Al-Quran
Pandangan Ulama Terhadap Ayat Mutasyabih
SUDUT HUKUM | Ulama banyak berbeda pendapat, apakah makna ayat mutasyabih sanggup diketahui insan atau tidak. Sebagian mereka mangatakan tidak sanggup diketahui insan dan hanya Allah yang mengetahuinya. Pendapat ini berasal dari kebanyakan sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in dan di ikuti oleh golongan ahlusunnah wa al-jamaah.
Pendapat kedua menyampaikan bahwa makna yang terkandung dalam ayat mutasyabih sanggup diketahui orang tertentu yang sudah mendalam ilmunya. Pendapat ini di pelopori hebat tafsir dari kalangan tabi’in yang berjulukan Mujahid.
Perbedaan pendapat ini berasal dari perbedaan pemahaman terhadap ayat 7 surat Ali Imran, yaitu:
Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi al-Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk mengakibatkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak sanggup mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”.(Q.S. Ali Imran :7)
Tokoh sobat ibarat Ubay ibn Ka’ab, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas dan sejumlah sobat lainnya, tabi’in dan ahlusunnah beropini bahwa waw pada kalimat “war-rasikhuna fil ‘ilmi yaquluna amanna bihi” ialah waw ist’naf. Pendapat ini didukung oleh hadits yang di keluarkan Abdurrazzak dalam tafsirnya dan Hakim dalam kitab Mustadrak yang berasal dari Ibn Abbas bahwa ia membaca “ wama ya’lamu ta’wilahu illallah, wayaqulur rosikhuna fil ‘ilmu amanna bihi”.
Pendapat kedua menyampaikan makna ayat mutasyabih sanggup diketahui oleh orang yang mendalam ilmunya beralasan bahwa “waw” yang ada pada kalimat “warrasikhuna fil ‘ilmi” ialah “waw athaf” bukan “waw isti’naf ” yang di ’athafkan pada kalimat sebelumnya yaitu kalimat “illallah” dan kalimat “ya quluna” menjadi “Hal”.
Jadi, kesimpulannya ialah Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya mengetahui maknanya (ayat mutasyabih). Imam Abu Hasan al-Asy’ari mengikuti pendapat yang kedua ini begitu juga Abu Ishaq asy-Syairazi dan ia memperkuat pendapat ini dengan mengatakan:
Pengetahuan Allah terhadap ayat-ayat mutasyabih itu dilimpahkan juga kepada para ulama yang mendalam ilmunya, lantaran firman yang di turunkan-Nya itu ialah kebanggaan bagi mereka. Kalau mereka tidak mengetahui maknanya, berarti mereka sama dengan orang awam”.
Seperti itu juga imam Nawawi, ia menyampaikan : “pendapat inilah (yang kedua) yang paling sahih, lantaran mustahil Allah menyeru hamba-hambanya dengan sesuatu yang tidak sanggup diketahui maksudnya oleh mereka”.
Dr. Mahmud ibn Abdurrazzak membantah keras pendapat yang menyampaikan bahwa dalam al-Qur’an ada ayat yang tidak diketahui maknanya. Ia mengatakan:
Pendapat ini tidak benar lantaran menjadikan perkataan Allah tidak punya makna dan menjadikan para salafusshalih pada derajat orang-orang terbelakang yang disebutkan Allah sebagai orang-orang yang memperbuat kata-kata yang sia-sia dan tertutup yang tidak sanggup dipahami maknanya. Tidaklahlah masuk nalar jikalau kita mendengarkan perkataan orang ajaib yang berbicara dengan bahasanya yang tidak kita pahami dan kita tidak tau bahasanya lantas kita berkata sesudah mendengarkan pembicaraannya “perkataanmu bagus, dan susunannya baik, perkataanmu itu tidak ada yang salah dan kami membenarkan setiap perkaanmu”.
Dari pernyataan di atas sanggup diambil pemahaman bahwa ia meyakini seluruh ayat al-Qur’an sanggup ditafsirkan dan diambil maknanya. Pendapat ini sejalan dengan tindakan yang dilakukan Zamakhsyari dikala menafsirkan ayat, ia telah menafsirkan ayat al-Qur’an baik yang muhkam maupun yang mutasyabih.
Prof. Dr. Hamka memperlihatkan klarifikasi bahwa peringatan Allah wacana ayat-ayat mutasyabih bukan berarti ayat mutasyabih tidak sanggup diketahui manusia. Peringatan ini bertujuan untuk menyuruh umat insan biar bersungguhsungguh dalam menuntut ilmu al-Qur’an dan memohon pertunjuk darinya.
Setelah memperhatikan kedua pendapat di atas dapatlah dipahami bahwa kedua pendapat tersebut sama-sama punya dalil yang kuat. Sebagai jalan pengkompromian antara dua pendapat ini ar-Raghib al-Asfahani mengambil jalan tengahnya yaitu dengan membagi ayat mutasyabih kepada tiga bagian, yaitu:
- Lafaz ayat yang sama sekali tidak diketahui hakikatnya, hanya Allah yang sanggup mengetahuinya, ibarat waktu tibanya hari kiamat, kalimat daabbatul ardhi (binatang yang akan keluar menjelang hari kehancuran alam).
- Ayat mutasyabih yang dengan aneka macam sarana insan sanggup mengetahui maknanya, ibarat mengetahui makna kalimat yang gharib dan hukum yang belum jelas.
- Ayat mutasyabih yang khusus sanggup diketahui maknanya oleh orang orang yang ilmunya mendalam dan tidak sanggup diketahui orang-orang selain mereka sebagaimana diisyaratkan oleh do’a nabi bagi Ibn Abbas:
“Ya Allah, ajarkanlah ilmu agama yang mendalam kepadanya dan dan limpakanlah pengetahuan wacana ta’wil kepadanya”
Sebagian ulama yang meyakini bahwa di dalam Al-Qur’an ada ayat mutasyabih yang tidak diketahui oleh seorangpun, tapi hanya diketahui oleh Allah SWT. maksudnya ialah mengetahui hakikat suatu masalah, bukan tafsir lafazh-lafazhnya. Ayat-ayat wacana sifat Allah menjadi mutasyabih bukan dari segi memahami maknanya tetapi ayat tersebut mutasyabih dari segi hakikat maknanya lantaran semua hakikat hanya diketahui oleh Allah SWT.