azab dan Sengsara masih menampilkan kontradiksi adat, belum menampakkan problem emansipasi. Perjodohan orang bau tanah diangkat dalam novel ini. Ini berbeda sekali dengan novel Layar Terkembang.
Adapun persamaan kedua novel tersebut yaitu penggunaan bahasanya yang khas dan tidak padat, bersifat kedaerahan, dan mengangkat tema problem percintaan.
Salah satu novel yang menjadi catatan sejarah novel Indonesia periode 1920-an yaitu Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar. Novel ini mengawali perjalanan novel Indonesia modern, sungguhpun novel-novel terbitan di luar Balai Pustaka yang oleh Belanda dicap sebagai “bacaan liar” sudah terbit sebelum itu.
Menempatkan Azab dan Sengsara sebagai titik awalnya, semata-mata sebab novel itu sudah memakai bahasa Melayu tinggi. Walaupun demikian, tentu saja karya-karya Kartawinata yang terbit tahun 1897, Pangemanan, Tirto Adhi Soerjo, Boeng Djan, dan Mas Marco Kartodikromo, eksklusif ataupun tidak eksklusif telah ikut memengaruhi para pengarang Balai Pustaka.
Belum termasuk para pengarang Peranakan-Eropa dan Peranakan- Cina yang karya-karyanya pernah populer, justru sebelum Balai Pustaka lahir (Mahayana, 1992:284).
Kembali pada tujuan proses pembelajaran ini, untuk lebih mengetahui perihal penggunaan bahasa serta pokok permasalahan yang menjadi tema sentral pada masa-masa Balai Pustaka, sebagai pola silakan anda baca kutipan novel Azab dan Sengsara.
Setelah Kalian telah membaca sepenggal kutipan novel tersebut. Untuk menjelaskan karakteristik novel tahun 1920-an, kalian perlu membaca novel Layar Terkembang secara keseluruhan.
Selain membaca novel Layar Terkembang, kalian juga perlu untuk membaca karya sastra novel 20-an yang lain.
Novel Azab dan Sengsara |
Ciri-ciri Novel Angkatan 20-30n
Setelah menyimak pembacaan kutipan novel di atas, kalian sanggup mengidentifikasi ciri-ciri sastra periode tahun 1920-an menurut bahasa yang digunakan, sifat-sifat tokoh yang terdapat pada kutipan, serta kesimpulan isi kutipan novel tersebut sebagai berikut.Ciri-ciri sastra periode tahun 1920-an (novel zaman Balai Pustaka-Pujangga Baru) sebagai berikut.
a. Sudah mulai tampak impian organisasi yang mengarah pada semangat membentuk persatuan Indonesia.
b. Tema dongeng sudah tidak lagi bergulat pada hal-hal yang sifatnya kontradiksi adat, tetapi sudah mulai memunculkan problem emansipasi wanita dan kesetaraan hak dan kewajiban antara pria dan wanita dalam membangun bangsa.
Bahkan oleh Amal Hamzah disebutkan bahwa isi Layar Terkembang karya St. Takdir Alisjahbana yaitu Perempuan Indonesia Modern.
c. Terlihat semangat mendidik dan mengajar di samping menghibur.
Apabila dibandingkan dengan novel seangkatan lainnya, contohnya novel Azab dan Sengsara, karya Merari Siregar, maka terdapat perbedaan dan persamaannya.
Perbedaan tersebut sanggup dilihat pada tema. Tema dalam novel Azab dan Sengsara masih menampilkan kontradiksi adat, belum menampakkan problem emansipasi. Perjodohan orang bau tanah diangkat dalam novel ini. Ini berbeda sekali dengan novel Layar Terkembang.
Adapun persamaan kedua novel tersebut yaitu penggunaan bahasanya yang khas dan tidak padat, bersifat kedaerahan, dan mengangkat tema problem percintaan.